Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Dihadapan Melisa Dirgantara 2
"Aku malu sebagai ibumu, malu pada keluarga Dirgantara, dan malu pada orang orang yang percaya bahwa pernikahan kalian merupakan awal dari sesuatu yang baik"
Tante Melisa melirikku, lalu berkata "Dan kamu, Nadira...Kamu tidak bersalah, tapi kamu juga tidak jujur. Jangan biarkan dirimu diperlakukan seperti ini tanpa suara, aku tidak membesarkan Dewa untuk memperlakukan seorang wanita seperti ini"
Aku mengangguk pelan. "Maaf,bu..." hanya itu yang sanggup aku katakan.
Tante melisa menghela nafasnya, menyandarkan tubuhnya ke sofa, untuk pertama kalinya semenjak tadi pagi wajahnya terlihat lelah, bukan marah.
"Kalau kalian tidak bisa belajar menjadi pasangan, kalian akan saling menghancurkan...Dan aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi dibawah atap rumah ini"
Lalu matanya tersorot kepada Dewa yang diam membeku, Kali ini tatapan bukan sekedar marah, ada luka yang tersembunyi di dalam sana.
"Dan satu hal lagi" katanya pelan tapi menyayat.
"Aku tau kamu pulang ke rumah ini hanya untuk tidur."
Dewa diam. Kepalanya kembali menunduk.
"Aku tau kamu sarapan di luar,Aku tau kamu bahkan tidak pernah makan malam di rumah, kamu pergi pagi pagi lalu pulang larut malam, Terkadang kamu tidak pulang, tidak tau dimana keberadaanmu berhari hari, Bersikap seperti kau masih bujang." Tante melisa mencondongkan tubuhnya kedepan, nadanya lebih dingin dari sebelumnya.
"Meninggalkan istrimu di rumah ini, Seorang diri. Sedangkan kau kesana kemari hanya memperdulikan dirimu sendiri, Membangun tembok yang begitu besar antara kamu dan dia, Bahkan sekalipun kamu tidak mengajaknya berbicara selayaknya pasangan yang baru menikah."
Aku menunduk lebih dalam, menahan rasa malu, Semua yang dikatakan oleh tante Melisa adalah kebenaran, tapi entah mengapa jika dikatakan oleh orang lain dengan Dewa yang duduk di sebelahku, membuatnya jauh lebih nyata. Lebih menyakitkan.
"Apa yang kau inginkan Dewa!?" Nadanya tegas
"Kau tidak hanya mempermalukan Nadira, tetapi juga aku, Seakan semua yang ku ajarkan kepadamu adalah omong kosong."
"Malam ini, Kalian bicara, kalian tidur di kamar yang sama. Dan mulai besok, kamu pulang sebagai seorang suami. Bukan sebagai tamu."
Dia berdiri dan meninggalkan kami berdua di ruang tamu, Disusul oleh asistennya dan mbak yuni, sunyi membeku, Hanya suara detak jam dan napas kami yang masih terdengar. Dewa masih belum bicara. Aku juga, tetapi untuk pertama kalinya setelah menikah, kami duduk berdampingan- bukan sebagai dua orang yang ingin duduk bersama, tapi sebagai dua orang yang tidak bisa lari dari kenyataan.
......................
Kamar itu sunyi saat aku membuka pintu, lampu utama tidak dinyalakan, hanya ada cahaya dari lampu disudut meja yang menerangi sebagian ruangan.
Dewa sudah ada disana, dengan kaki selonjoran dan laptop yang terbuka diatas pahanya, jemarinya sibuk mengetik, tetapi matanya sesekali melihat layar laptop dengan malas, aku melihat dengan jelas dia tidak benar benar fokus, atau mungkin dia tidak sibuk, dia hanya berusaha melakukan sesuatu agar tidak perlu menyapaku.
Aku menarik nafas lalu menutup pintu perlahan, suara putaran kunci terdengar sangat jelas di telingaku. Aku berdiri disana beberapa detik, mengatur nafas dan menyiapkan kata kata. Kamar yang besar dan nyaman ini terasa terlalu sempit untuk dua orang yang tidak benar benar pernah saling bicara.
"Aku minta maaf," Kata ku akhirnya.
Dewa tidak menjawab, dia hanya berhenti mengetik sebentar lalu melanjutkannya lagi.Tapi aku tau dia mendengarku.
"Aku tidak tau kenapa ibu tiba tiba datang kesini, aku tidak pernah bilang apa apa ke beliau." Lanjutku, suaraku bergetar sedikit. "Dan meskipun bisa, aku tidak akan menyalahkanmu dan mengadu kepada ibu..."
Dewa menutup laptopnya pelan, menaruhnya di samping dan akhirnya menatap ku, dengan wajah datar dia berkata.
"Aku tau"
Jawabannya singkat, berhasil membuatku mengerutkan alis, penasaran.
"Kamu tau?" tanyaku
"Itu semua mbak Yuni yang mengadu kepada Ibu, Dari dulu ibu selalu punya seseorang yang dia minta untuk mengawasiku, Aku tidak terlalu terkejut saat dia datang tadi pagi." Ini kalimat terpanjang yang pernah dia ucapkan kepadaku,sejauh ini.
Aku ingin duduk, tapi aku bingung duduk di mana, akhirnya aku memilih untuk duduk di ujung ranjang, tetap menjaga jarak dari dirinya.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu