Arkan Bagaskara seorang duda yang dijodohkan dengan seorang mahasiswanya yang hobi membuat masalah dikelasnya. Arkan merasa diumurnya yang cukup matang menjalin hubungan dengan Febriana Indriana adalah hal yang sulit, dia ingin hubungan yang serius bukan seperti anak remaja yang baru jatuh cinta. Apalagi sifat kekanak-kanakan dan memberontak yang Febri miliki membuat kepalanya sakit. Tapi mau bagaimana lagi keluarganya memiliki hutang budi dengan keluarga Febri dan mau tak mau Arkan harus menikahi Febri. Namun apakah semua berjalan Lancar disaat Febri jatuh Cinta dengan pria yang lebih muda darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gulla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Febri masuk ke dalam rumah, setelah berpamitan dengan Dikau. Hatinya sedikit membaik menemani Dikau bernyanyi seharian di karaoke, Dikau tidak memaksanya untuk bercerita tapi pria itu malah menghiburnya. Febri menjadi terharu, ia menjadi merasa keputusannya memilih Arkan adalah hal yang salah. Pria itu banyak sekali menyimpan rahasia padanyan.
Febri menatap Arkan datar, pria itu berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam. Febri mengabaikannya, ia memilih untuk pergi. Namun langkahnya langsung dihentikan, Arkan menarik lengan nya hingga ia berada dekat dengan Arkan.
"Lepas," desis Febri kesal, ia tidak ingin berhadapan dengan pria itu.
"Kamu pergi kemana saja dengan Dikau."
"Kamu melupakan janji kamu kepada saya Febri," ujar Arkan dengan nada yang tajam. Arkan cemburu melihat Febri pergi berdua dengan Dikau tadi siang.
"Apa peduli kamu?" tantang Febri sambil menatap tajam Arkan.
Arkan mengeram ia memegang kedua bahu Febri kencang. Matanya menatap Febri tajam.
"Kamu bilang apa peduli saya, Febri apa kamu lupa, jika saya adalah suami kamu. Laki-laki mana yang tidak marah melihat istrinya jalan dengan pria lain tanpa izin suaminya. Kamu masih tanggung jawab saya Febri," Febri menatap Arkan sinis. Suami katanya! suami macam apa yang tidak pernah mengatakan apapun mengenai masalahnya.
"Kamu menganggap aku istri, jika kamu saja masih menyembunyikan hal-hal yang tidak aku mengerti mas. Aku merasa bodoh menjadi istrimu, karena aku tidak tahu apa-apa tentangmu. Bahkan dari hal sekecil apapun aku tidak pernah tahu, apa makanan kesukaan mas, apa hobi mas sampai mas punya anak. Febri tidak pernah tahu." Febri menangis, ia mengeluarkan apa yang ingin ia utarakan. Arkan terdiam mendengar semua hal itu. Ia tak sanggup berkata-kata ataupun membalas semua perkataan Febri. Ia merasa bodoh, karena selama ini ia memaksa Febri bersamanya, tapi dia tidak pernah membiarkan Febri mengenalnya.
"Semua kata cintamu bulshit mas, nyatanya kamu tidak pernah mengizinkan aku mencintaimu dengan benar. Kamu egois, menginginkan Febri, tapi Febri tidak boleh memiliki mas seperti mas memiliki Febri."
"Febri benci mas Arkan. Mas Jahat,"
Arkan terdiam rasanya seperti dejavu mendengar perkataan Febri, itu seperti kalimat terakhir Febri sebelum kecelakaan di masa lampau terjadi. Dimana Febri menangis karena Arkan yang ingkar janji dan lebih memilih pergi bersama teman-temannya dari pada bersama Febri.
Firasat Arkan tidak enak, Febri merasa sakit dikepalanya entah kenapa ia merasa familiar dengan perkataan itu. Ia seperti pernah berada di situasi ini. Hingga ia merasakan semua bayangan masa kecilnya datang, Febri meringis sakit di bagian di kepalanya hingga ia tidak sadarkan diri. Hanya suara Arkan yang masih ia dengar memanggil namanya sebelum kegelapan menyelimuti dirinya.
*****
"Bagaimana keadaannya Ahwan?" ujar Arkan pada Temannya yang berprofesi sebagai seorang dokter. Arkan bingung mau menghubungi siapa.
"Dia punya riwayat amnesia," tambah Arkan.
"Soal itu saya tidak bisa menjelaskan, karena saya belum punya rekam medis istri kamu secara lengkap. Saya pikir dia hanya butuh istirahat, kamu bisa memberikan beberapa vitamin, untuk pengecekan lebih lanjut kamu bisa langsung ke rumah sakit, karena saya kesini tanpa membawa perlengkapan apapun ARKAN," Ahwan memandang Arkan kesal, ia tadi baru saja habis dari supermarket ingin berbelanja tapi Arkan memintanya ke rumahnya tanpa memberikan penjelasan apa yang harus ia lakukan. Sehingga Ahwan ke rumah Arkan tidak membawa perlengkapan dokternya.
Arkan menghela napas, ia merasa benar-benar bodoh.
"Terima kasih,"
"Sama-sama, lain kali berbicara dengan jelas. Tidak semua orang bisa memahami apa yang kamu inginkan Arkan."
"Maaf,"
"Sudahlah, jaga diri kamu Arkan. Kamu semakin terlihat aneh akhir-akhir ini."
******
Febri terbangun dari tidurnya. Ia merasa sakit di kepalanya, ia sudah ingat semuanya. Ternyata benar ia dan Arkan memiliki hubungan di masa kecil, lebih tepatnya dirinya yang selalu berusaha mengejar-ngejar Arkan bahkan mengikuti Arkan kemanapun pria itu pergi. Bahkan ia selalu merengek kepada Arkan untuk menikahinya, Febri memandang cincin yang melingkar dijemarinya. Seharusnya dia bahagia impiannya terwujud. Tapi Febri merasakan sakit, karena Arkan tidak pernah mencintainya, pria itu hanya membual dengan omong kosong.
Febri mengehela napas, kasur di sebelahnya kosong, bahkan pria itu pergi ketika dirinya sakit. Febri mengasihani dirinya sendiri tidak ada satupun orang yang ada di sampingnya bahkan pria yang katanya mencintai dirinya. Pria itu pasti lebih memilih anaknya dari pada dirinya. Sudah tidak perlu dibuktikan lagi, ia memang tidak pernah ada artinya bagi pria itu sampai kapanpun. Arkan menikahinya mungkin hanya untuk menebus rasa bersalahnya karena pernah membuatnya terluka dulu. Febri terisak, ternyata rasa cinta ini pada Arkan masih ada dan terasa dihatinya. Febri sangat mencintai pria itu. Rasa cinta itu tidak pernah bisa berubah, bahkan disaat ia tidak mengingat Arkan. Febri masih bisa mencintai pria tersebut dan jatuh dalam pesonanya.
Febri duduk memeluk lututnya sendiri. Airmatanya tidak henti mengalir, lagi-lagi Arkan menomer duakan dirinya. Febri menghapus airmatanya, ia bingung harus berbuat apa. Apa ia harus meninggalkan Arkan? tapi jika ia meninggalkan Arkan ia akan menjadi istri yang durhaka, tapi hatinya tak sanggup lagi bertahan. Febri memanggil Dikau, entah kenapa nama itu muncul dipikirannya. Dikau pasti mau membantunya. Febri bangkit keluar dari kamar, rumah masih sepi, Febri pikir pasti Arkan masih tidur padahal biasanya Arkan sudah bangun di waktu shubuh. Sekarang sudah terbukti jika pria itu lebih menyayangi anaknya dari pada dirinya, dirinya benar-benar tidak memiliki arti lagi di mata Arkan.
Dering pertama Dikau langsung mengangkat, kejutannya Dikau mau menjemputnya padahal ini masih pagi sekali. Febri keluar dari rumahnya, ia berlari keluar perumahan. Disana terparkir mobil milik Dikau. Pria itu bahkan tersenyum menyambut kedatangannya, Febri merasa serba salah. Tapi Febri tidak punya waktu lagi. Febri nanti akan menceritakan semuanya pada Dikau, yang terpenting saat ini adalah melarikan diri dari Arkan. Febri tidak ingin bertemu Arkan untuk saat ini. Febri hanya membawa tas kecil berisi dompet dan ponselnya saja.
"Maaf aku selalu ngerepotin kamu,"
"Tidak apa-apa, saya senang membantu kamu Febri." Dikau membukakan pintu untuk Febri. Disambut senyum hangat oleh Febri, seandainya Arkan seperti Dikau. Febri menggelengkan kepalanya, lagi-lagi ia membandingkan Arkan dengan Dikau.
"Kamu mau kemana?"
"Terserah kak Dikau, yang terpenting bawa Febri pergi dari tempat ini." Dikau menaikan alisnya bingung, ia ingin mengetahui apa yang terjadi. Tapi Dikau tidak bisa memaksa Febri untuk menceritakan hal itu jika Febri tidak menceritakannya sendiri. Dikau membenarkan letak kacamatanya lalu melajukan mobilnya menjauh dari perumahan.
****
mohon maaf kak author cantik
batuk nih dudanya meresahkan