Hulya Millicent harus terjebak dalam obsesi cinta seorang bos mafia. Dia bahkan tidak tahu kalau dirinya telah dinikahi oleh sang mafia semenjak usianya baru 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Kedekatan Dengan Orang Baru
...•••Selamat Membaca•••...
Malam harinya, Hulya keluar mencari bahan makanan untuk dimasak besok, karena kesibukannya, dia tidak memiliki waktu untuk belanja di siang hari. Hulya ke supermarket yang tidak jauh dari apartemennya sendiri.
Ketika keluar, dia berpapasan dengan Dexter, pria tegap dan kokoh itu terlihat begitu rapi dengan kemeja hitam serta pakaian formal yang membuat penampilannya sangat berbeda dengan tadi.
"Malam, Dexter," sapa Hulya dengan ramah, dia tidak mengharapkan balasan dari pria tersebut karena pria itu sangat dingin dan cuek.
"Malam Hulya, mau ke mana?" tanya Dexter dengan ramah, sangat jauh dari perkiraan Hulya sehingga wanita itu sedikit menganga lalu segera mengondisikan ekspresi wajahnya.
"Supermarket, kau sendiri?"
"Club." Hulya hanya tersenyum, dia tidak bertanya lebih banyak lagi karena tidak ingin terlalu ikut campur urusan orang lain.
Hulya hanya mengenakan pakaian rumah biasa tapi tetap terlihat elegan di tubuhnya. Mereka memasuki lift dan hanya ada mereka berdua saja.
Dalam ruangan kecil itu, Dexter bisa melihat dengan jelas wajah Hulya dari dekat, terlebih Hulya tidak menggunakan make up.
Refleks tangan Dexter menyentuh lebam di rahang dan kening Hulya. Bekas luka itu belum hilang sempurna, Hulya kaget saat Dexter menyentuh wajahnya.
"Apa kau hobi berkelahi?" tanya Dexter pada Hulya.
"Tidak, aku tidak sejago itu berkelahi," jawab Hulya lalu menjaga jarak dari Dexter, dia masih berusaha untuk tersenyum.
"Kenapa Marchel tidak ikut tinggal bersama denganmu? Apa kalian bertengkar?" Hulya kaget mendengar nama mantan suaminya disebut.
"Kamu kenal Marchel?"
"Siapa yang tidak kenal dia, dia rekan bisnisku."
"Oh jadi kau ini bukan tukang listrik?" Dexter tertawa dan itu terlihat manis di mata Hulya.
"Apa tampangku ini seperti tukang listrik? Aku tampan begini kau bilang tukang listrik."
"Haha bukan begitu Dexter, kan tadi kau mengenakan seragam—"
"Aku mencuri seragam itu dari seseorang," potong Dexter yang dibalas anggukan oleh Hulya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, kenapa kau tinggal sendiri di apartemen ini? Mana Marchel?"
"Aku dan dia sudah tidak bersama lagi."
"Kalian bercerai?"
"Ya begitulah."
"Apa lebam ini tersebab olehnya?"
"Hm aku rasa itu sudah ranah pribadiku, Dexter." Hulya sangat enggan membahas mengenai kehidupannya pada orang lain terlebih orang yang baru dia kenal.
"Berarti jawabannya, iya."
Ting.
Pintu lift terbuka, mereka berdua sama-sama keluar dan berjalan ke tempat tujuan masing-masing. Dexter menuju parkiran untuk mengambil mobilnya sedangkan Hulya memilih untuk menunggu taksi hingga mobil Dexter berhenti di hadapan Hulya.
"Naiklah, aku akan mengantarkanmu ke supermarket, kebetulan aku ke arah yang sama," ajak Dexter yang disetujui oleh Hulya.
“Terima kasih tumpangannya, Dexter.”
“Oke.”
Di dalam mobil, mereka bercerita banyak hal. Sudah seperti saling kenal lama satu sama lain, mereka bahkan saling tertawa dan melempar lelucon.
"Bagaimana kalau kau temani aku dulu ke club, hanya sebentar, nanti aku akan menemanimu ke supermarket."
"Memang ada apa ke club?"
"Aku hanya ingin bertemu klien sebentar, hanya sebentar saja." Hulya tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju.
"Tapi pakaianku sangat tidak cocok untuk ke club," kata Hulya.
"Apa kau sering ke club?"
"Aku tidak terlalu suka dengan suasana di sana."
"Ya sudah, pakaian ini lebih baik, kau sangat cantik."
"Kau memujiku? Aku tergoda Dexter," canda Hulya yang membuat mereka kembali tertawa.
Mereka sampai di club malam yang cukup mewah, hanya orang-orang kaya yang bisa ke sana. Dexter melihat keraguan di wajah Hulya saat akan memasuki club malam itu. Dexter menggenggam tangan Hulya yang terasa begitu dingin.
"Kamu gugup Hulya?"
"Sedikit, aku takut masuk ke club begini, kalau aku dijahati dan dilecehkan orang bagaimana?"
"Aku bersamamu kan, aku tidak akan membiarkan kamu dalam bahaya, percayalah padaku." Dexter meyakinkan Hulya dengan tatapan dan kata-katanya.
"Tapi Dexter...." pria itu menangkup wajah Hulya, menatap lamat mata indah itu dan mendekatkan wajahnya.
"Aku menjamin keselamatan dirimu, tidak akan ada yang menyakiti kamu Hulya. Tetaplah pegang tanganku dan tetaplah di sampingku, kamu akan aman." Hulya semakin yakin ketika melihat sorot mata Dexter yang meyakinkan.
"Oke." Untuk beberapa saat, Dexter tidak melepaskan tangannya dari wajah Hulya, dia seakan tersihir dengan kecantikan dan sorot mata wanita di hadapannya.
"Sampai kapan kau akan memegang wajahku seperti ini?" protes Hulya yang membuat Dexter tersadar dari lamunannya.
"Sorry, ayo masuk."
Hulya memegang dengan kuat tangan Dexter, tangannya basah karena keringat dingin, Dexter tersenyum melihat Hulya yang begitu berlindung di balik tubuh kekarnya seperti seorang anak kecil.
Dexter ternyata telah ditunggu oleh seorang pria paruh baya yang bisa ditebak kalau dia orang Asia, karena wajahnya begitu khas. Dexter duduk di sofa tepat di hadapan pria itu lalu Hulya di sampingnya, tatapan pria tersebut membuat Hulya takut, dia seakan ditatap intens.
"Berhenti menatap kekasihku seperti itu jika kau masih ingin kedua bola matamu tetap berada di tempatnya," tegas Dexter pada pria paruh baya tersebut dengan penuh penekanan.
Dexter semakin memegang tangan Hulya dengan posesif, ia merasa terlindungi oleh pria di sampingnya. Mereka mulai membicarakan bisnis gelap yang berkaitan dengan minuman keras serta obat-obatan terlarang.
Dari sini Hulya tahu kalau Dexter merupakan seorang mafia, sama seperti Marchel, bahkan bisa dilihat, Dexter adalah orang yang sangat disegani.
Setelah sepuluh menit berbincang, mereka akhirnya menyepakati transaksi lalu Dexter pergi dari sana membawa Hulya. Ketika berada di dalam mobil, Hulya bernafas lega, Dexter tersenyum.
"Lihatlah, tanganku sampai basah karena genggamanmu, Hulya," kata Dexter sembari menunjukkan telapak tangannya, Hulya mengambil tissue di dashboard mobil lalu mengelap telapak tangan Dexter dan telapak tangannya sendiri.
"Maaf ya Dexter, aku kalau gugup memang begitu, jujur saja, aku sangat takut melihat banyak orang-orang memegang senjata tadi. Kalian seperti mau berperang saja," sahut Hulya yang diikuti gelak tawa Dexter.
"Marchel itu bos mafia, apa dia tidak pernah membawamu untuk hal bisnisnya?"
"Tidak, aku juga tidak mau ikut, lagian buat apa?"
"Oke. Sekarang kita mau ke mana?" tanya Dexter.
"Ke supermarket, aku harus membeli beberapa bahan makanan untuk masak besok pagi dan malam ini, kebetulan aku sangat lapar."
"Kita cari restoran saja dulu, nanti baru ke supermarket, bagaimana?"
"Boleh."
Dexter membuka jas yang dia kenakan lalu membuka kancing atas kemeja dan menyingsingkan lengan bajunya hingga siku.
"Mau aku bantu?" tawar Hulya.
"Boleh."
Dexter memberikan lengannya pada Hulya, pria itu terus menatap Hulya dengan penuh rasa kagum, dalam hatinya terus bergumam kata 'sangat cantik'.
Mereka meluncur mencari restoran di dekat sana, Dexter membawa Hulya ke restoran mewah dan begitu berkelas lalu memesan makanan. Di sana mereka terlihat jauh lebih santai lagi.
"Boleh aku bertanya?" Dexter mengangguk, dia melipat tangan di atas meja dan menatap Hulya.
"Kamu itu mafia dan pastinya kamu memiliki banyak uang, kenapa kamu malah tinggal di apartemen?"
"Aku di sini hanya sebulan saja, aku pindah ke sana dua hari sebelum kamu pindah."
"Ooh jadi selama ini kamu di mana?"
"Sisilia, aku ke sini untuk urusan bisnis saja."
"Oh begitu, kamu sudah menikah?" tanya Hulya untuk kesekian kalinya.
"Sudah, ya sama seperti dirimu, aku bercerai dengan istriku karena dia sangat tergila-gila pada Marchel Grayson, mantan suamimu." Hulya membulatkan matanya.
...•••BERSAMBUNG•••...