Penolakan Aster Zila Altair terhadap perjodohan antara dirinya dengan Leander membuat kedua pihak keluarga kaget. Pasalnya semua orang terutama di dunia bisnis mereka sudah tahu kalau keluarga Altair dan Ganendra akan menjalin ikatan pernikahan.
Untuk menghindari pandangan buruk dan rasa malu, Jedan Altair memaksa anak bungsunya untuk menggantikan sang kakak.
Liona Belrose terpaksa menyerahkan diri pada Leander Ganendra sebagai pengantin pengganti.
"Saya tidak menginginkan pernikahan ini, begitu juga dengan kamu, Liona. Jadi, jaga batasan kita dan saya mengharamkan cinta dalam pernikahan ini."_Leander Arsalan Ganendra.
"Saya tidak meminta hal ini, tapi saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih sepanjang hidup saya."_Liona Belrose Altair.
_ISTRI KANDUNG_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Takut Kehilangan
Mereka semua menaiki jet pribadi milik Leander. Semua fasilitas sudah dirancang oleh Leander untuk kenyamanan istrinya agar Liona nyaman selama di perjalanan. Penerbangan kali ini cukup panjang, memakan waktu 20-24 jam jika cuaca bagus.
Penerbangan kali ini juga bukan penerbangan non-stop.
Galen terus memperhatikan istrinya yang tampak begitu ceria kali ini, Leander juga sama. Istri mereka tengah berbincang yang entah membahas apa, yang jelas keduanya bahkan sampai tertawa terbahak.
“Selama dua tahun menikah dengan Karina, baru kali ini aku melihat dia tertawa begitu. Selama ini yang dia tunjukkan hanyalah ketegaran dan keteguhan saja, padahal yang dia rasakan sebuah tekanan yang menyakitkan. Ini benar-benar sangat buruk,” tutur Galen yang kini tersenyum sendu menatap istrinya.
“Kamu belum terlambat, jangan sampai nasibmu sama seperti Tristan. Yang menyesali kepergian Katty setelah Katty tiada. Liona tidak sekuat Karina, aku selalu memastikan kondisi hatinya aman agar aku tidak merasakan sesal karena kehilangan istri,” sahut Leander lalu mengisi gelas dengan minumannya.
“Apa yang akan terjadi setelah ini?” tanya Galen melirik adiknya.
“Paling orang tua kita sedang memikirkan cara untuk menarik simpati dan mencoba memanipulasi keadaan seperti biasa. Sudah template begitu, kan?” Galen mengangguk sambil tersenyum.
“Aku ingin mundur, Lean. Sudah cukup semua kekuasaan aku kejar selama ini dan hasilnya aku tidak bahagia. Kalau memang bisnis tidak akan bisa lagi, aku akan menjadi kuli yang penting aku tetap bersama Karina,” ujar Galen dengan mantap.
Leander menepuk pelan pundak kakak sulungnya. “Aku tidak akan membiarkanmu jatuh, kalau nanti karirmu dihancurkan, aku akan membantumu bangkit. Ganendra hanyalah nama, saham terbesar milikku dan sistem aku yang jalankan.”
“Tapi kenapa kau masih patuh pada Mama?”
“Dia ibuku dan aku wajib menyayanginya. Aku hanya berharap, suatu saat dia sadar dan menyadari betapa indah kebersamaan keluarga. Semenjak kehilangan adik kita, mama sangat takut kehilangan hingga dia membuat aturan ini agar tidak ada yang bisa mengambil anak-anaknya. Aku paham itu.” Galen mengangguk-anggukkan kepala karena memang ibunya memiliki trauma kehilangan anak.
“Tidak mudah mengubah mama.”
“Iya tapi kita bisa mencoba, Galen. Dengan adanya keributan ini, semoga nantinya mama akan berbuat baik pada Liona dan Karina. Saat itulah kita bisa memasukkan rasa, hati mama bukan terbuat dari batu. Dia butuh kebersamaan tapi caranya salah, itu saja,” seloroh Leander yang dibenarkan oleh Galen.
Karina kini memainkan sumpit di tangannya agar bisa seimbang di atas jari telunjuknya.
“Aku bisa, Lio. Lihat, sumpitnya seimbang,” seru Karina dengan tawa merekah.
“Aku juga bisa, Kak.” Liona tak mau kalah, dia juga berusaha menyeimbangkan letak sumpit di jari telunjuknya.
“Wwwoohhhh.” Karina dan Liona yang kaget membuat sumpit itu jatuh, suara Zion benar-benar merusak konsentrasi mereka.
“ZIOOONNN.” Karina dan Liona berteriak yang membuat Zion tertawa.
“Lemah, baru satu sumpit saja kalian tidak bisa. Lihat aku.” Zion mempraktekkan lima sumpit di ujung kelima jarinya dan benar, sumpit itu terletak dengan tenang dan seimbang.
Liona bertepuk tangan seperti anak kecil, Tristan yang gemas mendekap kepala Liona dan menyentuh dagu adik iparnya.
Liona yang tidak menyadari hal itu hanya tertawa bahagia, sementara Leander langsung mendekati istri dan adiknya.
“Bisa tidak, tanganmu itu dikondisikan? Dia istriku, bukan boneka,” tegur Leander pada Tristan.
“Aku refleks, benar-benar gemas aku dengan istrimu, Leand, apalagi dagunya. Sangat cantik,” puji Tristan yang membuat Leander semakin cemburu.
“Kamu duduk di sini,” titah Leander sambil menarik tangan Liona agar duduk di sampingnya.
Karina juga duduk di samping Galen dan Tristan Zion duduk saling berhadapan.
“Tapi dagu Liona memang cantik, aku saja suka,” puji Karina yang kini didekap oleh Galen.
“Oh ya?” Leander menangkup wajah istrinya dan memperhatikan dagu Liona.
“Semuanya cantik, bukan hanya dagu,” puji Leander.
Pipi Liona bersemu merah, mengalahkan warna blush on yang dia pakai saat ini.
“Aku ingat Anastasia, dia punya dagu yang mirip dengan Liona. Makanya aku sangat suka dan Liona juga sangat cantik, sial saja dia punya suami bangkotan sepertimu, Lean.” Tristan menyeletuk dengan santai.
Leander langsung melemparkan sebotol minuman pada Tristan.
“Brengsek,” umpatnya.
“Kau tenang saja, Liona adik ipar kesayanganku dan Karina kakak ipar kecintaanku. Karena kalian berdua tidak akan mungkin menikah lagi, makanya mereka satu-satunya ipar yang aku sayang dan cintai,” balas Tristan dengan kekehannya.
Semua ikut terkekeh geli mendengar celetukan Tristan yang random itu.
“Apa aku yang belum bisa merasakan keindahan ini?” timpal Zion dengan tampang murung.
“Mana tau nanti di Varamesh kamu ketemu jodoh, Zion.” Liona berkata dengan senyum manisnya.
“Ya memang itu tujuanku ikut, aku sudah lelah juga melihat tumpukan kertas di kantor selama ini,” balas Zion dengan kekesalannya.
Mereka kembali tertawa bersama.
...***...
Gita mengamuk dan melemparkan semua barang-barang di dalam kamarnya. Gibran mencoba untuk menghentikan namun Gita terlalu keras untuk mendengarkan ucapan Gibran.
“Mereka sudah mengambil anak-anakku, lihatkan, mereka meninggalkan aku untuk bersenang-senang. Aku tidak mau kehilangan anak-anakku,” tangis Gita dengan histeris sambil terus merusak semua barang-barangnya.
Gibran memeluk erat istrinya itu dan membiarkan Gita menangis hingga puas.
“Mereka hanya liburan, Gita. Mereka butuh ketenangan juga, kamu jangan berpikir yang aneh-aneh. Anak-anak kita akan tetap tinggal di sini, mereka akan pulang.” Gibran terus mencoba menenangkan Gita yang kini semakin histeris.
“Aku benci para perebut itu, anak-anak itu milikku dan akan selamanya menjadi milikku.” Gibran mengusap lembut kepala istrinya.
“Iya, Gita. Anak-anak hanya milikmu, kamu harus tenang dulu ya. Kalau kamu mengamuk terus, yang ada anak-anak akan takut untuk pulang ke rumah.” Perkataan Gibran sukses membuat Gita langsung diam.
Dia melepaskan pelukan Gibran dan menatap suaminya dengan tatapan hampa.
“Apa mereka takut padaku?” tanya Gita dengan suara serak, Gibran mengusap helaian rambut yang menutupi wajah istrinya.
“Tidak. Mereka hanya pergi liburan saja dan pasti akan pulang. Nanti mereka akan membawakan oleh-oleh untuk kita, sabar ya.” Gita mengangguk dan tersenyum.
“Iya. Aku akan membereskan rumah ini agar nanti jika mereka pulang, semua sudah bersih.” Gita berdiri dan menyusun kembali barang-barang yang sudah berantakan.
Ia juga menyapu barang-barang yang telah rusak sambil tersenyum dan bergumam. “Anak-anakku akan pulang, mereka hanya liburan. Anak-anakku tidak meninggalkan aku.”
Gibran memejamkan matanya, kondisi Gita ini sering terjadi jika anak-anaknya mulai tidak bisa ia kendalikan. Ketakutan akan kehilangan begitu mendominasi hati dan pikiran Gita sehingga dia melakukan berbagai cara agar anak-anak itu terus bersamanya.