"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.
Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 10
Nunung, nenek Caca, bukanlah sembarang wanita. Ia adalah mantan istri siri Bram Wijaya, kakek Senja, sebuah hubungan gelap yang tersembunyi dari keluarga besar Wijaya. Hubungan mereka bermula bertahun-tahun silam, saat Bram masih muda dan penuh gairah. Nunung, wanita yang licik dan ambisius, dengan sengaja mendekati Bram, memanfaatkan pesona dan kecerdasannya untuk memikat hati pria kaya dan berpengaruh itu.
Bram, yang saat itu tengah dilanda kesepian dan kejenuhan dalam pernikahannya yang resmi, terpesona oleh Nunung. Ia terbuai oleh rayuan manis dan perhatian Nunung yang begitu tulus—atau setidaknya begitulah yang terlihat. Hubungan mereka berlangsung secara sembunyi-sembunyi, jauh dari sorotan keluarga dan teman-teman Bram. Mereka bertemu di tempat-tempat terpencil, menikmati waktu berdua yang penuh gairah dan rahasia.
Namun, hubungan mereka tak berlangsung lama. Nunung, yang sebenarnya hanya mengincar kekayaan Bram, memiliki rencana jahat. Sebelum hubungan mereka terungkap, Nunung sudah merencanakan kehamilannya. Ia hamil, bukan anak Bram, melainkan anak dari pria lain yang telah ia manipulasi untuk tujuannya. Kehamilan itu menjadi senjata Nunung untuk menuntut pengakuan dan imbalan dari Bram.
Saat Nunung melahirkan ibu Caca, ia langsung menuntut agar Bram mengakui ibunya Caca sebagai anaknya dan memberikan kehidupan yang nyaman bagi mereka. Bram, yang merasa tertipu dan terjebak, mencoba untuk menolak. Namun, Nunung mengancam akan mengungkap hubungan gelap mereka kepada keluarga Wijaya. Bram, yang sangat menjaga reputasinya, terpaksa mengalah.
Namun, kebohongan Nunung tak berlangsung lama. Keluarga Wijaya akhirnya mengetahui kebenarannya. Bukti-bukti yang menguatkan bahwa ibunyaCaca bukan anak Bram terungkap. Amarah dan rasa dikhianati memuncak. Nunung pun diusir tanpa ampun, tanpa mendapatkan apa pun dari Bram. Ia hanya meninggalkan luka mendalam dalam hati Bram dan keluarga besar Wijaya.
Kejadian ini menjadi luka yang tak pernah sembuh bagi Bram. Ia merasa sangat bersalah dan malu atas kebodohannya. Kejadian itu juga memberi dampak besar pada keluarganya, menciptakan ketegangan dan ketidakpercayaan. Nunung, dengan dendam yang membara, merencanakan balas dendam, menggunakan Caca sebagai pion utamanya dalam rencananya untuk menghancurkan keluarga Wijaya dan merebut kekayaan mereka.
Tanpa mereka sadari, seorang mata-mata Helena telah merekam pembicaraan antara Nunung dan Caca. Rahasia besar tersebut akan segera terungkap, menciptakan babak baru dalam konflik keluarga Wijaya.
Senja tiba di sekolah, langkahnya masih sedikit berat, bayangan masalah keluarga masih menghantuinya. Namun, aroma nasi goreng yang familiar dari dalam tasnya sedikit menenangkan hatinya. Ia mengeluarkan kotak bekal, tangannya sedikit gemetar. Aroma nasi goreng buatan ibunya, dengan sedikit kecap manis dan aroma bawang putih yang khas, mengingatkannya pada masa kecil yang lebih bahagia. Ia membuka kotak bekal itu perlahan, menatap nasi goreng yang tertata rapi. Warna kuning kecoklatan dari nasi goreng itu terlihat begitu menggugah selera.
Suapan pertama, Senja mengunyah perlahan. Rasanya... sama persis seperti dulu. Kenangan masa kecil bermunculan dalam benaknya: ibu yang selalu bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, aroma nasi goreng yang memenuhi rumah, dan rasa hangat keluarga yang dulu pernah ia rasakan. Seulas senyum muncul di bibirnya, walaupun hanya sesaat. Itu adalah senyum yang tulus, bukan senyum terpaksa yang biasa ia perlihatkan di depan keluarganya.
Suapan demi suapan nasi goreng ia santap. Ia merasakan butiran nasi yang lembut, campuran rasa gurih dan manis yang pas, serta potongan-potongan sayuran yang menambah kesegaran. Setiap suapan terasa seperti pelukan hangat dari ibunya, menghibur hatinya yang sedang terluka. Nasi goreng itu bukan sekadar makanan, tetapi juga pengingat akan kasih sayang ibunya yang tulus, sebuah kasih sayang yang masih ada di tengah badai masalah yang menerpa keluarganya. Dengan perut yang kenyang dan hati yang sedikit lebih tenang, Senja siap menghadapi hari yang penuh tantangan di sekolah. Ia merasa lebih kuat, lebih siap untuk menghadapi apapun yang akan terjadi. Nasi goreng itu telah memberinya kekuatan dan semangat untuk terus berjuang.
"Tumben banget lo bawa bekal, Nja," kata Nadira, suaranya penuh rasa ingin tahu. Ia mengamati kotak bekal Senja dengan rasa penasaran. Nadira jarang melihat Senja membawa bekal ke sekolah.
"Gue juga heran, tumben Mami gue buatin gue bekal. Kan biasanya dia nggak peduli," jawab Senja, suaranya sedikit datar, namun ada sedikit rasa heran dan mungkin juga sedikit harapan tersirat di dalamnya. Ia sendiri tak mengerti mengapa ibunya tiba-tiba membuatkan bekal untuknya.
"Apa Mami lo udah sadar setelah melihat sedikit sifat buruk anak pungut itu?" dinda menerka-nerka, mencoba menghubungkan perubahan sikap Senja dengan kejadian di rumah. Ia tahu ada sesuatu yang terjadi di keluarga Senja.
Senja mengangkat bahunya, tak mau memberikan jawaban yang pasti. Ia tak ingin terlalu banyak berbicara tentang masalah keluarganya. "Udahlah, makan aja. Ini enak banget," kata Senja, menawarkan nasi goreng buatan ibunya kepada Nadira dan sahabatnya yang lain yaitu dinda. Ia mengalihkan pembicaraan, mengajak kedua sahabatnya untuk menikmati bekalnya.
Setidaknya, untuk sementara, ia bisa melupakan masalah keluarganya dan menikmati kebersamaan dengan teman-temannya. Aroma dan rasa nasi goreng itu, untuk sesaat, menghilangkan beban berat yang selama ini ia pikul.
******
Bel istirahat berbunyi, menandakan waktu makan siang. Para siswa berhamburan menuju kantin, suara riuh rendah memenuhi lorong sekolah. Namun, Senja, Nadira, dan Dinda memilih untuk tetap berada di kelas. Mereka masih kenyang dengan bekal yang dibawa Senja. Suasana kelas yang tadinya ramai, kini menjadi lebih tenang.
"Eh, Hendra lagi galau nih, karena pacarnya nggak masuk sekolah," bisik Dinda, menunjuk ke arah Hendra yang duduk sendirian di pojok kelas, wajahnya tampak murung.
"Itu pasti lah! Dia kan nggak bisa mesra-mesraan seorang diri, biasa," sambung Nadira, menambahkan komentarnya dengan nada bercanda. Keduanya tertawa pelan.
"Berisik kalian berdua!" Hendra, yang ternyata mendengar bisikan mereka, mengatakannya dengan nada kesal. Ia langsung berdiri dan bergegas keluar kelas, meninggalkan kedua sahabat Senja tertawa puas. Mereka berhasil membuat Hendra kesal.
Senja hanya mengamati mereka berdua dengan senyum tipis. Ia lebih memilih untuk menikmati ketenangan di kelas daripada ikut-ikutan bercanda.
Pikirannya masih tertuju pada masalah keluarganya, namun setidaknya, untuk sementara waktu, ia bisa melupakan masalahnya dan menikmati ketenangan di kelas bersama teman-temannya.
"Lo kenapa, Ndra? Kok mukanya ditekuk gitu?" tanya Galih, mendekati Hendra yang terlihat murung. Ia sedikit khawatir dengan sahabatnya itu.
"Gue lagi bete banget sama sahabatnya adik lo, Senja," jawab Hendra, suaranya terdengar lesu. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan kekesalannya. "Gue barusan diolok-olok sama mereka gara-gara Caca nggak masuk sekolah."
Ia merasa kesal karena dianggap berlebihan hanya karena cemburu pacarnya tidak masuk sekolah. Ia merasa perasaannya tidak dihargai oleh Dinda dan Nadira.