Arsyi seorang wanita sederhana, menjalani pernikahan penuh hinaan dari suami dan keluarga suaminya. Puncak penderitaannya terjadi ketika anaknya meninggal dunia, dan ia disalahkan sepenuhnya. Kehilangan itu memicu keberaniannya untuk meninggalkan rumah, meski statusnya masih sebagai istri sah.
Hidup di tengah kesulitan membuatnya tak sengaja menjadi ibu susu bagi Aidan, bayi seorang miliarder dingin bernama Rendra. Hubungan mereka perlahan terjalin lewat kasih sayang untuk Aidan, namun status pernikahan masing-masing menjadi tembok besar di antara mereka. Saat rahasia pernikahan Rendra terungkap, semuanya berubah... membuka peluang untuk cinta yang sebelumnya mustahil.
Apakah akhirnya Arsyi bisa bercerai dan membalas perbuatan suami serta kejahatan keluarga suaminya, lalu hidup bahagia dengan lelaki baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 3.
Langkah Arsyi menyusuri jalanan kota terasa berat. Matahari siang mulai membakar, tapi dingin dalam dadanya justru semakin pekat.
Tas kecil yang ia jinjing terasa ringan, seolah mengejek jika hidupnya kini hanya tersisa sehelai pakaian, selembar foto, dan sedikit uang di dompet. Tidak ada rumah untuk pulang, tidak ada keluarga yang menanti.
Terminal yang tadi menjadi tempat duduknya sudah jauh di belakang. Kini ia berjalan tanpa tujuan, menyusuri trotoar yang ramai orang berlalu-lalang. Semua sibuk dengan urusan masing-masing, tak ada yang peduli pada seorang perempuan yang baru saja kehilangan segalanya.
Di setiap langkah, suara ejekan Fajar dan Nyonya Ratna masih bergema.
“Kau tidak akan bisa hidup sendiri!”
Arsyi mengepalkan tangan. “Kita lihat saja nanti...“
Menjelang sore, ia berhenti di sebuah warung kecil. Perutnya kosong sejak pagi, hanya diisi segelas air putih dari keran umum. Ia membuka dompet, menghitung lembar uang yang tersisa... tak sampai seratus ribu.
“Sepiring nasi saja, Bu. Pakai sayur...” suaranya lirih, hampir malu.
Pemilik warung menatapnya sekilas, lalu menyendok nasi dengan sayur sederhana. Arsyi makan perlahan, menahan rasa ingin melahap habis karena ia tahu harus hemat. Setiap suapan terasa seperti keberanian baru.
Namun usai makan, ia kembali dihadapkan pada kenyataan... kemana ia akan pergi?
Hotel atau kos? Mustahil, uangnya tak cukup.
Pulang ke kampung? Tidak! Ia tahu, keluarganya sendiri hanya bisa pasrah dengan kemiskinan. Ia tidak ingin menjadi beban.
Sore itu, langkahnya membawanya ke sebuah taman kota. Ia duduk di bangku besi, menyandarkan kepala membiarkan hiruk-pikuk lalu lintas menjadi musik yang asing.
Anak-anak kecil berlarian, tertawa riang. Suara mereka menusuk jantungnya, mengingatkan pada suara anaknya yang kini hanya tinggal kenangan.
Air mata yang ia tahan sejak pagi akhirnya pecah. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar. “Nak… Ibu tidak punya siapa-siapa lagi…”
Tapi di sela tangis itu, ia mendengar suara lain... tangisan bayi.
Arsyi menoleh. Di seberang taman, seorang wanita muda berdiri panik. Bayi dalam gendongannya menangis kencang, wajahnya merah padam. Wanita itu tampak kebingungan, seolah tidak tahu harus berbuat apa.
Naluri seorang ibu segera menyeruak dalam dada Arsyi. Ia berdiri, melangkah mendekat. “Maaf, Mbak… boleh saya bantu?”
Wanita itu menatapnya dengan mata basah. “Dia… tidak mau diam sejak tadi. Susunya habis, saya sudah coba buat lagi yang baru tapi dia menolak.”
Arsyi menatap bayi itu, wajah mungil, mata terpejam rapat dengan tangisan melengking. Ada sesuatu yang menusuk relung hatinya. Tanpa berpikir panjang, ia mengulurkan tangan. “Boleh saya coba gendong?”
Wanita itu ragu sejenak, lalu mengangguk.
Begitu bayi itu berada di pelukan Arsyi, tangisnya sedikit mereda. Arsyi mengussaap pelan punggung mungil itu, berbisik lembut. Persis seperti dulu, dia menenangkan anaknya.
Namun tangisan kembali pecah, bayi itu lapar.
Arsyi menunduk, dada terasa sesak. Ia tahu satu-satunya hal yang bisa menenangkan bayi itu adalah susu. Dan tubuhnya… meski sudah tidak menyusui beberapa hari sejak anaknya tiada, masih menyimpan sedikit.
Ia menatap wanita itu. “Mbak… kalau berkenan… saya bisa menyusuinya sebentar.”
Wanita itu terkejut. “Serius? Anda mau…?”
Arsyi mengangguk, matanya tegas. “Kalau tidak, dia bisa lemas. Saya pernah jadi ibu… saya tahu rasa paniknya.”
Wanita itu menutup mulut, lalu menyerahkan bayi sepenuhnya. Dengan langkah cepat, Arsyi duduk di bangku agak sepi. Ia membuka sedikit kerudung dan dengan penuh hati-hati, menyuussui bayi itu.
Tangis yang tadinya keras perlahan mereda. Hanya tersisa suara isapan kecil, tenang dan damai.
Air mata Arsyi kembali jatuh, bukan karena duka melainkan karena perasaan aneh yang sulit dijelaskan. Kehangatan itu kembali, kehangatan menjadi seorang ibu.
Wanita muda itu menatap dengan syukur pada Arsyi. “Terima kasih… terima kasih banyak… saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana.”
Arsyi tersenyum samar, meski hatinya bergetar. “Tidak apa, dia kuat. Dia hanya butuh pelukan.”
Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Sinta, seorang baby sitter. “Saya sebenarnya bekerja untuk keluarga besar, bayi ini adalah Tuan muda kecil Aidan. Ibunya tidak bisa merawatnya, dan majikan saya sedang mencari ibu susu. Saya hanya kebetulan membawa Tuan muda kecil Aidan keluar sebentar.”
Nama Aidan membuat Arsyi terdiam, ada sesuatu yang terasa seperti tanda.
Sinta melanjutkan dengan ragu, “Saya tahu ini mendadak, tapi… Anda tadi terlihat sangat sabar. Maukah, saya perkenalkan pada majikan saya? Siapa tahu… Anda bisa jadi ibu susu Tuan kecil Aidan.”
Arsyi terpaku, dunia seolah berhenti sejenak. Semua kebingungan, semua ketakutan tentang hari esok, tiba-tiba menemukan satu cahaya kecil.
Ia menatap bayi itu, yang kini tertidur tenang dalam pelukannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya.
Dalam hati, Arsyi berbisik.
Mungkin inilah jalanku. Mungkin Tuhan menaruhku di sini... untuk alasan tertentu.
Dengan suara lirih, ia menjawab, “Ya. Tolong... perkenalkan saya pada majikannya Mbak.”
Sinta mengangguk lega. “Besok, ikut saya. Majikan saya, Tuan Rendra. Orangnya keras, tapi demi Tuan kecil... saya yakin Tuan Rendra akan mempertimbangkan.”
Arsyi menunduk pada bayi kecil itu, mengecup keningnya. “Aidan… kalau ini jalannya, aku akan menjagamu.”
Saat itu meski ia masih tidak tau akan tidur dimana malam nanti, tidak punya kepastian pasti. Namun, Arsyi merasa langkahnya sudah menemukan arah. Masa depannya tetap pekat, tapi di pelukan bayi mungil itu ia menemukan seberkas cahaya.
.
.
.
Pagi itu, langit masih diselimuti kabut tipis ketika Arsyi berjalan mengikuti Sinta. Langkahnya pelan, seolah setiap derap membawa berat beban yang tak terlihat. Tas kecilnya tersampir di bahu, pakaian sederhana menandai bahwa ia bukan siapa-siapa. Namun di matanya, ada sorot baru. Sorot perempuan yang meski terluka, memilih tetap melangkah.
“Majikan saya orangnya… tidak mudah,” kata Sinta dengan hati-hati, memecah hening di antara mereka. “Tuan Rendra itu keras, dingin dan jarang sekali membuka hati pada orang asing. Tapi… demi Tuan muda kecil, mungkin kali ini ada pengecualian.”
Arsyi hanya mengangguk, hatinya berdebar. Nama Rendra, ia dengar kemarin di terminal. Kini, takdir benar-benar menuntunnya ke pintu yang sama.
Rumah itu muncul di depan mata, sebuah kediaman besar, berpagar tinggi dan berdiri kokoh di tengah kota. Bukan sekadar rumah, melainkan istana modern dengan tembok putih dingin dan jendela kaca tinggi. Bagi Arsyi yang semalam tidur di bangku taman, tempat ini seperti dunia lain.
Sinta menekan bel. Gerbang besi perlahan terbuka, mengeluarkan suara mekanis yang tegas.
Arsyi melangkah masuk. Setiap pijakan kakinya di jalan berbatu halaman itu terdengar jelas, membuat jantungnya berdegup makin kencang.
Di ruang tamu, mereka menunggu. Sunyi, hanya suara detak jam dinding yang terasa menghantam telinga.
Lalu langkah sepatu terdengar.
Seorang lelaki muncul dari balik pintu. Tinggi, tegap, berbalut kemeja hitam sederhana tanpa banyak aksesoris namun justru menegaskan wibawanya. Rahangnya tegas, sorot matanya tajam bagai baja.
Dia lah... Rendra.