Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 5
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang ketika Raka akhirnya menyeka keringat di pelipisnya dan menegakkan badan. Ia menatap kembali tanaman yang tadi ditelitinya satu per satu, lalu menatap catatannya.
"Untuk hari ini cukup, Bu. Sampel dan datanya saya bawa dulu. Nanti sore saya langsung ke lab, biar besok bisa saya laporkan hasil sementaranya ke Ibu," ucapnya, menutup map kerjanya dan memasukkan alat-alat ke dalam tas.
Aruna mengangguk, meski dalam hatinya masih ingin lebih lama di dekat pria muda itu. Mereka berdua segera berjalan kembali ke arah mobil Raka. Perjalanan kembali ke rumah Aruna tidak banyak kata, hanya sesekali komentar ringan tentang kondisi cuaca dan pemandangan sekitar.
Sesampainya di depan rumah, Aruna sempat menawarkan, “Kalau belum makan, makan siang dulu di sini, Raka. Kebetulan tadi pagi saya suruh Bu Marni masak ayam rica dan tumis bunga pepaya. Kamu pasti suka.”
Raka menoleh sambil tersenyum lembut. “Aduh, terima kasih banyak, Bu. Tapi saya harus langsung ke lab sekarang, biar semua ini bisa segera diproses. Sayang banget sebenarnya, tapi nanti malah kelamaan.”
Aruna hanya tersenyum, menahan kecewa kecil yang tidak ia tunjukkan. “Baiklah kalau begitu. Hati-hati ya di jalan, dan kabari saya kalau sudah dapat hasilnya.”
“Pasti, Bu. Sampai jumpa besok pagi, ya.” Raka membalas dengan senyum yang ramah, lalu masuk ke mobilnya dan perlahan melaju meninggalkan halaman rumah Aruna.
Saat mobil itu menghilang di tikungan, Aruna masih berdiri di depan teras, memandangi jejak roda yang basah di bebatuan. Ada sesuatu dalam dada yang tak bisa ia abaikan.
Malam mulai larut saat Aruna berdiri di depan lemari bajunya, membuka pintu gesernya perlahan. Ia memandangi deretan pakaian yang tergantung rapi, jemarinya menyusuri tekstur kain satu per satu, berpikir keras baju mana yang akan ia kenakan esok pagi. Sesuatu yang kasual, tapi tetap anggun. Yang tidak terlalu mencolok, tapi cukup membuat Raka meliriknya. Ia tersenyum kecil membayangkan reaksinya, hingga lamunan itu buyar oleh suara ponsel yang tiba-tiba berdering.
Getaran lembut di meja rias membuatnya menoleh cepat. Ia berjalan ke arah ponsel itu, lalu melihat nama yang tertera di layar: Bagas.
Wajah Aruna seketika berubah. Antusiasmenya seolah luruh dalam satu kedipan mata. Ia menarik napas, lalu menjawab panggilan itu dengan suara datar.
“Halo?” ucapnya singkat, tanpa nada lembut yang biasanya ia simpan untuk tamu atau rekan bisnis.
Suara Bagas terdengar di seberang, terdengar seperti biasa tenang, penuh kendali, dan agak jauh. Jauh seperti keberadaannya yang selama ini lebih banyak di luar negeri daripada di samping istrinya.
“Aruna, gimana kabarmu? Aku baru dapat sinyal bagus. Tadi sempat kirim email juga,” ujar Bagas.
Aruna mengangguk kecil, meski tahu Bagas takkan melihatnya. “Aku lihat tadi,” jawabnya pendek.
“Kamu sibuk?” tanya Bagas.
Aruna menoleh kembali ke lemari pakaiannya yang masih terbuka. Pikirannya sudah tidak lagi di situ. “Sedikit. Banyak yang harus aku urus,” jawabnya masih dengan nada yang tertahan.
Bagas mengangguk pelan di seberang sana, seolah mencoba membaca suasana hati istrinya dari jarak ribuan kilometer.
Obrolan itu berlanjut dengan tanya jawab ringan, tapi semuanya terasa hambar bagi Aruna. Jiwanya sudah tidak sepenuhnya terhubung ke suara Bagas, seperti ada batas yang tak bisa dijembatani. Dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, ia tidak merasa bersalah karena hatinya sedang memikirkan pria lain.
Melirik kebelakang tentang Aruna...
Dua puluh tahun lalu, Aruna resmi menjadi istri Bagas, lelaki bungsu dari keluarga terpandang di daerah mereka. Sebuah pernikahan yang kala itu disambut hangat oleh banyak orang, karena Aruna dikenal sebagai wanita cerdas, berpendidikan, dan bersahaja. Meski belum dikaruniai anak hingga hari ini, Aruna tetap menjaga rumah tangganya dengan keteguhan hati yang luar biasa.
Bagas adalah anak bungsu dari seorang pengusaha perkebunan yang memiliki lahan seluas 60 hektar. Sejak ayahnya wafat, lahan itu diwariskan kepada tiga anak lelakinya. Namun, kedua kakaknya lebih memilih jalan hidup yang berbeda pergi ke luar negeri untuk menempuh pendidikan tinggi, lalu menetap dan bekerja di sana. Demi membiayai pilihan hidup mereka, kedua kakak Bagas menjual bagian warisan perkebunan masing-masing, tanpa minat sedikit pun untuk mempertahankan atau mengelola apa yang ditinggalkan ayah mereka.
Berbeda dengan Bagas, bukan karena ia mencintai dunia pertanian, tapi lebih karena ia menikah dengan Aruna. Ia membiarkan lahan miliknya tetap utuh karena tahu istrinya memiliki latar belakang sarjana pertanian, dan di tangan Aruna-lah sebenarnya seluruh roda perkebunan itu berputar. Bukan hanya merawat, Aruna mengembangkan, memperluas, bahkan memodernisasi sistem pengelolaannya. Ia membangun jaringan dengan supermarket, hotel, hingga distributor besar. Aruna menjadikan kebun itu bukan hanya tempat bertani, tapi juga jantung ekonomi yang hidup dan terus tumbuh.
Dan selama dua dekade ini, saat Bagas lebih sering pergi dan sibuk dengan urusan luar baik bisnis maupun kegemaran pribadinya, Aruna tetap setia berdiri di ladangnya. Dengan tangan sendiri, ia menjaga warisan yang bahkan bukan miliknya sejak awal, demi cinta yang kini mulai ia pertanyakan kembali.
Sepuluh tahun pertama pernikahannya dengan Bagas, Aruna menjalani kehidupan rumah tangga yang, meskipun tidak sempurna, masih terasa hangat. Mereka saling mencintai, tertawa bersama, dan saling mendukung, meskipun dari awal Aruna tahu bahwa suaminya memiliki jiwa petualang yang tak bisa diam. Bagas adalah pria yang selalu mencari tantangan baru rimba belantara, pegunungan terjal, sungai deras, hingga pelosok terpencil Nusantara semuanya telah dijelajahinya bersama rekan-rekan seprofesinya.
Namun gairah itu tak berhenti di dalam negeri. Setelah menjelajahi hampir seluruh sudut Indonesia, Bagas mulai membidik hutan-hutan di berbagai belahan dunia. Mulailah ia menghilang dari rumah untuk waktu yang lebih lama. Jadwal pulangnya semakin jarang, dan ketika pulang pun, ia hanya berada di rumah paling lama seminggu sebelum kembali berangkat entah ke mana. Aruna lama-lama merasa ditinggalkan secara perlahan, seperti rumah tangganya hanya menjadi persinggahan singkat dari petualangan Bagas yang tak berujung.
Dalam kesunyian yang semakin menghimpit, Aruna mulai merasakan kehampaan yang nyata. Bukan hanya kesepian secara emosional, tetapi juga fisik. Ia menyadari, dirinya memiliki kebutuhan biologis yang tinggi, sesuatu yang tak pernah ia kira akan menjadi masalah. Tapi semakin lama, kerinduan itu berubah menjadi kegelisahan, lalu menjadi luka yang sulit diabaikan.
Aruna tidak pernah berniat menduakan suaminya. Tapi ia pun tak bisa terus menyangkal fakta bahwa pernikahannya kini terasa hambar, dingin, dan nyaris tanpa gairah. Dan yang paling menyakitkan adalah ketika ia harus terus berpura-pura kuat, seolah tak ada yang kurang dari rumah tangganya. Padahal, dalam hati, ia hanya ingin dicintai seutuhnya dengan hadir, tubuh, dan jiwa.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor