NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:436
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5

Diandra duduk di salah satu restoran mewah di pusat kota. Matanya menyapu sekeliling ruangan yang dipenuhi ornamen kristal dan alunan musik klasik yang terlalu megah untuk sekadar tempat makan malam.

“Untuk ukuran tempat makan, tempat ini terlalu berlebihan,” gumamnya, nyaris seperti desah lelah.

Meskipun berasal dari keluarga berada, Diandra terbiasa hidup sederhana. Ia tak pernah menggantungkan diri pada nama besar keluarganya. Semua yang ia raih, termasuk pekerjaannya sebagai dokter muda di rumah sakit ternama adalah hasil kerja kerasnya sendiri. Apartemen kecil dekat tempat kerja pun sudah cukup baginya.

Suara pria yang dalam dan tenang memecah lamunannya.

“Maaf, saya terlambat.”

Diandra menoleh cepat. Pria itu kini duduk di hadapannya, matanya menatap dengan tenang, nyaris tanpa ekspresi.

“Saya tidak suka basa-basi,” ucap Diandra dingin, bahkan sebelum pria itu sempat berbicara lebih jauh.

Lingga memperhatikan Diandra dengan pandangan analitis. Kemeja biru muda dan rok putih selutut, rambut panjang hitam tergerai tampak sederhana untuk ukuran anak pengusaha sukses, tapi penampilan itu justru memancarkan daya tarik tersendiri. Bukan sekadar penampilan yang menarik perhatiannya, melainkan ketegasan di mata gadis itu.

“Saya ingin Anda berhenti mengganggu keluarga Hadinata,” kata Diandra, tanpa basa-basi.

Lingga hanya menautkan jemari di atas meja, lalu menyandarkan tubuhnya dengan tenang.

“Saya rasa itu kurang tepat disebut ‘mengganggu’... Saya hanya merespons sebuah permintaan.”

“Dengan cara menekan dan mengancam?” Diandra menatap tajam, tak gentar.

Seulas senyum mengembang di wajah Lingga, bukan senyum ramah, melainkan senyum tenang yang menyiratkan kendali mutlak.

“Orang biasanya menyebut tekanan sebagai ancaman… ketika mereka merasa tak punya jalan keluar,” ucapnya ringan, tapi mengandung tekanan yang samar.

Diandra mencengkeram gelas airnya, jemarinya sedikit gemetar. Ia mencoba tetap tersenyum, meski jelas dipaksa. Tatapannya tajam menembus wajah Lingga.

“Memanfaatkan ketidakberdayaan orang lain... itu bukan strategi, itu kelicikan,” balasnya pelan namun penuh penekanan.

Lingga mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya tetap rendah, nyaris berbisik, namun tajam.

“Saya tak menekan. Saya menawarkan jalan keluar. Dan setiap jalan keluar... punya harga. Dunia tak pernah memberi sesuatu secara cuma-cuma, Diandra.”

Licik. Kata itu menampar benaknya, membuat napasnya sesaat tertahan.

“Lalu kenapa harus saya?” tanya Diandra, suaranya tegas tapi mengandung nada tak percaya.

Lingga menatapnya lekat—hening beberapa detik, seolah menimbang jawabannya dengan saksama.

“Karena kamu…” ujarnya akhirnya, pelan namun mantap. “Kamu yang saya inginkan.”

Dada Diandra naik turun perlahan. Napasnya mulai berat, terdengar jelas dalam keheningan yang mencekam.

“Saya tidak tertarik dengan permainan Anda,” balasnya dingin.

Ia berdiri, menyambar tas selempangnya dengan gerakan tegas.

““Dan ingat satu hal,” ujar Diandra, menatap tajam ke arahnya. “Tidak semua yang Anda inginkan, bisa Anda miliki.”

Kalimat itu meluncur seperti pisau—tajam, jelas, dan tak terbantahkan.

Namun baru saja langkah pertamanya terayun, suara Lingga kembali memecah udara. Tenang, nyaris seperti bisikan… tapi menghantam tepat di dada.

“Saya tidak pernah menginginkan apapun,Diandra. Hanya satu hal yang membuat saya tertarik... dan itu kamu.”

Langkah Diandra terhenti. Bahunya menegang. Jemarinya mencengkeram tali tas seperti sedang meredam badai dalam dirinya.

Ia menoleh setengah, menatap Lingga dengan api yang menyala di matanya.

“Sayangnya… saya tidak tertarik pada Anda,” ujarnya dingin, tajam seperti belati yang dilemparkan perlahan.

Lingga hanya terkekeh pelan, penuh percaya diri. “Belum, Diandra.”

Diandra mengepalkan tangan, berusaha menahan dorongan untuk membanting gelas yang masih utuh di atas meja. Napasnya memburu, tapi ia memilih diam.

Tanpa sepatah kata lagi, ia membalikkan badan dan melangkah pergi. Langkahnya cepat, seolah ingin lepas dari jebakan yang tak kasat mata.

Di balik suara musik klasik yang mengalun, mulutnya melontarkan umpatan pelan, nyaris tak terdengar.

Sementara itu, Lingga tetap di tempatnya. Tenang. Tak ada usaha untuk mengejar, apalagi memanggil.

Ia hanya menyentuh cangkir kopi yang mulai mendingin dengan satu tangan, lalu mengambil ponsel dan tersenyum kecil seolah semuanya baru saja berjalan sesuai rencana.

“Awasi dia. Tapi perlahan. Jangan terlalu dekat, biarkan dia merasa bebas... sampai waktunya tiba,” ucapnya dingin.

Suara dari seberang menjawab singkat. “Siap, Bos.”

Lingga menyimpan ponselnya, lalu mengarahkan pandangannya ke pintu tempat Diandra menghilang.

“Kamu menarik, Diandra... lebih dari yang kupikirkan. Dan sayangnya, kamu sudah masuk ke permainan ini."

Lingga mengangkat cangkirnya, menyesap kopi yang mulai mendingin. Senyum samar masih menggantung di sudut bibirnya, seolah permainan baru saja dimulai dan ia sudah memegang papan catur.

Dari bayang-bayang pilar besar di sudut ruangan, James melangkah keluar. Ia memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana.

“Lo yakin mau melibatkan dia?” tanyanya, suaranya berat namun tak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang menggantung.

Lingga tidak langsung menjawab. Tatapannya masih terarah ke arah pintu keluar, ke arah tempat Diandra menghilang beberapa menit lalu. Baru setelah hening beberapa detik, ia bicara pelan namun penuh keyakinan:

“Justru karena dia, semuanya akan jauh lebih mudah.”

James menghela napas panjang. Ia tahu betul siapa Lingga sahabat sekaligus pria ambisius yang tidak pernah main setengah hati. Sekali dia menargetkan sesuatu, dia akan menyusun langkah hingga detail terkecil, bahkan jika harus mengorbankan siapa pun di jalan.

“Tapi, dia nggak ada hubungannya sama semua ini, Ngga."

James terdengar ragu, namun jujur. Ada nada iba dalam suaranya.

“Kasihan Diandra.”

Lingga mengalihkan pandangannya, lalu bangkit dari kursi. Dengan tenang, ia menepuk bahu James.

“Lo tau gue. Dan lo nggak perlu khawatir.” nada bicaranya tenang bahkan tidak ada emosi di dalamnya.

“Gue tau,” balas James pelan. “Setiap langkah yang lo ambil selalu lo hitung. Lo selalu punya rencana cadangan, dan bahkan skenario darurat kalau semuanya berantakan.”

James menatap sahabatnya dalam-dalam, suaranya rendah namun penuh tekanan.

“Tapi dia, Diandra… dia nggak tahu apa-apa, Ngga.”

Lingga membalikkan badan perlahan, tatapannya tajam menusuk. “Kenapa lo peduli sama Diandra?”

James terdiam sejenak, kemudian menatap Lingga penuh.

Lingga hanya mengangguk lalu tersenyum samar.  “Gue tahu lo peduli,” ucap Lingga menatap James serius sebelum kembali membuka suara.

“Dia nggak akan kenapa-napa. Gue cuma... butuh dia ada di sisi gue. Itu aja.” jawabnya singkat.

Lingga kembali menepuk pundaknya perlahan, sebelum melangkahkan kakinya keluar.

^_^

Diandra membanting tas selempangnya ke sofa begitu pintu apartemennya tertutup. Nafasnya masih berat, emosinya belum reda sejak pertemuannya dengan Lingga. Ia berjalan mondar-mandir seperti sedang menahan ledakan amarah.

Marissa, yang malam itu menginap di apartemen Diandra, hanya bisa menatap sahabatnya penuh khawatir.

"Kenapa, Ra?" tanyanya hati-hati.

"Itu orang gila, Ra! Muka tenang, senyum dikit-dikit, tapi setiap kalimatnya... manipulatif banget. Sumpah, gue pengen banget gue tonjok tu muka!" ujar Diandra geram, melipat tangannya di dada.

"Lo nggak diapa-apain, kan?" tanya Marissa cepat, mulai cemas.

Diandra menggeleng keras. "Nggak, tapi omongannya bikin gue pengen ruqyah dia langsung di tempat."

Marissa bangkit ke dapur kecil, mengambil sebotol air mineral dingin dari kulkas dan menyerahkannya ke Diandra.

“Minum dulu. Tenangin kepala.”

Diandra menerimanya, meneguk hampir setengah botol dalam sekali minum. Tapi wajahnya masih tegang, rahangnya mengeras.

Hening sejenak, sampai akhirnya Marissa duduk di sebelahnya dan menatap Diandra penuh permohonan.

"Ra, cukup ya... semua ini urusan gue."

"Tapi dia gila, Sa! Gila!" sahut Diandra cepat, matanya menyala marah.

Marissa mengangguk kecil. "Iya, gue tahu. Dia gila. Makanya lo jangan ikut terlibat lebih jauh."

Diandra mendengus keras. "Bisa-bisanya ada manusia kayak dia hidup bebas di dunia ini. Sumpah, nyebelin banget!"

Marissa tersenyum lemah, lalu berkata pelan namun mantap. "Kalaupun perusahaan bokap gue hancur... bangkrut, ya udah. Gue terima. Itu semua akibat dari kesalahan bokap sendiri.”

Diandra menatap Marissa dengan mata membulat. Ia tak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut sahabatnya.

"Dan soal pengobatan nyokap, tabungan gue masih cukup, setidaknya buat sekarang. Jadi, gue nggak mau lo ikut kena akibatnya. Lo udah cukup bantu gue."

Diandra terdiam. Hatinya mencelos. Ia merasa tak berguna, tak bisa berbuat apa-apa untuk sahabatnya sendiri.

"Sa... maaf. Gue bahkan nggak bisa bantu banyak."

Marissa tersenyum tipis, menahan air mata yang menggenang.

"Om Hariss udah hubungin gue. Katanya dia bakal bantu, tapi nggak langsung. Lewat orang lain, lebih aman. Dan itu semua karena lo juga. Terima kasih... lo dan Om Hariss selalu ada buat gue."

Diandra tak berkata apa-apa. Ia hanya membuka tangannya dan menarik Marissa ke pelukannya.

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!