NovelToon NovelToon
Harga Diri Seorang Istri

Harga Diri Seorang Istri

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Selingkuh / Romansa
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.

Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.

Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.

Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.

Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Undangan reuni

Restoran Italia ramai dengan pengunjung siang, profesional muda yang lunch meeting, pasangan yang date, dan dua sahabat yang sedang duduk di meja sudut dengan jendela menghadap jalan.

Indira menyuap fettuccine carbonara-nya dengan elegan, sesekali menyeruput wine putih yang dingin. Rani duduk di hadapannya dengan pizza margherita, senyum lebar tak lepas dari wajahnya.

"Jadi," Rani berbicara sambil mengunyah, "gimana drama rumah tangga tadi pagi? Ayunda masih mengeluh?"

Indira tersenyum tipis. "Lebih dari mengeluh. Dia minta pembantu, minta uang belanja, komplain tentang segala hal. Seperti anak kecil yang manja."

"Dan Rangga?"

"Rangga mencoba jadi suami baik dengan menjanjikan uang bulanan," jawab Indira sambil menggelengkan kepala. "Padahal dia sendiri tidak tahu apakah perusahaannya masih bisa bertahan tiga bulan ke depan."

Rani tertawa. "Kamu kejam, Dira. Tapi aku suka."

Mereka melanjutkan makan dalam suasana yang santai, berbeda sekali dengan ketegangan di rumah Indira tadi pagi. Di sini, di restoran ini, Indira bisa bernapas lega. Tidak ada drama. Tidak ada Rangga. Tidak ada Ayunda. Hanya ia dan sahabatnya.

"Oh ya!" Rani tiba-tiba teringat sesuatu. Ia merogoh tas besar yang tergeletak di kursi sampingnya, mengeluarkan amplop berwarna gold dengan pita merah. "Ini. Untukmu."

Indira menatap amplop itu dengan bingung. "Apa ini?"

"Undangan," jawab Rani sambil menyerahkannya. "Undangan reuni SMA kita. Angkatan 2007. Malam ini."

"MALAM INI?" Indira hampir tersedak carbonara-nya. "Ran, ini sudah jam dua siang!"

"Aku tahu, aku tahu," Rani meringis dengan wajah bersalah. "Maafkan aku. Aku seharusnya kasih ini ke kamu sejak seminggu lalu. Tapi kita berdua sibuk. Aku baru ingat tadi pagi pas liat kalender."

Indira membuka amplop itu, kartu undangan mewah dengan emboss gold.

Indira menatap undangan itu dengan perasaan campur aduk. Reuni SMA. Sudah berapa lama ia tidak bertemu teman-teman seangkatannya? Hampir sepuluh tahun? Lebih?

"Kamu harus datang," ucap Rani dengan nada yang tidak bisa dibantah. "Ini reuni besar. Hampir semua orang konfirmasi akan datang."

"Ran, aku tidak..."

"Dan," potong Rani dengan senyum nakal, "Adrian juga akan datang."

Indira membeku. Tangannya yang memegang garpu berhenti di udara. Nama itu, nama yang sudah lama tidak ia dengar tiba-tiba membuat jantungnya berdegup tidak beraturan.

Adrian.

Adrian Mahendra. Cinta pertamanya. Pacar SMA-nya yang sempurna, cerdas, tampan, perhatian, dan yang paling penting, setia. Mereka pacaran dari kelas dua SMA sampai lulus, dengan rencana akan terus bersama sampai kuliah.

Tapi kemudian Indira mendapat beasiswa penuh untuk kuliah bisnis di London. Kesempatan yang tidak bisa ia tolak. Sementara Adrian akan kuliah di UI, mengambil teknik seperti yang diinginkan orangtuanya.

Long distance relationship. Mereka coba. Benar-benar coba. Tapi jarak, perbedaan waktu, dan kesibukan akhirnya membuat Indira yang memutuskan... putus lewat telepon, air mata, dan janji bahwa ini yang terbaik untuk mereka berdua.

Adrian tidak terima. Ia bilang akan menunggu. Akan tetap setia sampai Indira pulang. Tapi Indira tidak mau mengikat dia. Ia memaksa Adrian untuk move on, untuk cari orang lain, untuk bahagia.

Dan itu adalah keputusan yang Indira sesali sampai sekarang.

"Dira?" Rani melambaikan tangan di depan wajah Indira. "Kamu masih di sini?"

Indira berkedip, kembali ke realitas. "Uh, iya. Maaf."

"Kamu memikirkan dia, kan?" Rani menyeringai. "Adrian. Cinta pertamamu yang setia menunggu sampai sekarang."

"Jangan bicara omong kosong," Indira mencoba terdengar tidak peduli sambil kembali makan. "Itu sudah hampir sepuluh tahun lalu. Dia pasti sudah menikah atau punya pacar."

"Salah," Rani menggeleng dengan dramatis. "Aku stalking Instagram-nya minggu lalu. Masih single. Tidak ada foto dengan wanita manapun kecuali foto keluarga dan teman. Dan yang paling penting... masih tampan. Bahkan lebih tampan dari dulu. Udah sukses juga. Dia sekarang arsitek terkenal, punya firma sendiri."

Indira mencoba mengabaikan informasi itu. Mencoba tidak peduli. Tapi jantungnya tidak bisa dibohongi. Jantungnya berdegup kencang, seperti remaja yang baru jatuh cinta.

"Aku tidak tertarik," akhirnya Indira berkata dengan nada yang dibuat-buat datar.

"Bohong," tuduh Rani sambil menunjuk dengan garpu. "Kamu tertarik. Aku lihat dari cara pipimu merona tadi."

"Aku tidak merona..."

"Kamu merona. Dira, ini kesempatan bagus!" Rani bersandar di kursi, menatap sahabatnya dengan serius. "Kamu dan Rangga sudah selesai. Kamu tinggal menunggu waktu yang tepat untuk cerai. Kenapa tidak mulai buka hati untuk kemungkinan yang lain?"

"Karena aku belum siap," jawab Indira jujur. "Dan aku tidak mau menggunakan Adrian sebagai pelarian."

"Aku tidak bilang untuk langsung pacaran dengannya," Rani mengklarifikasi. "Tapi setidaknya datang ke reuni. Bertemu teman-teman lama. Ketawa-ketawa. Lupakan drama rumah tangga sebentar. Dan kalau kebetulan bertemu Adrian dan ada chemistry... well, that's a bonus."

Indira diam, memikirkan tawaran itu. Reuni. Sudah berapa lama ia tidak keluar untuk bersenang-senang? Sudah berapa lama ia tidak tertawa lepas tanpa beban?

Tapi datang ke reuni berarti kemungkinan besar bertemu Adrian. Dan Indira tidak tahu apakah ia siap untuk itu. Siap untuk melihat pria yang dulu ia cintai, pria yang ia tinggalkan, pria yang mungkin masih menyimpan rasa sakit karena keputusannya.

"Aku tidak tahu, Ran," gumam Indira. "Aku tidak yakin ini ide yang baik."

"Kenapa tidak?" tanya Rani. "Kamu takut bertemu Adrian?"

"Bukan takut," Indira mencari kata yang tepat. "Lebih ke... tidak siap. Aku yang ninggalin dia dulu. Dengan cara yang tidak bagus. Dan sekarang kalau aku muncul tiba-tiba..."

"Dira," Rani meraih tangan sahabatnya di atas meja, "itu hampir sepuluh tahun lalu. Kalian berdua sudah dewasa sekarang. Adrian bukan tipe pria yang menyimpan dendam. Kalau dia masih datang ke reuni, berarti dia sudah move on dan siap bertemu teman-teman lama termasuk kamu."

"Atau dia tidak tahu aku akan datang," sahut Indira.

"Atau dia tahu dan tetap datang karena dia pengen lihat kamu," balas Rani dengan senyum jahil. "Come on, Dira. Don't overthink. Ini cuma reuni. Bukan lamaran."

Indira tertawa, tawa yang lepas untuk pertama kalinya hari ini. "Kamu ini..."

"Aku sahabat terbaikmu yang cuma mau kamu bahagia," Rani menyeringai. "Jadi? Kamu datang atau tidak? Karena kalau tidak, aku akan paksa kamu datang dengan cara ku sendiri."

Indira menatap sahabatnya, sahabat yang selalu ada untuknya, yang selalu mendukungnya, yang selalu tahu apa yang ia butuhkan bahkan sebelum ia tahu sendiri.

"Aku..." Indira menghela napas panjang. "Aku tidak berminat, Ran. Serius. Aku lelah. Aku lebih milih pulang dan istirahat."

"TIDAK BOLEH!" Rani memukul meja,tidak keras, tapi cukup untuk menarik perhatian beberapa pengunjung. "Indira Zamora, kamu harus datang. Ini bukan pilihan. Ini kewajiban. Sebagai sahabatku. Sebagai teman seangkatan. Dan sebagai wanita yang butuh keluar dari rumah menyebalkan itu!"

"Tapi Ran..."

"Tidak ada tapi-tapian," Rani sudah berdiri, merogoh tas besarnya lagi. Kali ini ia mengeluarkan paper bag branded mewah. "Ini."

Indira menatap paper bag itu dengan curiga. "Apa itu?"

"Gaun untukmu," jawab Rani sambil mendorong paper bag itu ke arah Indira. "Gaun emerald green yang cantik. Aku pilih sendiri minggu lalu. Ukuran kamu. Pas. Aku jamin kamu akan terlihat stunning."

"Ran, aku tidak bisa..."

"Dan ini," Rani mengeluarkan paper bag lainyang lebih kecil. "Heels nude yang matching. Size 37. Tinggi 10 cm. Elegant tapi nyaman."

"Ran..."

"Dan ini," paper bag ketiga. "Clutch hitam dengan rantai gold. Classic. Timeless."

"RAN!" Indira menatap sahabatnya dengan mata terbelalak. "Kamu sudah mempersiapkan semua ini? Sejak kapan?"

"Sejak seminggu lalu," jawab Rani santai sambil mengeluarkan kotak kecil terakhir. "Dan ini. Anting-anting diamond studs. Simpel tapi elegan. Sempurna untuk cocktail attire."

Indira menatap semua barang di atas meja, gaun, heels, clutch, anting-anting dengan mulut terbuka. "Kamu... gila. Kamu sudah rencanakan ini dari awal."

"Tentu saja," Rani menyeringai. "Aku sahabat terbaikmu. Aku tahu kamu akan cari alasan untuk tidak datang. Jadi aku pastikan kamu tidak punya alasan lagi. Gaun? Sudah. Sepatu? Sudah. Tas? Sudah. Aksesoris? Sudah. Bahkan aku sudah atur mobil yang akan jemput kamu jam tujuh malam nanti."

"Mobil?" Indira tidak percaya. "Ran, kamu terlalu berlebihan..."

"Tidak ada yang berlebihan kalau itu untuk sahabat terbaik ku," Rani duduk kembali dengan puas. "Mobil Mercedes hitam. Sopir profesional. Akan jemput kamu tepat jam tujuh di apartemenmu, karena aku yakin kamu tidak mau jemput di rumah Rangga, kan?"

Indira terdiam. Sahabatnya benar, ia memang lebih suka dijemput di apartemen daripada di rumah. Tapi bagaimana Rani tahu ia akan setuju?

"Kamu terlalu percaya diri aku akan datang," gumam Indira.

"Karena aku kenal kamu," Rani tersenyum hangat. "Aku tahu kamu akan bilang tidak. Aku tahu kamu akan cari alasan. Tapi aku juga tahu kalau aku bujuk dengan cara yang benar, kamu akan iya. Karena kamu sahabat terbaik yang tidak pernah bisa menolak permintaan ku."

Indira menatap Rani dengan tatapan antara kesal dan terharu. "Kamu manipulatif."

"Aku peduli," koreksi Rani. "Dan aku serius, Dira. Kamu butuh keluar. Kamu butuh ketawa. Kamu butuh ingatkan diri kamu sendiri bahwa kamu bukan cuma wanita yang dikhianati suaminya. Kamu juga Indira Zamora, wanita yang cerdas, cantik, sukses, dan dicintai banyak orang."

Kata-kata itu menohok Indira tepat di hati. Karena Rani benar. Akhir-akhir ini ia terlalu fokus pada balas dendam, pada menjatuhkan Rangga, pada membuktikan dirinya sebagai wanita yang kuat. Sampai ia lupa bahwa ia juga butuh bersenang-senang. Butuh tertawa. Butuh menjadi dirinya sendiri tanpa beban.

"Baiklah," akhirnya Indira menyerah dengan helaan napas panjang. "Baiklah, aku akan datang. Tapi hanya untuk kamu. Bukan untuk Adrian atau siapapun. Hanya untuk kamu."

Wajah Rani langsung cerah benderang. "YES! Aku tahu kamu akan setuju! Aku sangat kenal kamu!"

"Tapi aku tidak janji akan stay lama," Indira menambahkan. "Kalau aku merasa tidak nyaman, aku akan pulang."

"Deal," Rani mengangguk cepat. "Yang penting kamu datang. Sisanya terserah kamu."

Indira menatap paper bag-paper bag di atas meja, lalu menatap sahabatnya yang tersenyum lebar dengan puas. "Kamu benar-benar sudah rencanakan semua ini, ya?"

"Dari A sampai Z," jawab Rani bangga. "Termasuk sudah konfirmasi ke panitia bahwa kamu akan datang."

"APA?" Indira hampir berteriak. "Ran! Aku belum setuju waktu itu!"

"Tapi aku tahu kamu akan setuju," Rani menyeringai. "Makanya aku sudah konfirmasi dari kemarin. Name tag kamu sudah siap. Meja kamu sudah diatur, kamu akan duduk di meja yang sama dengan aku, tentunya. Dan beberapa teman dekat kita dulu."

"Adrian?" tanya Indira, pertanyaan yang keluar begitu saja sebelum ia bisa menahannya.

Rani tersenyum, senyum yang tahu segalanya. "Adrian duduk di meja sebelah. Dekat. Tapi tidak terlalu dekat. Cukup untuk accidentally bertemu di buffet atau di bar."

Indira menggelengkan kepala, antara geli dan frustrasi. "Kamu benar-benar mengatur segalanya."

"That's what best friends do," Rani mengangkat gelas wine-nya. "So? Toast untuk malam yang akan jadi menarik?"

Indira menatap gelas wine di tangannya, lalu menatap sahabatnya yang menunggu dengan gelas terangkat. Dengan helaan napasdan senyum yang akhirnya muncul, Indira mengangkat gelasnya.

1
rian Away
awokawok Rangga
Ariany Sudjana
itu hukum tabur tuai Rangga, terima saja konsekuensinya. Indira kamu sia-siakan demi batu kerikil
yuni ati
Menarik/Good/
Ma Em
Alhamdulillah Indira sdh bisa keluar dari rumahnya, Rani emang sahabat terbaik , pasti Rangga kaget pas buka kamar Indira sdh pergi .
Wulan Sari
ceritanya semakin kesini semakin menarik lho bacanya, seorang istri yg di selingkuhi suami,bacanya bikin greget banget semoga yg di aelingkuhi lepas dan cerita akhirnya happy end semangat 💪 Thor salam sukses selalu ya ❤️👍🙂🙏
Wulan Sari
suka deh salut mb Indira semangat 💪
Ma Em
Makanya Rangga jgn sok mau poligami yg akhirnya akan membawamu pada penyesalan , kamu berbuat sesuka hati membawa istri keduamu tinggal bersama Indira istri pertamamu dan mengusirnya dari kamarnya dan malah tinggal dikamar tamu kan kamu gila Rangga , emang Indira wanita hebat dimadu sama suami tdk menangis tdk mengeluh berani melawan berani bertindak 👍👍💪💪
Nany Susilowati
ini novel tahun berapakah kok masih pake SMS
Ariany Sudjana
Rangga bodoh, apa dengan mengunci Indira di kamar tamu, maka Indira akan berubah pikiran? justru akan membuat Indira semakin membenci Rangga
Ma Em
Semoga Indira berjodoh dgn Adrian setelah cerai dgn Rangga .
Ariany Sudjana
Indira harus bercerai dari Rangga, ngapain juga punya suami mokondo, dan juga kan Rangga sudah punya Ayunda. lebih baik Indira kejar kebahagiaan kamu sendiri, apalagi kamu perempuan yang mandiri. masih ada Adrian, yang lebih pantas jadi suami kamu, dan yang pasti lebih berkelas dan bertanggung jawab
Dew666
🥰🥰🥰
Mundri Astuti
mending kamu pisah dulu Dira sama si kutil, biar ga jadi masalah ntar klo sidang cerai
Wulan Sari: iya cerai saja buat apa RT yang sudah ada perselingkuhan sudah tidak kondusif di teruskan juga ga baik mana ada seorang wanita di selingkuhi mau bersama heee lanjut Thor semangat 💪
total 1 replies
Ariany Sudjana
Rani benar Indira, jangan terus terpuruk dengan masalah rumah tangga kamu. kamu perlu keluar dari rumah toxic itu, perlu waktu untuk menyenangkan diri kamu sendiri. kamu tunjukkan kamu perempuan yang tegar, kuat dan mandiri
Ma Em
Rangga lelaki yg banyak tingkah punya usaha baru melek saja sdh poligami , Indira saja sang istri pertama tdk pernah dikasih nafkah eh malah mendatangkan madu yg banyak maunya yg ingin menguasai segalanya , Ayunda kira nikah dgn Rangga bakal terjamin hidupnya ga taunya malah zonk
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas sama itu pelakor. urusan rumah tangga dan cari pembantu bukan urusan kamu lagi, tapi urusan Ayunda, yang katanya ingin diakui jadi nyonya rumah 🤭🤣
Ma Em
Indira hebat kamu sdh benar kamu hrs berani melawan ketidak Adilan dan mundur itu lbh baik serta cari kebahagiaanmu sendiri Indira daripada hidupmu tersiksa 💪💪💪
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas dan tetap berdiri tegak, di tengah keluarga yang mengagungkan nama baik, tapi tingkah laku keluarga itu yang menghancurkan nama baik itu sendiri. sudah Indira, tinggalkan saja Rangga, masih banyak pria mapan yang lebih bertanggung jawab di luar sana dan tidak sekedar menghakimi kamu
Ariany Sudjana
itulah hukum tabur tuai, Rangga sudah memilih Ayunda jadi istrinya, ya terima semua kelebihan dan kekurangannya, jangan mengeluh dan jangan berharap Indira akan berubah pendirian
Dew666
😍😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!