"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Pria Menyebalkan
Hanin meringis sembari merasakan panas dan perih yang menjalar di pipinya. la menatap ibunya dengan tatapan sendu. Kedua matanya perlahan terasa panas, bersamaan dengan keluarnya lelehan air mata kesedihan.
"Ibu, kenapa harus menampar Hanin sekeras itu, Bu?!"
Pak Abdul mendekat. Tak ia pedulikan pakaiannya yang kotor karena bergelut di tanah saat mencabut pohon singkong tadi. Ia memilih
merangkul Hanin yang terlihat syok.
"'Anakmu itu lancang, Pak! Bisa-bisanya dia menuduh Lisna berzina dengan Arya? Apa maksudnya, hah!" Kedua bola mata Bu Daning melotot seperti hendak keluar dari tempatnya.
"Apa kamu lihat kalau Lisna dan Arya berzina di sana? Apakah kamu lihat kalau Lisna dan Arya cuma berduaan di sana? Jawab, Hanin!" Teriakan Bu Daning membuat tangis Hanin semakin pecah.
"Aku lihat Lisna sama Arya masuk ke sana sambil saling merangkul, Bu. Mereka terlihat mesra. Makanya aku..."
"Cuih! Dasar anak gak tahu diri kamu! Kalau iri sama Lisna itu bilang saja! Gak perlu pakek fitnah segala, Hanin! Emang kamu pikir orang ke sana cuma mau indehoy doang. Hah? Bisa jadi mereka cuma mau makan atau ngobrol dan butuh tempat privasi yang privasi. Kamu punya otak, kan? Otakmu masih bisa buat mikir, kan?"
Hanin bergeming dan terus menunduk. "Padahal aku cuma mau bilang, kalau sebaiknya, pernikahan Lisna dan Arya dipercepat saja. Apa kalian tidak takut jika sesuatu yang buruk akan terjadi?" la menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Aku minta maaf jika ucapanku salah dan menyinggung Ibu dan Bapak. Niatku bukan untuk
menuduh Lisna berzina dengan Arya. Aku cuma khawatir saja. Mereka kan belum menikah. Aku
takut kalau mereka sampai kebablasan. Itu saja.
Napas Bu Daning masih menggebu. Tanda bahwa amarahnya belum reda. "Bilang saja
kalau kamu iri, Hanin! Aku akan carikan kamu suami kalau memang itu yang kamu mau!"
Hanin menggeleng keras."Tidak, Bu! Aku gak mau. Aku bisa nyari sendiri calon suamiku!" sahutnya.
"Daripada kamu merecoki Lisna terus?"
Pak Abdul menghela napas panjang. "Bu, sudah. Jangan perpanjang masalah ini. Hanin ini cuma mengkhawatirkan Lisna saja.Ucapan Hanin juga ada benarnya.Memang sudah seharusnya kalau Lisna dan Arya segera menikah.Bapak terkadang sungkan sama tetangga karena mereka selalu berdua ke mana- mana," ucapnya.
Bu Daning mendengkus."Bapak selalu saja mendengarkan ucapan Hanin dan selalu saja membelanya. Ibu percaya sama Lisna! Dia gak akan melakukan halyang membuat kita malu, Pak!"betaknya. Lantas, menghentakkan kaki dan meninggalkan Pak Abdul dan Hanin di halaman belakang.
Hanin menatap Pak Abdul dengan linangan air mata. "Aku gak nuduh Lisna, Pak. Aku cuma...
"Sudah, Nak. Jangan menangis Bapak paham apa yang kamu rasakan," sela Pak Abdul seraya mengusap bahu Hanin dengan lembut. "Maafkan ucapan Ibumu tadi, ya," pintanya yang dibalas anggukan oleh Hanin.
Lisna melangkah masuk kerumah dengan senyum penuh percaya diri, menggandeng tangan Arya. Mereka baru saja pulang dari puskesmas tempat Lisna bekerja.Seragam kerja Lisna yang berwarna putih bersih kini sedikit kusut, tanda ia telah menjalani hari yang sibuk. Namun, itu tidak memudarkan kebanggaannya.
Sebagai bidan, ia merasa statusnya sudah jauh lebih baik dibanding kakaknya, Hanin, yang masih menjadi kacung di toko orang lain.
"Lisna, Arya, dari mana saja kalian?" Suara Bu Daning menyambut mereka dengan nada sedikit curiga.
"Puskesmas lah, Bu," jawab Lisna sambil melepas sepatunya. Arya mengangguk mendukung, dengan ekspresi datar.
"Benar? Kalian tidak dari hotel?" tanya Bu Daning dengan nada menyelidik. Matanya menyipit, memperhatikan wajah Lisna dengan seksama.
Lisna membeku sejenak. Pertanyaan itu seperti tampar.
"Hotel? Maksud Ibu apa? Ngapain juga kita ke hotel? Aneh!" sahutnya, seraya mendengkus.
Bu Daning menatapnya serius, lalu berkata, "Ada orang yang bilang kalian sempat ke hotel. Ibu hanya ingin memastikan, Lis."
Lisna tertawa pelan, meski suaranya terdengar getir. Ia merasa ada orang yang membuntutinya dan mengadu pada ibunya. "Kami memang sempat ke hotel, Bu. Tapi bukan untuk hal yang ada dalam pikiran Ibu. Tadi, ada seorang tamu hotel yang tiba -tiba hendak melahirkan di sana. Pihak hotel meminta bantuan kami, jadi aku dan Arya langsung ke sana untuk membantu. Itu saja."
Mendengar penjelasan itu, wajah Bu Daning langsung berubah cerah. "Oh, begitu, Nak? Bagus kalau begitu. Ternyata itu memang hanya fitnah saja," katanya, kini tersenyum lega.
Namun, seolah sengaja memancing masalah, Bu Daning menambahkan, "Tahu tidak, Hanin
tadi bilang bahwa kamu dan Arya pasti berbuat zina. Kamu tidak tahubagaimana dia berbicara tentang kamu di belakang."
Lisna terdiam, rahangnya mengeras. Wajahnya yang tadinya santai kini memerah karena amarah.
"Jadi dia yang ngadu keIbu? Dia bilang apa, Bu?"
"Dia bilang, kamu memanfaatkan status bidanmu
untuk menutupi perbuatan tidak baik dengan Arya," jelas Bu Daning, menambah- nambahkan.
Tanpa berpikir panjang, Lisna langsung melangkah ke kamar Hanin. Pintu kamar itu ia dobrak dengan kasar.
BRAAAK!
Hanin yang tengah duduk diatas kasur terkejut mendengar pintu kamarnya terbuka lebar dengan kasar. Ia melihat Lisna berdiri di sana dengan wajah merah padam.
"Kamu tega sekali, Hanin!" teriak Lisna dengan nada tinggi.
"Apa kamu begitu iri padaku sampai menuduhku berzina dengan Arya?"
Hanin mengerutkan kening.
"Aku tidak pernah mengatakan itu, Lisna. Aku hanya.... "
"Jangan bohong!" potong Lisna sambil melangkah masuk ke kamar."Ibu sudah cerita semuanya! Kamu bilang aku tidak pantas jadi bidan karena aku tidak lebih baik dari perempuan jalanan!"
Hanin mencoba tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. "Aku tidak pernah bilang seperti itu, Lis. Aku hanya bilang-
"Kamu hanya bilang apa?!" Suara Lisna meninggi.
“Bahwa aku perempuan hina? Bahwa aku tidak layak menikahi Arya? Bahwa aku hanya menggunakan pekerjaanku untuk menutupi aib?" cecarnya tak mau memberi Hanin kesempatan
untuk bicara.
"Lisna, dengar aku dulu! Aku"
"Tidak ada yang perlu kudengar dari kamu, Nin! Kamu selalu merasa lebih baik dari aku,padahal kenyataannya kamu hanya iri karena aku lebih berhasil!" Lisna menuding wajah Hanin dengan kasar. "Kamu mau tahu kenapa kamu masih sendirian, hah? Karena tidak ada laki- laki yang
mau dengan perempuan sombong seperti kamu! Udah kampungan,sombong pula!"
Hanin menunduk. Air matanya menggenang, tapi ia berusaha menahan diri.
"Aku tidak pernah bermaksud buruk, Lis. Aku hanya ingin mengingatkan kamu untuk berhati-hati. Itu saja. Bukankah kalian sering ke hotel?"
"Hati -hati?" Lisna tertawa sinis. "Kamu bukan ingin mengingatkan aku. Kamu ingin menjatuhkan aku, kan? Tapi dengar ini baik- baik, Nin. Tidak peduli apa yang kamu katakan, aku akan tetap bahagia bersama Arya dengancara kami. Dan kamu? Kamu akan tetap di sini, sendiri, mengasihani dirimu sendiri."
Lisna berbalik, meninggalkan kamar Hanin dengan hentakan keras. Setelah Lisna pergi, Hanin tetap diam di tempatnya. Air matanya akhirnya jatuh, membasahi pipinya. la tidak pernah berniat menuduh adiknya seperti itu. Sebenarnya, ia hanya berbicara kepada ibunya tentang kekhawatirannya pada sikap Lisna bersama Arya. Namun, rupanya Bu Daning telah memutar balikkan ceritanya.
Sore itu, Hanin merenung dikamarnya. Ia tahu hubungan antara dirinya dan Lisna sudah renggang dan semakin jauh. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba untukmenjadi kakak yang baik, Lisna selalu melihatnya sebagai musuh.
Di ruangan lain, Lisna duduk disamping Arya di ruang tamu.Wajahnya masih memerah karena emosi. Arya, yang dari tadi diam, akhirnya berbicara.
"Lis, kamu tidak perlu meladeni Hanin seperti itu. Dia hanya khawatir. Itu wajar." Lisna mendengus.
"Khawatir? Itu bukan khawatir. Itu iri. Dia selalu iri padaku, Arya. Bisa-bisanya dia membuntuti kita
sampai ke hotel!" Arya menggeleng pelan.
Aku tidak berpikir seperti itu. Hanin itu baik. Jangan biarkan masalah ini merusak hubungan kalian. Bisajadi, Hanin kebetulan lewat dan tak sengaja melihat kita di hotel," ucapnya.
"Kenapa kamu malah belain dia, sih?!"
"Aku gak berniat belain Hanin, Lisna. Udahlah, kasihan dia kalau kamu sama Ibumu terus saja
memojokkannya," kata Arya.
"Huh, dasar! Nyebelin banget si Hanin itu. "Aku yakin kalau Hanin itu juga pengen punya suami kayak kamu, Arya. Aku yakin, kalau diajuga suka sama kamu." Bukannya semakin reda, amarah dan ucapan Lisna malah kian menjadi- jadi. Bahkan apa yang ia ucapkan malah semakin ke sana ke mari.
Arya bergeming. Ucapan Lisna malah membuatnya semakin penasaran pada sosok Hanin.
"Kenapa kakakmu tidak nikah-nikah? Apa dia tipe perempuan yang suka pilih- pilih pasangan,Lis?"
Lisna mengangkat kedua bahunya. "Aku gak tau. Tapi, kayaknya sih iya. Entah lelaki seperti apa yang dia cari. Lah wong cuma pekerja toko rendahan saja mau nyari calon suami spek sultan. Hiihh... gak pernah ngaca kali!" Ia sengaja mengeraskan suara, agar Hanin yang ada di kamarnya bisa mendengar.
Arya terkekeh. "Gimana kalau aku carikan jodoh di kantor tempat Ayahku kerja? Di sana pasti banyak OB yang jomlo lagi nyari istri," tukasnya.
Satu alis Lisna terangkat. "OB? Maksudmu tukang sapu?"
"Ya, tukang bersih- bersih lah.
Bukan cuma nyapu doang. Gimana? Lagian gaji OB di kantor tempat Ayah kerja itu lumayan," celetuk Arya.
Lisna terdiam beberapa saat sampai akhirnya terbahak- bahak." Cocok banget kalau emang jodoh si Hanin itu OB! Okelah, boleh. Coba kamu nyari info OB yang lagi nyari jodoh. Biar si Hanin gak ngerecokin kita mulu," tukasnya.
"Iya, besok aku nyari info." Arya tersenyum, menatap wajah Lisna yang nampak bahagia.
Beberapa minggu berlalu, Hanin sudah aktif kembali bekerja di toko Ko Yusuf. Ia bekerja dibagian pendataan barang masuk dan keluar. Ia juga selalu mengecek stok barang yang ada di toko. Meski gaji yang ia peroleh tak terlalu besar. Namun, ia tetap menyukai pekerjaannya ini. Karena semua yang ada di sana sudah seperti keluarganya.
"Nin, Lisna kan udah dilamar. Kamu kapan?" Mega, teman Hanin yang juga karyawan Ko Yusuf
bertanya.
"Nanti. Kalau udah ketemu jodohku, Meg."
"Kamu gak risih kalau ditanya-tanya kapan nikah, kapan nikah gitu, Nin? Soalnya biasanya pasti orang- orang bakalan ngebandinginkan kamu sama Lisna?"
Hanin membuang napas kasar. "Iya. Tapi, aku cuek aja. Buang buang waktu sama tenaga kalau aku ladeni. Lagi pula aku yakin, kalau Allah sudah menyiapkan jodoh untukku. Hanya aja belum dipertemukan," kekehnya.
Mega tersenyum. "Sabar, ya Nin. Aku selalu dukung kamu, kok."
"Makasih, Meg. Kalau gitu aku lanjut cek barang di toko dulu," kata Hanin. Ia lantas berjalan keluar dan mulai mengecek barang dari etalase satu ke etalase yang lain.
Saat Hanin mengecek etalase terakhir yang berada depan pintu masuk, ia melihat sosok pria yang tak asing sedang ngopi di seberang toko. Pria itu adalah Raffa, orangyang pernah menolongnya tempo hari. Sebenarnya siapa pria itu? Apa dia preman atau hanya orang pengangguran? pikirnya.
Hanin terbelalak saat pria itu menatapnya. Sejenak ia terasa seperti mati rasa, saat mata setaja melang itu menyorotnya. Sontak saja,ia berbalik dan berusaha fokus pada pekerjaannya.
"Duh, nanti dikira aku lagi lihatin dia. Gimana, sih!" rutuk Hanin dalam hati.
Hanin kembali menoleh dan pria itu ternyata sedang menyeberang jalan dan hendak
menuju ke arahnya. la pun memutuskan untuk masuk. Biarlah pekerjaannya ia lanjutkan nanti.
"Hanin?"
Hanin berhenti. "Eh, iya, Ko? Ada apa?" tanyanya saat Ko Yusuf memanggilnya.
"Di depan ada lelaki nyari kamu. Coba temuin deh. Sepertinya penting."
"Le-lelaki?" Hanin menggigit bibirnya saat Ko Yusuf mengangguk. Dihelanya napas panjang, lalu berjalan keluar.
"Mas nyari saya?" tanya Hanin setelah menemui pria itu. Jujur sajaia gugup saat ini.
"Hem."
Hanin mencebik, namun ia tutupi dengan menunduk. Pria itu selalu saja menjawab dengan kata 'hem' saja setiap kali ditanya.
"Ini..."
Hanin mendongak, menatap uluran tangan pria itu. "Hansaplas?Tapi ... lukaku udah sembuh. Mau buat apa?"
"Kamu akan membutuhkannya nanti. Ambillah dan bawalah selalu!"
Hanin menerima hansaplas itu dengan perasaan aneh. Mau menolak, tapi takut dengan raut wajah pria itu. Mau menerima tapi tak butuh. "Makasih," ucapnya.
"Hem."
"Mas, tunggu!" Hanin menghentikan langkah lelaki itu.
"Nama Mas siapa?"
"Raffa. Bukankah kamu sudah tahu saat di pasar waktu itu?"
Hanin melotot. Ingin sekali menggampar lelaki itu.
"Duh! Tinggal nyebutin nama saja kenapa,sih?"gerutunya.
"Aku yang tidak tahu namamu." Raffa berbalil, menatap Hanin.
"Aku Hanin, Mas."
"Tapi, sayangnya aku tidak bertanya." Usai berkata begitu ,Raffa berlalu meninggalkan Hanin yang kesal setengah mati karena merasa dipermalukan.