Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 5 - Tempat tinggal/penjara
"Azura, kini kamu memiliki dunia baru. Hiduplah seperti apa yang kamu inginkan tanpa tekanan dari keluargamu lagi. Tapi ingat, sekarang kamu sudah punya suami. Jadi, bukan hanya dirimu yang harus di jaga tapi suamimu juga."
Pak Adrian memberi beberapa pesan pada Azura sambil menggiringnya masuk ke dalam Vila yang berpintukan besar tersebut.
Adapun Azura, entah apa yang di artikannnya dari pesan mertuanya itu. Tapi yang pasti, ia merasa jika hidupnya itu hanya berpindah dari satu penguasa ke penguasa lain.
Apalagi, orang yang akan menjadi partner seumur hidupnya itu merupakan orang dengan gangguan jiwa. Mungkin inilah nasibku, pikirnya.
**
Waktu pun berjalan detik demi detik. Kini, langit mulai cerah dengan matahari yang semakin meninggi ketika Azura akhirnya dipersilakan masuk ke dalam vila.
Suasana megah dengan interior klasik serba krem dan emas seolah menyambutnya... namun bagi Azura, semua itu justru terasa dingin dan asing.
“Ini kamar Anda,” ucap salah satu pembantu wanita sambil membukakan pintu.
Sebelum masuk, Azura memutar pandangannya dan mencari sosok pria yang sudah jadi suaminya. Tapi sejauh mata memandang, ia tidak melihatnya meskipun sekedar bayangannya. "Dia pergi kemana??."
Akhirnya, Azura pun masuk perlahan ke sebuah kamar yang luas, dengan kasur berkanopi putih, jendela besar yang menghadap taman belakang, dan lemari yang terbuat dari kayu jati.
Saat tatapannya lurus ke meja rias, riasan dan berbagai alat makeup sudah berjejer rapi dan lengkap dengan keadaan baru. Namun tak ada satu pun dari barang-barang tersebut yang membuatnya nyaman.
“Aku… sendiri di sini?,” gumam Azura pelan.
Belum sempat ia duduk, suara pintu di belakangnya terbuka kembali. Azura langsung menoleh, dan jantungnya pun kembali berdegup dengan kencang.
Rangga.
Pria itu berdiri di ambang pintu, sambil menatap lurus padanya, lalu melangkah masuk tanpa berkata apa pun.
Refleks, Azura pun bergeser ke sudut kamar karena gugup. "Ka-kalau mau... aku bisa keluar dulu," ucapnya canggung, namun tak digubris.
Tapi Rangga hanya berjalan ke arah jendela, membuka tirai, lalu menatap langit yang cerah.
Dalam beberapa saat, suasana terasa sunyi dan canggung. Hingga akhirnya, pria itu berkata pelan, “Langit... mereka sering bicara padaku di sana.”
Azura tertegun. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Rangga… apa maksudmu?,” tanya Azura dengan suara lirih dan terdengar ragu.
Tapi Rangga hanya tertawa kecil. Lalu ia berjalan ke sisi ranjang dan duduk diam, seperti boneka yang kehabisan energi.
“Mereka bilang kamu akan datang,” bisik Rangga sambil menatap kosong ke lantai. “Wanita bersinar dengan aura luka. Kamu cantik, tapi rapuh. Seperti kaca... yang bisa pecah kalau disentuh.”
GLEK!!!
Azura menelan ludahnya dengan bulu kuduk yang merinding. Pelan-pelan ia melangkah mundur. Ia tidak tahu apakah pria ini berbicara padanya… atau pada suara-suara dalam kepalanya.
"Istirahat saja ya... aku juga lelah...," kata Azura gugup sambil bergegas ke sisi tempat tidur yang lain.
Namun bukannya beristirahat, Rangga malah beranjak dan keluar dari kamar. Sementara Azura hanya bisa menatap punggungnya yang jika di lihat sekilas, Rangga seperti laki-laki yang nampak biasa-biasa saja, tidak gila seperti yang orang-orang katakan.
**
Setelah kepergian Rangga, Azura memejamkan matanya di sudut ranjang, karena tubuhnya terasa seperti terhempas batu besar.
"Aku lelah sekali... Tubuhku terasa remuk. Aku akan istirahat sebentar," gumamnya lirih. Dan tidak butuh waktu lama kelopak matanya pun akhirnya menutup dengan sempurna.
Waktu pun berlalu diam-diam. Langit juga sudah berganti warna. Sinar sore menyusup dari celah-celah tirai. Bahkan angin lembut menyentuh wajah Azura, namun ia tetap tertidur lelap.
Gaun pengantin putih yang masih melekat di tubuhnya terlihat kusut. Riasan di wajahnya pun sedikit luntur, dan rambutnya sudah tidak serapi sebelumnya.
Meski begitu, wajahnya tetap menampakkan rasa lelah yang besar seolah tidur ini adalah satu-satunya pelarian dari luka yang membebaninya.
Klek!!!
Pintu kamar terbuka dengan perlahan. Kemudian, seorang pelayan wanita yang berusia sekitar empat puluhan melongokkan kepalanya.
"Nona Azura…?," panggilnya pelan.
Pelayan itu mendekat, lalu menggoyangkan pundak Azura sedikit.
“Nona… sudah sore. Anda belum makan apa pun sejak datang.”
Merasa terusik, Azura pun bergumam dalam tidurnya, kemudian perlahan membuka matanya.
Cahaya yang temaram menyilaukan sesaat hingga membuatnya meringis kecil. Begitu pandangannya mulai jelas, ia langsung tersentak dan terduduk.
"A-aku..." pekiknya dengan napas yang tersengal. "Di mana aku?."
Azura menoleh ke sekeliling dan merasa kebingungan dalam beberapa detik sebelum akhirnya menyadari semuanya.
Kamar besar itu… ranjang berkanopi… pernikahan yang memaksanya… dan pria asing yang menjadi suaminya…
“Aku di sini…” bisiknya dengan getir. “Di rumah orang asing. Di dalam hidup yang bukan pilihanku.”
Pelayan yang mendengar perkataan Azura itu hanya tersenyum kikuk lalu berkata, “Saya sudah menyiapkan makanan di ruang makan, Nona. Jika Nona ingin bersih-bersih dulu, kamar mandi ada di sebelah sana.”
Azura mengikuti petunjuk yang di arahkan pelayan tersebut dan hanya mengangguk pelan.
Namun sebelum pelayan itu keluar dari kamar, tiba-tiba terdengar sebuah suara. Suara yang nyaring, seperti derit besi… disertai bunyi denting yang keras…
CREEEEK... DUNG! DUNG! DUNG!
Azura sontak menoleh ke arah jendela, lalu ke pintu. Suara itu entah berasal dari mana, namun terdengar menggema dalam lorong rumah yang sunyi.
“Suara apa itu…?,” tanya Azura.
“Itu… mungkin suara lonceng tua di halaman belakang. Kadang berbunyi kalau tertiup angin," jawab pelayan dengan gugup.
DUNG… DUNG… suara itu terdengar lagi. Kali ini disertai dengan suara pintu yang berderit, jauh dari dalam rumah.
Merasa penasaran, Azura pun melangkah mendekati jendela, lalu menyingkap tirai dengan perlahan.
Ia melihat taman kecil di belakang vila, lengkap dengan jalan setapak dari batu dan patung-patung tua yang tertutup lumut.
Di salah satu sudutnya berdiri tiang lonceng berkarat. Lonceng itu berayun pelan, seolah ada yang menyentuhnya.
Namun anehnya… tidak ada angin. Bahkan pohon-pohon di sekitar taman diam dan rumput pun tak bergoyang.
“Itu… bukan karena angin,” bisik Azura.
Saat ia menoleh untuk bertanya lagi, pelayan tadi sudah tidak ada di ruangan. Pintu kamar pun terbuka sedikit, "Dia sudah pergi."
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong