Niat hati hanya ingin membalas perbuatan sepupunya yang jahat, tetapi Arin justru menemukan kenyataan yang mengejutkan. Ternyata kemalangan yang menimpanya adalah sebuah kesengajaan yang sudah direncanakan oleh keluarga terdekatnya. Mereka tega menyingkirkan gadis itu demi merebut harta warisan orang tuanya.
Bagaimana Arin merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nita kinanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Pesta
Wajah Fatma merah padam. Lehernya serasa dicekik hingga dia tidak bisa mengeluarkan suara. Fatma sampai tidak tahu apa yang harus berbuat apa.
Kalau bukan di tempat umum pasti sekarang tangannya sudah mendarat di pipi Arin karena sudah lancang membuka aibnya. Arin, gadis yang dulu selalu diam itu kini berani mengulitinya habis-habisan.
"Kita pulang, Tania! Aku akan meminta manajer butik untuk mengirim koleksi terbaru mereka ke rumah! Tidak sudi aku berbelanja bersamaan dengan orang-orang rendahan ini!" ucapnya menahan kesal.
Tania tidak bergeming. Dia masih tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar.
"Cepat, Tania!" Fatma tidak sabar kemudian menarik tangan Tania, menyeretnya keluar dari butik dengan wajah merah padam.
Arin hanya menatap kepergian Fatma dan Tania. Untuk pertama kalinya Arin membuat mereka terbungkam. Biasanya Arin lah yang tidak berkutik setiap bertemu mereka, tetapi kali ini sebaliknya.
Arin merasakan kepuasan di hatinya. Dia baru sadar ternyata membalas orang yang telah menyakitinya bisa membuat hatinya merasa lega dan puas. Dan itu membuat Arin berubah pikiran.
"Aku harus datang ke pesta itu," batinnya.
Arin mulai memilih gaun yang digantung di rak, sementara telinganya terus terngiang-ngiang ucapan Tania dan Fatma yang melarang Arin untuk datang. Tetapi larangan itu justru membuat Arin semakin yakin untuk datang ke pesta.
Arin berhenti di sebuah gaun berwarna burgundy dengan punggung terbuka namun di saat yang bersamaan juga terlihat sopan. Arin memandangi gaun itu selama beberapa saat lalu sebuah ide gila muncul begitu saja di dalam benaknya.
"Darimana kamu tahu soal itu, Rin? Kamu bahkan belum lahir waktu itu?" Darsih dari tadi diam tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya.
"Dari gosip!" jawab Arin singkat, padat dan tidak jelas.
"Gosip apa? Kamu saja belum lahir, bagaimana mau bergosip?!" Darsih tidak mengerti gosip apa yang dimaksud Arin dan dengan siapa dia bergosip karena setahu Darsih, Arin tidak memiliki teman.
"Pokoknya aku tahu!" jawab Arin tidak mau cerita lebih lanjut.
Sebenarnya, Arin mendengar itu semua dulu ketika orang tuanya masih ada. Para pembantu di rumahnya sering bergosip.
Setiap kali Pandu dan Fatma berkunjung ke rumahnya, pasti para pembantu akan membicarakan mereka. Mereka tidak suka sifat Fatma yang dianggap angkuh dan sombong, tidak pantas bersanding dengan Pandu yang ramah dan baik hati.
Banyak hal buruk tentang Fatma yang mereka bicarakan termasuk asal usul pernikahan Pandu dan Fatma. Arin tidak sengaja mendengarnya. Dan karena ingatan Arin sangat tajam Arin masih mengingatnya sampai sekarang.
"Aku tidak hanya akan membuat mereka kesal, tapi aku akan membuat mereka menyesal," gumam Arin sambil memandangi gaun burgundy di tangannya.
* * *
Arin tiba di rumah mewah keluarga Laksmana, dimana pesta pertunangan Arin sedang berlangsung. Arin datang sendirian karena Darsih tidak mau menemaninya.
Pesta sudah dimulai. Arin berhenti sebelum memasuki ruang tamu yang sudah di sulap sedemikian rupa menjadi venue pesta.
Jantungnya berdebar. Ini adalah kemunculan pertama di acara keluarga Laksamana setelah bertahun-tahun lamanya. Apakah mereka masih ingat dirinya? Anak yang tersingkir dari istananya, atau mereka justru hanya ingat kasus memalukan yang menimpanya? Apapun itu, Arin harus menyiapkan mentalnya.
Setelah beberapa saat menyiapkan hatinya, Arin melangkah memasuki ruangan dimana pesta berlangsung. Penampilan Arin yang sangat mempesona menarik perhatian para tamu yang sudah lebih dulu tiba di sana.
Arin mengabaikan orang-orang yang menatapnya penuh tanda tanya. Dia terus berjalan sambil mengedarkan mencari sosok Tania.
Akhirnya, Arin menemukan Tania bersama laki-laki yang kini sudah resmi menjadi tunangannya, sedang berbincang dengan beberapa orang tamu.
Tanpa ragu Arin segera menghampiri pasangan itu.
"Halo, Sepupu, Aku ucapkan selamat atas pertunanganmu," ucap Arin disertai senyum palsu yang sangat manis.
Tania tertegun melihat Arin tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Lebih tidak percaya lagi melihat Arin bisa tersenyum seperti itu.
Arin muncul dengan percaya diri dan terlihat sangat cantik. Tidak ada kacamata, tidak ada wajah kusut dan kelelahan, tidak ada baju yang seadanya. Arin malam ini terlihat sangat berbeda.
Gaun panjang yang elegan, riasan natural dipadankan dengan rambut tergerai rapi membuatnya terlihat sangat menawan. Bahkan Arin terlihat lebih menonjol jika dibandingkan rekan-rekan Tania sesama model yang juga hadir di sana. Jelas ini membuat Tania tidak suka.
"Oh... Terima kasih. Aku sangat bahagia karena akhirnya kamu mau datang," balas Tania disertai senyum yang tak kalah manis, berbanding terbalik dengan hatinya yang sedang mengumpat kesal.
Arin beralih ke laki-laki yang kini telah resmi menjadi tunangan Tania. "Apa kabar, Gama? Aku Arin, sepupu Tania," sapa Arin sok akrab. Tania bahkan sampai mengernyit melihat sikap Arin.
"Selamat, ya! Semoga lancar sampai hari pernikahan!" lanjut Arin.
Laki-laki itu hanya mengangguk tanpa sedikitpun tersenyum, benar-benar dingin persis seperti rumor yang beredar.
Tania tersenyum tipis melihat respon Gama pada Arin. Tidak sedikitpun Gama terlihat melirik Arin padahal malam ini Arin begitu mempesona. Tania boleh berbangga hati. Kesetiaan tunangannya tidak perlu tidak diragukan lagi.
"Permisi, aku ingin menyapa Om Pandu. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya," pamit Arin lalu pergi meninggalkan Tania dan Gama begitu saja.
Arin berjalan menghampiri Pandu yang sedang berbincang dengan beberapa tamu. Tidak lupa ada Fatma yang selalu setia berdiri mendampinginya.
Mata Arin tidak bisa lepas dari Pandu. Wajah Pandu yang sangat mirip dengan almarhum Angga. Setiap kali melihat Pandu, Arin selalu teringat papanya.
Tahun-tahun berat yang telah Arin lewati membuatnya sangat merindukan sang papa. Ingin sekali Arin memeluk pria itu untuk melampiaskan kerinduannya kepada sang papa tetapi sepertinya itu hanya terjadi di dalam angannya.
Jika bukan karena Fatma dan Tania, mungkin Arin sudah menganggap Pandu sebagai ayahnya sendiri begitupun sebaliknya.
"Selamat malam, Om Pandu," sapa Arin.
Pandu yang sedang berbincang pun menoleh, menatap Arin selama beberapa saat lalu berkata, "Arin??? Ini kamu???" tanyanya dengan nada tidak percaya.
Arin hanya tersenyum tidak bisa berkata-kata.
Pandu langsung memeluk Arin. Hal ini sontak menarik perhatian tamu undangan terutama mereka yang berdiri tidak jauh Pandu dan Fatma. Orang-orang itu mulai menatap Arin dengan tatapan aneh, entah apa yang mereka pikirkan.
Fatma yang berdiri di samping Pandu hanya tersenyum kaku. Dia tidak suka cara Pandu memperlakukan Arin tapi tidak ada yang bisa dia lakukan, apalagi semua mata tertuju pada mereka.
"Kapan kamu pulang? Om hampir tidak mengenalimu kalau bukan karena hidung mancungmu itu," ucap Pandu seraya mengurai pelukannya.
Pandu sampai tidak sadar jika semua mata tertuju pada mereka.