Alisa Veronica gadis cantik yang hidup sebatang kara dalam kesederhanaan. Menjalin kasih dengan seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang di kota Bandung. Rayyen Ferdinand. Mereka menjalin kasih semenjak duduk di bangku SMA. Namun, kisah cinta mereka tak semulus yang di bayangkan karena terhalang restu dari orang tua yang menganggap Alisa berasal dari keluarga yang miskin dan asal-usul yang tidak jelas. Di tambah lagi kisahnya kandas setelah Rayyen melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Rayyen pergi tanpa sepatah kata atau mengucap kata putus pada Alisa. Ini yang membuat Alisa galau brutal dengan kepergian Rayyen. Enam tahun berlalu, kini Alisa tumbuh menjadi wanita dewasa yang semakin cantik, berbakat dan tentunya kini dia mempunyai bisnis sendiri . Alisa mempunyai toko kue yang cukup terkenal di Jakarta. Dan dia mempunyai 2 cabang di Bandung dan Surabaya. Ada suatu acara dimana ia di pertemukan kembali dengan Rayyen dengan situasi yang canggung dan penuh tanda tanya. Rayyen datang bersama gadis cantik yang terus bergelayut manja di lengan kekarnya. Sedangkan Alisa datang dengan sahabat baiknya, Marko. Seakan waktu di sekeliling berhenti bergerak, Alisa merasakan sesak kembali setelah bertemu dengan Rayyen. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dia lontarkan ke wajah kekasihnya itu. Namun itu semua hanya berputar dalam otaknya tanpa keluar satu kata pun. Akankah kisah cinta mereka akan terulang kembali??? Kita liat saja nanti. Heheheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 GANTUNG
Rayyen menoleh pelan.
“Aku capek,” lanjut Alisa. “Capek nunggu. Capek nebak-nebak. Kalau memang kamu udah nggak mau lanjut, bilang aja. Aku bisa pergi. Tapi jangan gantung aku kayak gini.”
Rayyen diam.
Dan di saat itulah, Alisa sadar.
Ia sudah terlalu lama menjadi satu-satunya yang memperjuangkan hubungan ini.
Dengan menggigit bibir bawahnya, Alisa bersuara lirih,
“Ay…”
Satu kata itu keluar pelan dari mulutnya, penuh harap. Rayyen yang sedang termenung di taman, menatap wajah kekasihnya yang begitu dirindukan. Ada rindu yang dalam di matanya, membuatnya hampir berdiri dan menyambut Alisa dengan pelukan hangat. Namun sekuat tenaga ia menahan diri demi kebaikan bersama.
Mereka hanya saling menatap, terdiam. Semilir angin berhembus pelan, ikut merasakan ketegangan yang membekukan.
“Ay… aku kangen,” Alisa melanjutkan, suaranya mulai bergetar, mata berkaca-kaca.
Rayyen berdiri perlahan, bersiap meninggalkan taman. Namun dengan cepat Alisa meraih tangannya. “Tolong jangan pergi,” pinta Alisa lirih.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Rayyen melepaskan genggaman Alisa dengan kasar. Tubuh gadis itu terhuyung sedikit ke belakang, terkejut oleh perlakuan yang belum pernah ia terima selama mereka pacaran.
“Ay… tolong jangan seperti ini. Tolong! Jangan buat aku bingung. Apa aku salah, Ay? Apa aku pernah salah bicara? Apa ada yang salah dariku?” suara Alisa pecah, air mata mulai menetes. “Tolong, bicara! Jangan terus menghindar!”
Rayyen tetap diam, matanya menerawang jauh. Biasanya, saat Alisa menangis, dia akan memeluk dan menenangkan, merasa paling bersalah karena tak mampu membahagiakan. Tapi kali ini berbeda. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada kata penenang.
“Ay, tolong jangan diam saja. Bicara dong, biar aku tahu salahku di mana. Aku... aku mau berubah kalau memang kamu nggak suka. Aku nggak bisa kalau kamu terus diem saja. Kamu satu-satunya yang aku punya, Ay. Jangan perlakukan aku seolah-olah kamu mau pergi dari aku,” Alisa menangis terisak, tangannya memukul dada Rayyen. “Aku serasa pincang tanpa kamu, Ay... Tolong jangan jahat padaku.”
Rayyen hanya mengangkat kepala ke langit, tangan terkepal kuat sampai urat-uratnya tampak menonjol. Ia ingin memeluk Alisa, tapi sadar harus menjaga jarak demi kebaikan keduanya.
Sesekali dia menghirup udara dalam-dalam, dadanya terasa sesak melihat Alisa yang menangis di depannya, tubuh kecil itu diguncang oleh tangannya yang gemetar.
“Ay, tolong bicara! Apa kamu sekarang bisu?” suara Alisa mulai emosi, tapi air matanya tak berhenti mengalir. “Kamu bilang nggak akan buat aku sedih, nggak akan biarkan aku menangis, kamu janji bakal selalu kasih aku bahagia, nggak bakal ninggalin aku. Tapi kamu bohong, Ay. Kamu bohong,” Alisa menumpahkan semua kesedihannya, tangannya masih memukul dada Rayyen. “Kamu jahat... jahat...”
“Maaf. Maafkan aku,” suara Rayyen terdengar lirih sebelum dia berlari menjauh, meninggalkan Alisa yang tersisa sendirian.
Hanya kata maaf yang sempat didengar Alisa, tanpa ada kejelasan. Rasanya semua masih menggantung, tak terjawab. Kaki gadis itu terhuyung dan akhirnya bersimpuh di tanah, tak ada tenaga untuk mengejar. Air matanya bercampur dengan rintik hujan yang mulai turun, membasahi bumi dan hatinya.
Sesampainya di panti, tubuh Alisa masih bergetar, wajahnya pucat. Bu Rianti, ibu panti yang sangat sayang padanya, langsung mengangkat dan membawanya masuk. Ia segera menyuruh Alisa berganti pakaian dan menyiapkan makanan serta teh hangat supaya gadis itu tak masuk angin.
Bu Rianti duduk di samping Alisa, mengusap lembut rambutnya. Ada kekhawatiran yang terpancar dari wajah ibu itu.
“Ceritakan ke ibu, sebenarnya ada apa, sayang? Kenapa kamu sampai seperti ini?” tanya Bu Rianti lembut.
Alisa menunduk, berusaha menyembunyikan air matanya. “Ini... ini karena Rayyen, Bu,” suaranya pelan. Air mata akhirnya pecah, membanjiri pipinya.
“Hmm, apa memang masalah kalian?” Bu Rianti mencoba menebak.
Alisa hanya mengangguk pelan, lalu menangis tersedu-sedu. “Aku nggak tahu salahku di mana, Bu. Malam itu, habis dari sini, dia tiba-tiba berubah. Dia nggak mau bicara sama aku. Aku bingung, Bu. Aku pengen selesaikan masalah ini, tapi dia terus menghindar.”
Bu Rianti menepuk bahu Alisa pelan, seolah ingin membagi kekuatannya. “Mungkin Rayyen lagi ada masalah, dan dia butuh waktu sendiri. Coba beri dia ruang, Nak. Kadang ada hal yang nggak bisa kita campuri. Tapi Ibu yakin, kalian masih punya kesempatan.”
“Tapi, Bu, sikapnya beda sekali. Bukan seperti biasanya,” Alisa menggeleng, suara masih bergetar.
“Ibu tahu, masalah dalam hubungan itu wajar, apalagi kalian masih muda. Perjalanan hidup kalian masih panjang. Jangan terlalu larut dalam masalah cinta. Fokus saja pada cita-cita, kuliah, masa depan. Kalau memang jodoh, Tuhan akan pertemukan. Kamu juga perempuan, jangan terlalu mengejar laki-laki, itu malah bisa turunkan harga dirimu,” nasihat Bu Rianti dengan lembut.
“Tapi Bu, selama ini kami baik-baik saja. Aku nggak tahu kenapa sekarang berubah seperti ini. Dia nggak mau kasih tahu aku apa salahku,” Alisa kembali mengeluh.
“Sabarlah, sayang. Jangan pikirkan terlalu dalam soal cinta dulu. Fokus ke persiapan kuliahmu,” Bu Rianti mengingatkan.
Alisa hanya mengangguk pelan, tak menjawab lagi.
Hari pengumuman kelulusan pun tiba. Alisa berhasil meraih nilai tertinggi di angkatannya, diikuti Rayyen di urutan kedua. Tapi tidak ada kebahagiaan di wajah Alisa. Yang ada hanya luka dan kesedihan, karena selama beberapa hari ini Rayyen tidak pernah datang ke sekolah sejak insiden di taman itu. Teman-teman basketnya pun bertanya-tanya, tapi tak ada yang tahu keberadaan Rayyen.
Dona, sahabat Alisa, mencoba menghibur. Dia sudah tahu masalah antara Alisa dan Rayyen. Alisa sudah menceritakan semuanya, dan Dona makin kesal dengan kelakuan Rayyen yang tidak gentle, menggantung perasaan temannya tanpa kejelasan.
Setiap hari, wajah Alisa terlihat murung. Senyum yang muncul hanyalah pura-pura agar orang lain tak terlalu khawatir.
Hari ini, cuaca kembali mendung dan hujan rintik-rintik turun. Dona sudah pulang bersama kakaknya dengan motor. Alisa memilih berjalan kaki pulang sendirian, untung saja membawa payung.
Di bawah hujan, langkah Alisa terasa berat. Hatinya penuh pertanyaan, apakah hubungan mereka masih ada harapan? Atau sudah saatnya dia belajar melepas?
Saat menapaki jalan setapak menuju rumah panti, Alisa teringat janji-janji manis yang dulu pernah diucapkan Rayyen. Kata-kata itu kini berbalik menjadi luka yang sulit untuk dihapus. Betapa dia dulu selalu merasa aman dan bahagia di samping Rayyen, namun sekarang semua berubah seolah menjadi mimpi buruk.
Ia berhenti sejenak di bawah pohon besar, menatap tetesan hujan yang jatuh dari daun-daun. Hatinya remuk, tapi dia tahu harus tetap kuat. Mungkin ini memang ujian cinta, yang harus dilaluinya seorang diri. Atau mungkin, ada cerita lain yang belum terungkap di balik sikap dingin Rayyen itu.
Alisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku harus kuat. Untuk diriku sendiri, dan untuk masa depanku,” bisiknya pelan.
Langkahnya kembali berlanjut, menyusuri jalan setapak berlumpur, menyambut malam yang dingin dan penuh tanda tanya.