Mencintaimu bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin bisa mati rasa. - Nadhira Farzana -
Hasrat tak kuasa dicegah. Nafsu mengalahkan logika dan membuat lupa. Kesucian yang semestinya dijaga, ternoda di malam itu.
Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.
Dira terlupa. Ia terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga tanpa ikatan suci yang dihalalkan bersama Dariel--pria yang dianggapnya sebagai sahabat.
Ritual semalam yang dirasa mimpi, ternyata benar-benar terjadi dan membuat Dira harus rela menelan kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan selama ini. Mengandung benih yang tak diinginkan hadir di dalam rahim dan memilih keputusan yang teramat berat.
'Bertahan atau ... pergi dan menghilang karena faham yang tak sejalan.'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 5 Dusta
Happy reading
"Ra --"
Suara Firman membuat Dira terhenyak dan tersadar dari mode mematung.
"Semalam kamu berada di mana?" Firman mengulangi pertanyaannya dan menatap lekat manik mata sang putri.
"Semalam, Dira terpaksa menginap di rumah teman, Yah." Dira terpaksa berdusta. Tidak ada pilihan selain itu.
Sungguh, ia belum siap jika harus berkata jujur pada ayah dan bundanya. Ia juga belum siap untuk menghadapi kemurkaan mereka.
"Karena hujan deras, Dira nggak berani pulang ke rumah dan memutuskan untuk menginap di rumah Kenanga yang jaraknya tidak jauh dari Sunshine Cafe," imbuhnya menjelaskan. Dira berharap kedua orang tuanya percaya dan tidak sedikit pun menaruh curiga.
Firman menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia lega setelah mendengar jawaban yang diberikan oleh Dira.
Putrinya menginap di rumah seorang teman, bukan berada di tempat yang tak semestinya.
"Syukurlah kamu menginap di rumah temanmu. Ayah dan Bunda khawatir ... kamu berada di tempat yang tak semestinya," ucapnya berterus terang dan membuat Dira semakin merasa berdosa.
Dira menunduk dalam. Menyembunyikan kristal bening yang mulai menganak di kelopak mata. Dadanya serasa sesak kala mendengar ucapan sang ayah.
Ia memang berada di tempat yang tak semestinya, bukan menginap di rumah seorang teman. Apalagi teman yang bernama Kenanga. Nama yang diambilnya dari kata 'Kenangan' -- Omah Kenangan. Penginapan yang menjadi saksi bisu ritual semalam.
"Kamu sudah menghubungi Aldi, Ra? Mungkin dia juga sama seperti kami. Merasa khawatir dan --"
"Untuk saat ini, Dira nggak ingin dihubungi atau menghubunginya, Yah. Dira marah dan kecewa pada Aldi. Dia membuat Dira menunggu sampai larut malam. Bahkan, nggak punya inisiatif untuk menjemput Dira." Dira memangkas ucapan Firman dan mengungkapkan kekesalannya terhadap Aldi.
"Ayah juga menyayangkan hal itu. Tapi, Ayah berusaha memaklumi Aldi, karena dia terpaksa melakukan itu demi menemui klien penting. Ayah yakin, Aldi giat bekerja demi mempersiapkan masa depan kalian."
"Dira juga selalu memakluminya, tapi untuk kali ini .... tidak. Dira merasa lelah dan ingin menyerah. Tidak ada gunanya mempertahankan hubungan kami. Cukup berakhir sampai di sini."
"Kenapa tiba-tiba saja kamu ingin menyerah, Ra? Bukankah sudah tiga tahun kalian menjalin hubungan? Apa tidak sayang jika hubungan kalian berakhir hanya karena semalam ... Aldi tidak bisa memenuhi janjinya? Bunda yakin, sebentar lagi dia akan melamar mu. Jadi, bersabarlah. Jangan mengambil keputusan di saat hatimu dipenuhi amarah dan rasa kecewa." Nisa bertutur dengan merendahkan suara.
"Selama ini Dira sudah berusaha untuk selalu bersabar, Bun. Kenyataannya Aldi belum berani berkomitmen untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Setiap Dira meminta kepastian, dia seolah menghindar. Ada saja alasan yang dijadikan tameng. Seperti tadi malam. Dira yakin, pertemuan nya dengan klien hanya sebuah alibi untuk menggagalkan janjinya." Dira menjeda sejenak ucapannya dan menghembus napas kasar.
"Dira memang mencintai Aldi. Tapi, Dira harus rela melepasnya. Karena mencintai pria seperti Aldi, bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin, bisa mati rasa," sambungnya meluapkan isi hati.
Nisa dan Firman terdiam. Keduanya berusaha menelaah kata-kata yang diucapkan oleh Dira--putri semata wayang mereka.
'Mencintai pria seperti Aldi, bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin, bisa mati rasa.'
Rangkaian kata yang sederhana. Namun mendalam dan tersirat makna yang mewakili perasaan. Menghadirkan rasa sesak di dada.
"Ra, jika kamu sudah mantap untuk mengakhiri hubunganmu dengan Aldi, Ayah tidak akan melarang. Karena kamu yang lebih berhak memutuskan. Lanjut atau tidak," tutur Firman bijak.
"Bunda juga, Ra. Rangkaian kata yang tadi kamu ucapkan, membuat dada Bunda serasa sesak. Dalam dan menyakitkan. Bunda jadi memahami, bagaimana perasaanmu. Ayah dan Bunda hanya bisa mendukung apapun yang menjadi keputusanmu, karena kamu yang lebih mengenal sifat dan karakter Aldi dibanding kami. Maaf jika selama ini Bunda sering kali memintamu untuk bersabar dan bertahan."
"Makasih, Ayah, Bunda." Dira mengulurkan tangan, lalu memeluk erat tubuh sang bunda.
Seutas senyum terbit menghiasi bibir Nisa. Tangannya yang semula menjuntai terangkat untuk membalas pelukan putri tercinta.
Hati Firman menghangat kala menyaksikan adegan manis yang tersaji di hadapan. Ia lantas beranjak dari sofa, lalu berjalan ke arah ranjang untuk memeluk dua kesayangan, istri dan putrinya.
Dira merasa teramat bersyukur memiliki orang tua yang sangat mengerti dan menyayanginya.
Namun, di sisi lain ... ia juga merasa teramat bersalah karena telah mengkhianati kepercayaan mereka dengan melakukan dosa terbesar.
Dosa yang mungkin tak akan terampuni dan membuat kedua orang tuanya terpukul. Bahkan mungkin ... teramat murka.
Ayah, Bunda, maaf. Dira berdosa, Dira gagal menjaga Marwah dan kepercayaan kalian. Maaf .... Batin Dira berbisik lirih.
Perlahan Firman mengurai pelukan. Begitu juga Nisa dan Dira, diiringi tawa kecil yang mengudara.
"Ra, kapan kamu mau menemui Aldi?" Firman menginterupsi.
"Insya Allah segera, Yah. Setelah Dira merasa baikan." Dira menjawab tanpa terselip ragu.
Firman mengangguk kecil, diikuti helaan napas dalam.
Ia percaya jika Dira telah menimbang dan memikirkan keputusannya dengan sangat matang.
Mungkin, keputusan itu adalah jalan terbaik bagi putrinya untuk menggapai cita dan merengkuh bahagia.
"Ya sudah, istirahatlah dulu. Jangan banyak pikiran supaya lekas pulih," tutur Firman sambil mengusap bahu putrinya.
"Ayah sayang kamu, Ra." Satu kecupan berlabuh di kening Dira. Dalam dan menenangkan. Membuat hati seorang anak tergetar.
"Bunda juga." Sama seperti Firman, Nisa pun melabuhkan kecupan dalam di kening Dira.
Mereka lantas beranjak pergi. Meninggalkan Dira yang kini tak kuasa menahan air mata yang sedari tadi ingin tertumpah.
Tubuhnya bergetar hebat, bibirnya tak mampu berucap.
Ia semakin merasa bersalah dan berdosa pada kedua orang tuanya.
Entah bagaimana jadinya jika ayah dan bundanya tahu bahwa putri yang dibanggakan oleh mereka tidak bisa menjaga Marwah dan mengkhianati kepercayaan mereka. Bahkan berdusta ....
🌹🌹🌹
Bersambung
Hai, Kakak terlove yang sudah berkenan hadir ... semangati author dengan meninggalkan jejak like 👍🏻
Subscribe ❤️
Beri komentar ✍🏻
Jangan lupa vote & 🌹
Terima kasih 🙏🏻
sukses selalu buat Autor yg maniiiss legit kayak kue lapis.
apalagi aku..
itu memang nama perusahaannya..??
wawww
aku aminkan doamu, Milah
ya pastilah hasratnya langsung membuncah