Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Santi tertawa lepas sambil menepuk ringan lengan Shanaya. “Ibu cuma bercanda, kok! Eh, siapa namamu, Sayang?”
Masih merasa bersalah karena salah paham tadi, Shanaya buru-buru menjabat tangan Santi sambil tersenyum malu. “Shanaya Sanjaya, Bu.”
“Saya Santi, dan ini anak saya, Sadewa,” balasnya sambil menjabat tangan Shanaya hangat. Tatapannya ramah, terbuka, seolah mereka sudah kenal lama.
Tapi suasana hangat itu langsung dipotong Sadewa. Nadanya datar, dingin, tanpa basa-basi. “Bu, waktunya udah mepet. Gak usah buang waktu dengan orang yang gak penting.”
Shanaya menahan napas, memaksa tersenyum sopan walau dalam hati rasanya ingin melempar sandal. Memang dia yang salah paham, tapi sikap cowok ini benar-benar dinginnya ngalahin AC dua PK.
“Kalau begitu, silakan,” ucap Shanaya pelan, menunduk sedikit dan memilih untuk mengalah.
Tapi Santi malah merangkul lengannya dengan gaya manja. “Shanaya, kamu tahu gak, cuci darah itu bosenin banget. Gak enak rasanya. Kalau kamu gak buru-buru, temenin ibu sebentar, ya?”
Sadewa langsung menarik napas panjang, hampir frustasi. “Bu, jangan mulai...”
“Kamu tuh kalau nemenin ibu ekspresinya kayak batu nisan. Kaku banget. Ibu butuh teman ngobrol yang bisa senyum,” keluh Santi sambil melirik putranya dengan jengkel.
Shanaya tertawa kecil, canggung, lalu mencoba menarik diri. “Maaf, Bu Santi. Saya rasa kurang pantas. Kita baru kenal, dan saya juga sebenarnya—”
“Kalau gak mau, pergi aja. Gak usah pakai alasan,” potong Sadewa cepat dengan tatapan yang bisa membekukan air.
Santi langsung mencubit pinggang anaknya. “Kamu diam! Kalau gak bisa bujuk Shanaya nemenin ibu, jangan harap ibu mau cuci darah lagi! Sekalian aja ibu nyusul almarhum ayahmu!”
Sadewa mengatup rahang. Urat di pelipisnya menegang. Ia tahu, ibunya serius. Dan kalau sudah begini, ia tak bisa menang. Akhirnya ia menoleh ke Shanaya.
“Temani ibu saya. Atau kamu mau saya kirim surat dari pengacara?”
Shanaya melotot. “Apa?! Kamu ngancam saya?”
Sadewa masih setenang es batu. “Bukan ancaman tapi pilihan. Kamu sudah bikin laporan palsu. Itu bisa kena pasal pencemaran nama baik.”
Dada Shanaya naik turun. Campur aduk antara marah, malu, dan bingung. Ia melirik Santi yang malah menahan tawa.
“Ya ampun… kalian absurd banget,” gumamnya pelan. “Oke deh. Tapi cuma sebentar, ya," putusnya pada akhirnya.
Santi langsung bersorak kecil. “Yay! Terima kasih, Shanaya. Kamu penyelamat ibu!”
Tapi “sebentar” itu berubah jadi hampir empat jam. Entah kenapa, ngobrol bareng Santi terasa seru dan hangat. Cerita masa mudanya, candaan ringan, semua ngalir begitu saja. Shanaya sampai merasa seperti lagi bareng ibunya sendiri.
Sementara itu, Sadewa? Udah kabur dua jam lalu begitu asisten pribadinya, Arya, datang bawa tumpukan berkas kerja.
Menjelang pukul sembilan malam, Santi selesai cuci darah. Wajahnya memang pucat, tapi senyumnya tetap mengembang.
“Shanaya, makasih banyak, ya. Baru kali ini cuci darah gak terasa segitu buruknya,” ucapnya tulus.
“Sama-sama, Bu. Saya pamit dulu, ya,” kata Shanaya sambil melirik jam tangan. Hampir pukul sembilan. Biasanya, kalau belum pulang, Reno pasti sudah menelpon atau kirim pesan. Tapi kali ini? Sepi. Ia bisa menebak, Reno mungkin sedang sibuk bermesraan dengan Malika.
“Shanaya, kamu lagi mikirin apa?” tanya Santi, menangkap raut wajahnya yang terlihat kosong.
Shanaya tersenyum tipis. “Nggak kok, Bu. Saya pulang dulu, ya.”
Nada bicaranya terdengar santai, tapi di telinga Sadewa yang tiba-tiba muncul entah dari mana, itu terdengar dibuat-buat. Seolah berharap diantar pulang.
“Kalau kamu pikir aku bakal nganterin kamu, mending buang jauh-jauh harapan itu,” ucap Sadewa datar, dengan tatapan setajam biasanya.
Shanaya hendak membalas, tapi Santi lebih dulu bicara.
“Sadewa, Shanaya udah nemenin ibu sampai malam. Antar dia pulang,” ujarnya tegas.
“Hah? Gak usah, Bu. Saya bisa naik taksi, sungguh gak masalah,” sahut Shanaya buru-buru. Ia tak mau lagi jadi sasaran sindiran Sadewa.
“Enggak. Ibu gak rela kamu pulang sendiri malam-malam begini. Udah, biar Sadewa aja yang antar,” kata Santi sambil menepuk tangannya.
Ajaib, sopir rumah muncul secepat kilat, siap siaga.
"Ibu pulang sama supir, kamu antar Shanaya," ujar Santi.
Sadewa menatap ibunya tak percaya. Tapi begitu melihat wajah Santi yang masih pucat tapi memandang tegas tanpa kompromi, ia tahu... dia kalah.
Dengan helaan napas panjang, ia akhirnya mengangguk. Ia menyuruh Arya menyiapkan mobil, sementara ia dan Shanaya menunggu di lobi.
Beberapa menit kemudian, Arya datang dan membukakan pintu mobil. Shanaya dan Sadewa masuk bergantian.
Di dalam mobil, suasana kembali beku. Shanaya mencuri pandang ke arah Sadewa. Ekspresinya tetap datar. Seolah mengantar pulang ini adalah tugas negara yang menyebalkan.
Ragu-ragu, Shanaya akhirnya berkata pelan, “Terima kasih…”
Tak ada respons. Sadewa langsung sibuk dengan ponselnya, seakan tak mendengar.
Shanaya menghela napas, memeluk dirinya sendiri dan menatap keluar jendela, mencoba cuek walau suasana makin menusuk.
Tapi makin ia tahan, makin terasa aura dingin dari pria di sebelahnya.
“Kamu emang selalu kayak gini ke semua orang, ya?” tanyanya tiba-tiba, tak tahan juga.
Sadewa melirik sekilas. “Kayak gimana?”
“Dingin. Sinis. Nyebelin.”
Arya yang dari tadi menyetir tenang langsung kaget. Baru kali ini ada yang berani ngomong kayak gitu ke bosnya. Refleks, ia sedikit mengendurkan gas. Ia mengintip dari spion, melihat ekspresi Sadewa tetap datar tapi mata tajamnya menusuk. Arya akhirnya menarik napas lega, wanita ini sepertinya aman dan kembali fokus menyetir.
“Kamu terlalu sensitif,” jawab Sadewa, tetap tanpa ekspresi.
Shanaya mendengus. “Lucu. Aku yang hampir digugat malah dibilang sensitif.”
“Kalau kamu gak ikut campur dan ngomong sembarangan di depan umum, semua ini gak akan terjadi,” balas Sadewa dingin.
Shanaya mengepalkan tangan lalu mengembuskan napas panjang. Ia terlalu capek untuk adu argumen. Hari ini sudah cukup menguras tenaga. Ia cuma ingin cepat sampai rumah.
Mobil mulai melambat, masuk ke kompleks perumahan. Begitu sampai depan rumah, Shanaya langsung membuka pintu. Tapi sebelum turun, ia menoleh sebentar.
“Terima kasih udah nganter. Dan... maaf soal yang tadi. Mungkin kamu benar.”
Sadewa menatap lurus ke depan, tak menjawab. Tapi dalam hati, ia bertanya-tanya, wanita ini beneran tulus, atau lagi main tarik-ulur?
“Cukup hari ini. Jangan sampai kita ketemu lagi,” ucapnya dingin.
“Setuju. Jangan sampai ketemu lagi!” Shanaya turun cepat-cepat dan masuk ke rumah tanpa menoleh. Ia tak peduli Sadewa sudah melaju pergi atau belum.
Namun, rencananya untuk langsung rebahan batal total. Baru masuk rumah, ia langsung tertegun. Reno berdiri di ambang pintu, menatapnya tajam.
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔
itu jodohmu, Shanaya🤭