Gadis Yang Kalian Singkirkan
Arin berdiri di depan sebuah rumah yang lebih pantas disebut istana, yang sayangnya, bukan lagi menjadi miliknya. Rumah itu berubah kepemilikan hanya berselang beberapa hari setelah mamanya meninggal, dan Arin tidak bisa berbuat apa-apa.
Di dalam sana sedang berlangsung sebuah pesta, entah pesta apa.
Arin memandangi rumah itu cukup lama hingga akhirnya memutuskan untuk masuk karena teringat seseorang yang harus segera dia selamatkan.
Semua orang sedang sibuk sehingga tidak ada yang menyadari kehadiran Arin.
Arin berjalan sambil menoleh kiri kanan seperti orang kebingungan tetapi tidak juga menemukan orang yang dia cari.
Mungkin memang sudah takdir, mata Arin justru bersitatap dengan seorang perempuan yang sangat dia benci dan sudah bertahun-tahun dia hindari, yang tak lain adalah sepupunya sendiri.
Arin berhenti. Dia tetap berdiri pada tempatnya, tidak seperti dulu yang segera menyingkir, mencari jalan lain atau berjalan sambil menundukkan kepala untuk menghindari interaksi dengan perempuan itu.
Kalau memang sekarang dia harus berhadapan dengan perempuan itu lagi, maka Arin akan hadapi. Arin tidak takut lagi dengan ancaman yang dulu terasa begitu mengintimidasi.
Perempuan itu berjalan menghampiri Arin.
Arin menatap datar perempuan yang kini berdiri tepat di hadapannya. Sorot mata perempuan itu masih saja angkuh, sama seperti dulu ketika mereka masih remaja.
"Apa kabar, Sepupu? Lama kita tidak bertemu," sapa perempuan itu terdengar hangat, tetapi sorot matanya sama sekali tidak memperlihatkan kehangatan.
Arin tidak segera menjawab. Matanya balik menatap sorot mata angkuh Tania, sepupu yang dulu tidak pernah mau mengakuinya itu.
Tidak ada yang berubah dari wajah perempuan itu. Bahkan dia terlihat lebih cantik dari semasa mereka SMA dulu. Tapi itu hanya kecantikan semu. Perempuan di hadapannya itu adalah seorang model papan atas yang dituntut selalu on make up agar penampilannya terlihat tanpa cela, padahal sebenarnya biasa saja.
"Seperti yang kamu lihat," jawab Arin datar. Tidak terlihat keakraban atau sedikit saja kebahagiaan diantara dua sepupu yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu ini.
Tania menatap Arin dari kepala hingga ujung kaki. "Aku hampir tidak mengenalimu tadi. Kamu sudah ... berubah," katanya. "Aku ingat teman-teman kita dulu menyebutmu gajah bengkak. Itu lucu sekali," lanjut Tania sambil terkekeh.
"Ngomong-ngomong dimana kamu membuang lemak-lemak di tubuhmu itu? Operasi plastik? Jelas tidak mungkin. Kamu tidak punya uang sebanyak itu."
Arin tetap diam sama seperti dulu. Apapun yang Tania katakan Arin hanya diam dan menerima. Bedanya, dulu Arin diam karena takut, tapi sekarang Arin diam karena tidak mau membuat keributan.
"Tubuhmu memang sudah langsing, tetapi wajahmu masih begitu-begitu saja. Coba sekali-kali kamu memakai riasan, mungkin itu akan sedikit membantu. Dan kaca matamu itu... " menunjuk kaca mata yang bertengger di hidung mancung Arin, "itu membuatmu terlihat tua!" Tania tersenyum miring kemudian pergi.
Arin memperhatikan penampilannya sendiri setelah kepergian Tania. Saat ini dia hanya mengenakan rok span dan kemeja kerja yang sudah kusut karena sudah seharian dia pakai. Rambut dicepol dan wajah terlihat kelelahan, belum lagi mata panda karena dua malam sebelumnya dia harus lembur hingga larut membuat penampilannya semakin tidak meyakinkan. Pantas jika Tania masih menghinanya.
Arin tidak berlama-lama meratapi penampilannya. Dia bahkan tidak peduli dengan hal itu. Tujuannya ke sini hanyalah untuk menyelamatkan satu-satunya orang yang dia sayang, yaitu ibu angkatnya. Arin tidak mau sang ibu menjadi bulan-bulanan para pembantu di rumah ini.
Arin mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari keberadaan sang ibu yang entah dimana.
"Tentu saja dia tidak di sini," gumam Arin yang baru sadar jika ibunya tidak mungkin berada di depan bersama tamu-tamu kelurga Laksmana yang sangat terhormat. Ibunya pasti berada di dapur atau di bagian paling belakang rumah ini.
Arin bergegas menuju dapur.
"Ibu?! Apa yang ibu lakukan?" seru Arin melihat sang ibu sedang mencuci alat-alat masak dan tumpukan piring yang tidak terhitung jumlahnya.
Perempuan yang dipanggil ibu itu terkejut. Dia segera membasuh tangannya lalu memeluk Arin.
"Kapan kamu pulang, nak?!"
Suasana dapur yang hiruk pikuk pun terhenti karena adegan ini. Semua mata penghuni dapur tertuju ke arah dua perempuan beda usia yang sedang berpelukan itu.
Setelah mengurai pelukan mereka, Arin menggandeng tangan perempuan yang dia panggil ibu itu. "Kita pulang, Bu."
"Tapi, Rin... " Darsih bingung tidak bisa menolak keinginan Arin tetapi juga tidak bisa mengiyakannya.
"Darsih, apa dia Non Arin yang gemuk itu?" sela salah seorang pembantu.
"Iya, dia Non Arin. Cantikkan?" Darsih tersenyum dengan bangga.
Tempat itu berisi para pembantu keluarga Laksamana, sekitar delapan orang yang rata-rata sudah lama mengabdi di sana. Tentu mereka tahu siapa Arin, meski sekarang terlihat berbeda.
"Sejak dulu memang Non Arin ini cantik. Hanya saja nasibnya tidak secantik wajahnya," balas pembantu itu sambil menatap kagum wajah Arin. "Wajahnya selalu mengingatkan saya pada almarhum Nyonya Lusi, sama cantiknya."
Arin tersenyum sopan kepada pembantu yang dia ingat bernama Tini itu.
"Kamu masih saja membanggakan dia padahal sampai sekarang dia tidak jadi apa-apa. Apa tidak sayang seumur hidup kamu bekerja hanya untuk menghidupi anak orang?" sahut yang lain bernada sinis. "Aku kasihan sama kamu, Darsih. Niatnya ngangkat anak, bukannya meringankan bebanmu tapi malah jadi benalu!" tukas pembantu yang lain yang membuat senyum di wajah Arin hilang seketika.
"Arin bukan benalu!" tegas Darsih. "Asal kamu tahu, Arin sudah menjadi orang sukses di luar kota! Kamu tidak tahu apa-apa, jadi jangan bicara seenaknya!"
"Sukses apanya?!! Kalau dia sudah sukses, lalu buat apa kamu buruh cuci piring di keluarga Laksamana?! Kalau dia jadi orang sukses seharusnya kamu tinggal enak-enak di rumah, terima duit dari dia sebagai balas budi karena kamu telah merawatnya. Lah, ini buktinya? Kamu masih kerja serabutan tidak jelas! Apa jangan-jangan, dia tidak tahu balas budi?! Darsih... Darsih... mau saja dijadikan keset sama anak pemalas ini!"
"Dulu memang dia majikanmu, tapi setelah orang tuanya meninggal dia bukan apa-apamu lagi. Bukan tanggung jawabmu juga. Lebih baik kamu simpan uangmu untuk biaya hari tuamu nanti. Aku hanya mengingatkan daripada nanti kamu menyesal!" timpal yang lainnya.
"Lihat Non Tania! Dia sudah kaya tetapi masih mau bekerja keras merintis karir modelnya mulai dari nol tanpa bantuan orang tua. Padahal dia bisa berfoya-foya menghabiskan harta orang tuanya tanpa perlu susah bekerja. Sementara dia... " menunjuk Arin dengan dagunya, "sudah bagus kamu mau merawatnya, eh... malah ngelunjak minta kuliah di luar kota. Apa dia tidak sadar biaya kuliah mahal dan kamu hanya buruh serabutan?! Masih mending kalau orang tuanya meninggalkan warisan, nyatanya orang tuanya pergi meninggalkan hutang!"
Kalimat-kalimat pedas untuk Arin terus bersahutan. Tadi Arin yang menarik tangan Darsih, sekarang Darsih yang justru menarik tangan Arin mengajaknya segera meninggalkan tempat ini. Dia tidak sampai hati jika Arin harus mendengar semua ini.
"Kita pulang sekarang, Rin," ucapnya tidak tega.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Soraya
mampir thor
2025-08-20
1