NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:337
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mode Aman dan Penghapus Basah

SROKK!

Suara itu terdengar kering dan mengerikan.

Dokter Tanpa Wajah itu menggosokkan penghapusnya ke udara sekali lagi. Kali ini, lantai keramik di bawah kaki Bobi menghilang. Tidak ada suara ledakan, tidak ada puing. Lantai itu lenyap begitu saja, menyisakan lubang putih persegi yang menganga menuju ketiadaan.

"Woy! Santai dong!" Bobi melompat mundur, nyaris terperosok. Kakinya gemetar hebat. "Ini rumah sakit apa MS Paint?! Kok main hapus-hapus aja!"

"Jangan diem aja, Bob! Lari ke arah Sarah!" teriak Rian sambil membuka buku catatannya dengan panik.

Dokter Tanpa Wajah itu bergerak maju. Langkahnya tidak menyentuh lantai, dia melayang beberapa senti di atas permukaan. Tangannya terangkat lagi, membidik Rian.

Rian tahu dia tidak bisa lari dari sesuatu yang bisa menghapus jarak. Dia harus melawan narasinya.

Dengan tangan gemetar dan darah emas yang berdenyut di nadinya, Rian menulis cepat di bukunya:

"Sebuah pintu besi tebal turun dari langit-langit, menghalangi jalan Dokter."

BRAAAK!

Tepat sebelum Dokter itu menggosokkan penghapusnya, sebuah pintu besi darurat jatuh dari plafon koridor, memisahkan Rian dan Bobi dari monster itu.

SR

OKK... SROKK...

Dari balik pintu besi itu, terdengar suara gesekan. Logam tebal itu mulai memudar, berubah transparan, lalu hilang sedikit demi sedikit dimakan oleh kekuatan penghapus.

"Itu cuma nahan dia lima detik!" Rian menarik kerah jaket ojol Bobi. "Dobrak pintu Sarah!"

Mereka sampai di depan Ruang Isolasi 3. Pintu kaca tebal itu terkunci magnetik. Di dalamnya, Sarah yang masih terikat straitjacket sedang membenturkan kepalanya ke dinding busa, matanya bersinar biru glitch.

"Deleting personality... 65%..." gumam Sarah robotik.

"Minggir," kata Rian. Dia menempelkan telapak tangan emasnya ke panel kunci elektronik.

"Sistem keamanan rusak dan pintu terbuka," perintah Rian lisan.

Cahaya emas merambat dari tangannya ke sirkuit pintu.

KLIK. ZZZZRRRTT.

Pintu terbuka.

Bobi langsung lari masuk. "Sar! Sarah! Ini gue, Bobi! Tukang ojol favorit lo!"

Bobi mencoba melepaskan ikatan straitjacket Sarah. Tapi Sarah malah menoleh tajam, membuka mulutnya, dan mengeluarkan suara pekikan modem dial-up yang memekakkan telinga.

NGEEEENG! KRRRRT!

"Aduh! Kuping gue!" Bobi menutup telinganya.

Sarah meronta, kakinya menendang perut Bobi sampai cowok itu terpental menabrak dinding busa. Tenaga Sarah tidak manusiawi.

"Ancaman terdeteksi. Mulai protokol pertahanan," kata Sarah dingin.

"Dia nggak kenal kita, Yan! Dia nganggep kita virus!" teriak Bobi sambil memegangi perutnya.

Rian masuk ke ruangan. Dia melihat Sarah. Kondisinya kacau. Jiwa manusianya tertimbun di bawah tumpukan corrupted data yang ditanam Adrian.

Rian tidak bisa "menulis" Sarah menjadi sembuh total karena Sarah adalah karakter yang kompleks, bukan objek mati. Tapi Rian bisa mengubah setting-nya.

Rian menulis di bukunya:

"Sistem operasi Sarah mengalami reboot dan masuk ke dalam Safe Mode."

Tinta emas menyala di kertas.

Tubuh Sarah yang sedang mengamuk tiba-tiba kaku. Matanya yang biru terang berkedip cepat, lalu meredup menjadi warna abu-abu kusam. Dia jatuh lemas ke lantai, pingsan sejenak.

"Dapet!" seru Rian. "Buka ikatannya sekarang, Bob!"

Bobi dengan sigap membuka gesper-gesper pengikat itu. Begitu tangan Sarah bebas, dia menarik napas panjang dan membuka matanya lagi.

Warnanya bukan biru Screen of Death. Warnanya cokelat biasa, tapi sangat lelah.

"Rian... Bobi..." Sarah memijat pelipisnya. "Kenapa... kenapa gue ngerasa abis nelen satu tera-byte data sampah?"

"Lo abis kesurupan Windows Vista, Sar. Udah ayo bangun, kita dikejar tukang hapus papan tulis!" Bobi membantu Sarah berdiri.

DUAR!

Pintu besi di koridor hancur total, bukan meledak, tapi lenyap menjadi serbuk kapur.

Dokter Tanpa Wajah sudah menembus barikade. Dia berdiri di ambang pintu koridor, penghapusnya berasap.

"Bug ditemukan," suara dokter itu berdengung. "Kalian bertiga harus di-patch."

Dia mengangkat tangan kirinya. Bukan penghapus, tapi kali ini dia memegang sebuah spidol merah raksasa.

Dia mencoret udara di arah mereka. Sebuah garis merah tebal melayang di udara, melesat seperti laser pemotong.

"Tunduk!" teriak Sarah.

Mereka bertiga tiarap. Garis merah itu menebas dinding di atas kepala mereka. Dinding itu terpotong rapi, bagian atasnya meluncur jatuh.

"Lari ke tangga darurat!" perintah Rian.

Mereka merangkak keluar dari ruang isolasi, lalu lari pontang-panting menyusuri koridor lantai 5.

Di belakang mereka, Dokter itu melayang mengejar. Dia mencoret-coret udara dengan spidol merah dan menghapus lantai dengan tangan kanan. Koridor rumah sakit itu hancur berantakan. Lantai bolong, atap hilang, dinding terpotong-potong.

"Kita nggak bakal nyampe tangga!" teriak Bobi. Jarak ke pintu tangga darurat masih 20 meter, tapi Dokter itu makin cepat.

Rian otaknya berputar. Dia butuh sesuatu yang bisa menghentikan alat tulis. Apa kelemahan kertas dan tinta?

Air.

Rian berhenti lari. Dia berbalik badan.

"Yan! Ngapain?!" jerit Sarah.

Rian membuka buku catatannya. Dia menatap sprinkler (penyemprot air pemadam kebakaran) yang ada di langit-langit koridor.

Rian menulis dengan sisa tenaga emasnya:

"Sistem pemadam kebakaran aktif. Tapi yang keluar bukan air, melainkan Cairan Penghapus Tinta (Thinner)."

Rian menutup bukunya dan menjentikkan jari.

CRASH!

Kaca sensor panas di sprinkler pecah.

Cairan bening berbau tajam menyemprot deras dari langit-langit, membasahi seluruh koridor, termasuk si Dokter Tanpa Wajah.

Saat cairan thinner itu mengenai tubuh Dokter (yang pada dasarnya adalah sketsa makhluk fiksi), tubuhnya bereaksi mengerikan.

"AAAARRRGH!"

Dokter itu menjerit. Tubuh putihnya mulai meleleh seperti cat basah yang disiram bensin. Wajahnya yang kosong luntur, menetes ke lantai menjadi genangan putih lengket. Spidol dan penghapusnya menjadi lunak dan hancur di tangannya.

"Berhasil!" sorak Bobi. "Dia luntur, Coy!"

"Cabut sekarang!" Rian menarik teman-temannya masuk ke pintu tangga darurat sebelum efek tulisannya habis.

Mereka menuruni tangga darurat dari lantai 5 dengan kecepatan setan. Sarah sempat muntah sekali di lantai 3 karena pusing, efek samping dari "reboot" otaknya, tapi Bobi memapahnya terus.

Mereka sampai di lobi lantai dasar.

Harusnya lobi itu ramai dengan pasien dan pengunjung.

Tapi lobi itu kosong melompong. Dan sunyi. Terlalu sunyi.

"Orang-orang... ke mana?" bisik Sarah, menyeka mulutnya.

Rian berjalan ke pintu kaca lobi. Dia melihat keluar. Ke parkiran. Ke jalan raya.

Dunia di luar sana... berhenti.

Mobil-mobil di jalan raya diam tak bergerak, seolah waktu dibekukan. Burung di langit tergantung diam di udara. Orang-orang di trotoar mematung dalam berbagai pose, ada yang sedang melangkah, ada yang sedang makan bakso.

Tapi yang paling mengerikan adalah teksturnya.

Mereka semua terlihat gepeng. Seperti potongan karton yang dipajang di maket arsitektur.

"Dunia ini..." Rian menyentuh kaca pintu lobi. "Dunia ini belum selesai di-render."

"Maksud lo?" tanya Bobi merinding.

"Adrian nggak cuma nyusup ke dunia nyata," kata Rian, berbalik menatap teman-temannya dengan wajah pucat. "Dia menimpa dunia nyata dengan draf ceritanya. Dia lagi nulis ulang Kota ini jadi setting novelnya."

Tiba-tiba, HP Bobi di saku celananya berbunyi.

Bobi kaget, hampir melempar HP-nya. Dia melihat layarnya. Panggilan masuk dari nomor tidak dikenal.

Bobi mengangkatnya dan menyalakan loudspeaker.

"Halo?"

Suara di seberang sana terdengar panik, napasnya memburu.

"Mas... Mas pasien tadi... Mas Rian..."

Itu suara Lara. Si gadis kurir bunga.

Rian langsung menyambar HP Bobi. "Lara? Kamu di mana?!"

"Mas, tolong... saya di toko bunga... bunganya... bunganya gigit saya..." suara Lara terdengar menahan tangis dan sakit. "Dan langitnya, Mas... langitnya ada kursornya..."

KLIK. Sambungan putus.

"Lara!" teriak Rian.

"Toko bunga di depan RS!" Rian langsung menendang pintu lobi hingga terbuka.

Mereka bertiga berlari keluar menuju area ruko di seberang rumah sakit. Dunia kardus di sekitar mereka terasa rapuh. Angin tidak berhembus. Matahari di atas sana terlihat seperti stiker kuning yang ditempel asal-asalan.

Mereka sampai di toko bunga "Florist Harapan".

Kaca depannya pecah berkeping-keping.

Di dalam, suasananya seperti hutan rimba mini yang ganas. Bunga-bunga mawar telah bermutasi menjadi tanaman karnivora raksasa dengan gigi-gigi kertas tajam. Akar-akarnya melilit meja kasir.

Dan di tengah belitan akar itu, Lara terperangkap.

Dia memegang sebuah gunting tanaman, mencoba memotong akar yang melilit kakinya. Tapi setiap kali dia memotong satu, dua akar baru tumbuh.

"Lara!" Rian menerjang masuk.

Tanaman mawar raksasa itu menoleh ke arah Rian. Kelopaknya terbuka, memperlihatkan mulut gelap yang siap menelan.

Rian tidak punya waktu untuk menulis. Dia mengepalkan tangan emasnya dan meninju batang bunga itu.

BRAK!

Batang itu patah, mengeluarkan getah tinta merah. Tanaman itu menjerit dan layu.

Rian menarik Lara keluar dari belitan akar. "Kamu nggak apa-apa?"

Lara gemetar hebat, kacamatanya retak. Dia menatap Rian, lalu menatap Sarah dan Bobi di belakangnya.

"Mas..." Lara menunjuk ke langit di luar toko. "Liat ke atas."

Rian, Sarah, Bobi, dan Lara keluar dari toko bunga. Mereka mendongak ke langit Kota.

Langit biru itu sudah tidak ada.

Digantikan oleh lembaran kertas putih raksasa yang membentang dari ufuk ke ufuk.

Dan di tengah langit kertas itu, ada sebuah garis hitam vertikal raksasa yang berkedip-kedip secara teratur.

KEDIP... KEDIP...

Itu adalah Kursor Teks Raksasa.

Dan di sebelah kursor itu, muncul huruf-huruf raksasa yang diketik oleh tangan tak terlihat dari langit, menutupi matahari.

Huruf-huruf itu membentuk kalimat:

BAB 33: KOTA YANG DILIPAT.

Suara gemuruh terdengar dari ujung jalan. Gedung-gedung tinggi di kejauhan mulai melengkung. Aspal jalan raya terangkat.

Seluruh Kota sedang dilipat seperti kertas origami. Gedung-gedung saling bertabrakan, jalanan menekuk ke atas menjadi dinding.

"Kita ada di dalem kertas yang lagi diremas..." bisik Sarah horor.

Dan dari balik kursor raksasa di langit itu, wajah Adrian yang sebesar awan muncul, menatap ke bawah sambil tersenyum.

"Sudah kuduga," suara Adrian menggema dari langit. "Kalian butuh setting yang lebih sempit supaya mudah ditangkap."

Sebuah tangan raksasa turun dari langit, tangan Adrian, memegang sebuah jarum pentul sebesar menara.

Kemudian, dia hendak....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!