AMBISI SANG SELIR
“Bawa budak lancang ini ke tiang gantungan di sudut kota, laksanakan hukuman mati sekarang juga!” titah Yasmin Hatun sambil menyeringai, matanya berkilat penuh kemenangan.
Dua algojo bertubuh kekar maju tanpa ragu. Rantai besi di pergelangan Esma ditarik kasar, sampai-sampai tubuh perempuan itu tersentak ke depan.
Perempuan yang malang itu meronta-ronta. “Aku tidak bersalah!” serunya dengan suara serak.
Dua algojo tak menggubris, justru semakin menyeretnya lebih kencang.
“Lepaskan aku!” bentak Esma, ia berbalik— menatap nyalang ke arah Yasmin. “Kalian akan menyesal jika Baginda mengetahui kebenarannya. Sanggupkah kalian menanggung murka Baginda?!”
Mendengar hal itu, Yasmin Hatun tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan berhiaskan cincin permata. “Kau kira ... Baginda akan peduli pada budak rendahan sepertimu? Sadar diri lah, Esma. Kau, hanyalah kenikmatan sesaat untuk Baginda. Singkirkan budak buruk rupa ini dari hadapanku ... sekarang juga.”
Langkah algojo kembali menyeret Esma. Sudut bibir Yasmin pun sontak terangkat sinis, “selamat bertemu ajalmu, Budak Rendahan. Itulah balasan bagi budak yang lancang berkhayal merebut kasih Baginda dariku.”
“Lepas!” teriak Esma, lalu menatap Yasmin sengit. “Dengar baik-baik, Yasmin! Aku bersumpah, jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
.
.
.
Beberapa bulan sebelumnya, nasib mengharuskan puluhan budak melangkah gontai di jalanan berdebu. Wajah mereka pucat, selain takut, masih tersisa jejak lelah akibat berhari-hari terombang-ambing di kapal laut yang pengap.
Setiap wajah memantulkan kisah perih masing-masing, seolah setiap tetes keringat mereka adalah saksi bisu dari perjalanan panjang menuju lorong takdir yang sudah menanti.
PLAK!
“Percepat langkah kalian, budak-budak bodoh!”
Tongkat kayu menghantam betis seorang gadis hingga terjerembab. Lututnya menyeret tanah berdebu, wajahnya mengerang menahan sakit. Tapi, belum sempat ia meringis, bentakan kasar lebih dulu membuat ia bergidik ngeri.
“Berdiri! Cepat jalan, atau akan kupukul hingga kakimu remuk!”
Dengan sorot mata bengis, pengawal bertubuh tinggi itu menatap rombongan budak seakan mereka hanyalah hewan ternak. Tongkat panjang di tangannya kembali terangkat, siap kembali menghantam gadis tadi yang dianggapnya memperlambat perjalanan ke Istana. Namun, sebelum kayu itu mendarat di kaki sang gadis—
“Jangan sakiti dia!”
Seorang gadis dengan rambut panjangnya yang kusut serta wajah dipenuhi debu, menghalang dengan berani. Sepasang mata hijau zambrudnya berkilau di bawah terik matahari, menyorot tajam ke arah pengawal.
Namanya Esma, seorang gadis yang terlahir sebagai putri seorang penggembala sederhana di kaki bukit Ruthenia. Di daerah asalnya, namanya bukan sekadar nama biasa. Sejak kecil, ia dikenal sebagai gadis yang berani melawan para pemuda yang kerap merampas hasil panen rakyat desa. Ketika para perempuan lain memilih menunduk, Esma justru berdiri paling depan, melindungi yang lemah dengan suara lantang.
Namun, keberanian itu tak mampu menolongnya ketika bencana menimpa. Tahun itu, desa kecil tempatnya tumbuh harus membayar upeti kepada penguasa wilayah. Emas dan hasil bumi sudah tak cukup untuk menebus pajak yang mencekik. Maka, jalan terakhir pun dipilih, menyerahkan anak-anak gadis mereka sebagai tanda tunduk. Esma, dengan kecantikan paripurna nya, dipilih menjadi salah satu upeti hidup—yang akan dipersembahkan sang penguasa negeri.
“Jangan sakiti dia?” Pengawal mendesis, matanya menyipit marah. Tongkat yang semula hendak menghantam kaki gadis lain kini terarah pada Esma. “Apa wajah cantikmu ingin menggantikan posisi kakinya, hah?”
Esma mengangkat dagunya sedikit, suaranya bergetar samar. “Tuanku, bukankah kami ini dibawa sebagai persembahan untuk sang Sultan? Bukankah sudah ada titah, tubuh para gadis-gadis muda tidak boleh membawa luka sedikit pun?”
Sorot hijau zamrud matanya bergeming meski tongkat itu hampir menyentuh wajahnya.
“Jika menurut Tuan—gadis ini menghambat perjalanan, biarlah hamba yang membantunya berjalan. Yang terpenting, kami tidak boleh tertinggal langkah, bukan?” kata Esma lagi dengan berani.
Rahang sang pengawal mengeras. Ia menggeram pelan, jelas tak suka dibantah oleh seorang budak. Namun, ucapan Esma tak bisa ia sanggah, perintah istana lebih tinggi dari amarah pribadinya.
Tongkat di tangannya diturunkan perlahan. Namun, sebelum ia melangkah mundur, ujung kayu itu sempat menekan dagu Esma dengan kasar.
“Mulutmu terlalu pintar untuk seorang budak,” desisnya dingin. “Jika kau tidak bisa menjaga lisan, kau akan binasa di dalam istana Sultan Bey Murad.”
Esma menunduk hormat. “Nasehat Tuan akan selalu hamba ingat.”
Si pengawal mengibaskan jubahnya, lalu meludah ke tanah sebelum kembali mengawasi barisan. “Jalan terus! Jangan ada yang tertinggal!”
Esma menarik napas panjang, menahan sakit di bawah dagunya. Tapi, ia segera meraih lengan gadis yang tadi hampir dipukul, membantunya berdiri tegak.
“Ayo, jangan takut,” bisiknya lembut. “Kita akan segera sampai. Kalau boleh tau, siapa namamu?”
Gadis itu menelan ludah, matanya masih berkaca-kaca karena ketakutan. Suaranya lirih, hampir tenggelam oleh derap langkah rombongan.
“Alena ... namaku Alena.”
Esma mengangguk pelan, menggenggam lengan mungil itu lebih erat seolah memberi janji perlindungan.
“Esma, panggil aku Esma” balasnya singkat, matanya menatap lurus ke depan. “Asalku dari Ruthenia. Dari mana asalmu?“
“Podolia,” jawab Alena lirih.
“Podolia? Baiklah, Alena, mulai sekarang ... jangan pernah tertinggal dariku. Kita akan bertahan ... bersama.”
Alena menunduk, bibirnya gemetar tapi tersungging senyuman tipis untuk pertama kalinya sejak perjalanan itu dimulai.
...***...
Setibanya di gerbang istana, barisan budak itu dipaksa melangkah dengan tertib. Satu per satu melewati pintu gerbang yang menjulang tinggi—berhias ukiran kaligrafi emas yang berkilau diterpa cahaya mentari.
Dari balik gerbang, terbentang halaman luas yang dipenuhi taman-taman indah. Pohon cemara berbaris rapi bak penjaga setia, sementara bunga-bunga mawar merah dan putih bermekaran, menebarkan aroma halus yang memanjakan indera.
Mata para budak terkesima, terlena oleh keindahan istana, seolah-olah baru saja melangkah masuk ke dunia lain. Mereka tidak tau, segala intrik telah menunggu mereka.
Di kejauhan, tatapan para pelayanan segera tertuju pada kecantikan Esma yang menyeruak, meskipun tubuhnya berbalut pakaian kumal. Ada yang melirik penuh iri, ada yang berbisik-bisik dengan dengki.
“Pasti dia sedang berpikir kalau kecantikannya itu anugerah,” gumam Fatma, pelayan senior dengan sorot mata tajam dan hati mendengki. “Dia belum tau saja, di dalam istana ini ... wajah cantik justru bisa menjadi kutukan—apalagi jika sampai menarik murka Yasmin Hatun.”
Fatma melangkah maju, langkahnya mantap, dagunya terangkat seakan dialah penguasa di pelataran itu. Ia menghampiri rombongan budak yang baru masuk, matanya langsung menyorot Esma dari kepala hingga kaki.
Ia mendekat, jarak wajahnya tinggal sejengkal dari Esma. Aroma keringat dan minyak murahan menyengat, tapi Esma tetap menahan napas, menatap lurus tanpa gentar.
“Cepat masuk! Jangan buang waktu berdiri di sini seperti patung!” Bentak Fatma sambil menepuk-nepuk tangannya, menyuruh para budak baru menyebar mengikuti para pelayan lain.
Esma sudah hendak melangkah pergi bersama Alena. Namun, tiba-tiba Fatma menarik kasar lengannya dengan paksa. Esma hampir terjerembab, tapi ia segera menahan keseimbangannya.
“Kau,” desis Fatma di dekat telinganya, suaranya dingin, sarat akan ancaman. “Ikut aku.”
Tanpa memberi kesempatan untuk bertanya, Fatma menyeret Esma melewati koridor belakang istana, menuju bangunan yang berdiri agak terpisah dari aula utama. Aroma jerami basah dan kotoran hewan segera menyambut mereka.
“Selamat datang di istal,” ucap Fatma dengan senyuman miring. “Dengar baik-baik, Manis. Semua budak memulai dari bawah, tak peduli wajahmu seperti bidadari. Begitu kau melangkah masuk ke istana, setiap jengkal tubuhmu harus berguna. Sekarang, kau bersihkan kandang kuda ini sampai berkilau. Jangan harap kau akan mendapat sepotong roti kalau pekerjaanmu tak memuaskan.”
Bukan tanpa alasan Fatma begitu membenci kecantikan Esma. Selama bertahun-tahun ia hidup di harem, ia memupuk mimpi menjadi lebih dari sekadar pelayan. Ia mendamba diangkat sebagai selir, mungkin suatu hari melahirkan seorang pangeran yang bisa mengubah nasibnya. Namun, apalah daya, Sultan Bey Murad sedikitpun enggan melirik wajahnya.
Tahun ini, Fatma bahkan sudah berani merayu Mansur Ağa, sang kepala kasim harem, agar namanya dipertimbangkan masuk sebagai kandidat. Tapi kini, melihat kecantikan Esma yang menyeruak meski berbalut pakaian kumal, darah Fatma berdesir. Saingan barunya datang tanpa ia duga, dan jauh lebih cantik dari dirinya.
‘Wajahmu memang manis ... tapi mari kita lihat, apakah kecantikan itu masih berarti setelah kau berkubang dengan kotoran kuda.’ Fatma membatin penuh dengki, lalu meninggalkan Esma seorang diri.
.
.
Sore hari, setelah tugasnya selesai, Esma keluar dari istal dengan langkah gontai. Tubuhnya masih berbau kuda, tangannya perih karena bekerja tanpa henti. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Esma berniat mencari udara segar sebentar, karena jika ia lekas kembali ke istana—sudah pasti tenaganya kembali diperah.
Di tepi jalur berbatu yang mengarah ke arena latihan kuda, ia berhenti di sebuah pohon besar. Angin sore menyapu lembut rambutnya yang kusut. Esma bersandar pada batang pohon itu, memejamkan mata sejenak. Untuk pertama kalinya sejak pagi, ia merasa ada sedikit ruang untuk bernapas.
“Tulang-tulangku rasanya mau patah,” gumamnya lirih.
Namun, ketika menyadari senja kian pekat, Esma pun merapikan helai rambut yang menutupi wajahnya, lalu gadis itu lekas berbalik hendak kembali ke istana. Akan tetapi, tubuhnya mendadak membeku.
Hanya beberapa langkah darinya, berdiri seorang pria tampan dengan busur terentang. Tubuhnya tegap, wajahnya berbingkai rahang kokoh. Alis tebal menaungi sepasang mata tajam berwarna kelam. Ia tampak seperti patung dewa perang yang hidup, terlihat gagah sekaligus berbahaya.
Dan kini, ketampanan itu sirna. Berganti dengan sorot mata dingin yang mengerikan, saat anak panah yang tadinya mengancam Esma, melesat cepat di udara.
JLEB!
“Akkhh!”
*
*
*
Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Sayur 💎
emng rezki anak soleha 🤭 intip akun rupanya dah rilis krya 🤭 btw aku dh bca krya yg kka rekom tu. bagus memang
2025-09-30
3
Bunggo Sikumbang
ini crta yg pernah tyg di tv.drama tuky.
2025-10-02
0
💕Bunda Iin💕
walaupun kau rendam esma kedalam kotoran hewan...wajah dan hati nya tetap bercahaya
2025-10-01
1