Seorang pria bernama Lorenzo Irsyadul, umur 25 tahun hidup seorang diri setelah ibunya hilang tanpa jejak dan dianggap tiada. Tak mempunyai ayah, tak mempunyai adik laki-laki, tak mempunyai adik perempuan, tak mempunyai kakak perempuan, tak mempunyai kakak laki-laki, tak mempunyai kerabat, dan hanya mempunyai sosok ibu pekerja keras yang melupakan segalanya dan hanya fokus merawat dirinya saja.
Apa yang terjadi kepadanya setelah ibunya hilang dan dianggap tiada?
Apa yang terjadi kepada kehidupannya yang sendiri tanpa sosok ibu yang selalu bersamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A Giraldin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3: Home
Chapter 3: Home
Wanita itu menatapnya tanpa ekspresi, tatapannya datar namun menusuk. Rasa penasaran perlahan menyelimuti dirinya, terlebih setelah melihat sekilas ketakutan luar biasa yang terpancar dari wajah pria itu. Tak kuasa menahan diri, ia akhirnya bertanya pelan, “Ada apa di belakangmu?”
Ketakutan kembali mencengkeram Widlie. Tubuhnya gemetar saat wanita itu melangkah mendekat tanpa ragu. Tanpa berkata apa pun, ia menggeser Widlie ke samping kiri dan tetap melangkah maju. Wajahnya tak berubah, tetap datar, bahkan saat matanya menatap langsung pada sesuatu yang mengerikan.
"Apa yang terjadi di sini?" tanyanya tenang, tanpa sedikit pun perubahan di wajahnya.
Ia buru-buru menjawab, membalikkan badan dan berdiri di satu garis dengannya. “A-aku tak tahu… w-waktu Scarlett menyentuhnya… da-darah keluar dari… seluruh tubuhnya…”
Ia menerima jawaban itu tanpa ekspresi. “Begitu, ya.” Tanpa ragu, ia melangkah ke depan, menuju posisi di tengah-tengah antara Scarlett dan Carina.
Bagian tubuh Scarlett yang paling parah terlihat adalah matanya. Kedua matanya terus mengalirkan darah tanpa henti, dengan tatapan marah yang tak bisa tertutup. "Sepertinya, Scarlett... Diancam," ucapnya tanpa ekspresi.
Widlie belum sempat bertanya ketika kata-katanya tertahan begitu saja. "Nyonya Carina... korban," katanya dengan nada dingin.
Ucapannya sama sekali tak dimengerti Widlie, dan saat ia hendak bertanya, wanita itu tiba-tiba membalikkan kepala ke kiri. "Lalu, kau... sudah ditipu," katanya pelan namun tajam.
"Siapa wanita ini? Apa dia berkata... yang sebenarnya?" Wajahnya tetap tanpa ekspresi, hanya mulutnya yang terbuka sedikit. Tanpa memberi celah untuk bertanya, wanita itu kembali berbicara, seolah tak peduli pada reaksinya.
"Siapa kau? Tubuh dan pikiran itu milik dia, tapi jiwanya... bukan. Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan suara tenang, namun matanya setajam es.
Pertanyaannya membuatnya semakin ketakutan. Tubuhnya mulai gemetar, giginya bergemeletuk keras, dan ia menundukkan kepala. "Kenapa dia tahu? Tebakan? Bukan... bukan... bukan."
Pandangannya kosong, menatap lurus ke depan. "Wajah datar... acuh tak acuh... tapi bisa menebak, atau lebih tepatnya... kemampuannya." Ia mengembuskan napas pelan, lalu mengangkat kepala dan menatapnya dengan serius.
Meskipun ditatap seperti itu, ekspresinya tetap tak berubah. "Tolong... pertama-tama, panggilkan polisi!" pintanya dengan suara bergetar.
Ia segera menelepon. Begitu selesai, ia menyelipkan ponselnya kembali ke saku kanan. "Sudah. Apa lagi?" tanyanya singkat.
"Kita tunggu sampai polisi datang. Oh iya, punya rekomendasi Starbucks terdekat?"
Ia sempat berpikir sejenak, lalu menjawab, "Satu kilometer dari sini. Belok kanan, lalu lurus terus."
Setelah mendengarnya, ekspresinya tetap tak berubah. "Aku mengerti. Sekarang, mari kita tunggu polisi datang ke sini, Nona..."
"Liliana. Liliana Wezalsky, 25 tahun. Sekarang, siapa nama dan usiamu serta siapa nama tubuh yang kau huni?" tanyanya balik padanya.
Ia langsung menjawab cepat, "Widlie Martin, umur tidak diketahui. Lorenzo Irsyadul, 25 tahun."
"Oke. Kalau begitu, kita tunggu saja," ucap Liliana.
"Ya," jawab Lorenzo singkat.
Sepuluh menit kemudian, mobil polisi tiba di lokasi. Tiga petugas berseragam NYPD keluar dari dalamnya.
Yang pertama turun adalah pria berkulit hitam dari kursi belakang, lalu wanita berkulit putih dari kursi depan kiri, dan terakhir pria berkulit sawo matang dari kursi depan kanan.
Seorang petugas wanita bersama dua rekan prianya mendekat. Mereka berdiri berhadapan. Empat ekspresi tanpa emosi, satu dengan wajah pucat ketakutan.
Dengan suara pelan, orang yang ketakutan atau Lorenzo berkata, "Kami hanya menemukannya, seperti yang sudah kami jelaskan. Kami akan pergi." Ia menunduk, diikuti Liliana. Petugas mengangguk singkat dan membiarkan mereka pergi, karena keduanya memang tidak terkait langsung dengan kasus ini.
Ia menceritakan bahwa dirinya, Widlie Martin, menemukan dua wanita bersimbah darah. Satu tergeletak di depan, kehilangan beberapa anggota tubuh, dan satu lagi di belakang, tubuhnya kering tanpa darah.
"Jangan sentuh kedua mayat itu," katanya tegas.
"Dan tolong lakukan sesuatu untuk menguburkan kedua mendiang ini... meski aku tak tahu siapa mereka."
Hanya begitu saja. Mereka berdua berjalan di sisi kiri jalan, menyusuri arah yang sama. Langit cerah membentang di atas mereka, sementara di sepanjang jalan tampak rumah-rumah berpagar, beberapa kendaraan bermotor yang melintas, dan pejalan kaki yang lalu-lalang.
Di ruang tamu, dua pria duduk berdampingan. Pria berkulit hitam di bagian belakang, pria berkulit sawo matang di depan. Seorang wanita berdiri kaku di tengah mayat, memandangi pemandangan mengerikan di hadapannya.
Kondisi kedua mayat memburuk dengan mengerikan. Darah mengucur deras dari rongga mata hingga bola mata mereka terlepas, menggelinding turun dan kini tergeletak di atas dada, menatap kosong ke langit-langit, seolah masih menyaksikan kengerian terakhir mereka.
Mulutnya menganga lebar, memuntahkan darah begitu banyak hingga seluruh giginya tercabut dan berserakan. Dua puluh kuku dari jari tangan dan kaki juga tercabut, tersusun rapi di ujung aliran darah yang telah mengering, seolah seseorang dengan sengaja menatanya sebagai peringatan.
Yang paling mengerikan adalah pakaiannya yang hangus dan compang-camping, memperlihatkan bagian dalam tubuhnya, organ-organ yang remuk dalam kondisi serupa dengan mayat yang satunya. Sosok berkulit hitam menatap temannya di depan dengan ekspresi kaku dan pucat.
“Corobo… bagaimana kita mengangkut kedua mayat ini?” tanyanya, suara nyaris tenggelam dalam ketegangan yang menggantung di udara.
Corobo menjawab tanpa ragu, suaranya tenang namun menusuk. “Biarkan saja. Cepat atau lambat, mereka akan membusuk dan lenyap seperti yang lain.”
“Corobo, jangan bicara seperti itu! Kita harus menangani keduanya dengan benar,” tegur wanita berkulit putih yang berdiri di antara mereka, suaranya tegas namun sarat kegelisahan.
Tersenyum lebar. “Harlet, Busko, mau mencoba menyentuh salah satu dari dua wanita ini!” ajaknya.
Harlet, wanita berkulit putih itu, langsung menegurnya dengan nada setengah mencela. Ia menghela napas panjang. “Haaah... Kalau kau tetap nekat, kau bisa mati, lho, Corobo!”
Busko menimpali, suaranya berat dan serius. “Harlet benar, Corobo. Kalau kau lakukan itu, kau akan mati.”
Saran keduanya diabaikan begitu saja. Sebaliknya, Corobo menatap mereka dengan sinis dan melemparkan satu kata penuh ejekan:
“Pengecut.”
Ucapan singkat itu langsung memicu reaksi. Tangan kanan mereka serempak terarah pada tubuh Scarlett dan tubuh Carina.
“Mayat seperti wanita tua ini mustahil bisa membunuh,” ujar salah satu dari mereka dengan nada mengejek. “Kalau begitu, Corobo… kenapa kau tidak mencobanya lebih dulu?”
Mendengar itu, Corobo langsung membalas dengan tajam, suaranya penuh ejekan. “Harlet si pengecut. Jadi gelar salah satu wanita terkuat itu cuma omong kosong, ya?” Ucapannya menusuk, jelas ditujukan untuk memancing emosi.
“Jadi Harlet ternyata pengecut, ya? Biar aku dan Corobo saja yang mulai duluan.”
Mendengar provokasi dari kedua temannya, Harlet mendengus kesal. Ia langsung bersiap, meniru gerakan mereka. “Aku bukan pengecut!!” teriaknya lantang, membela diri. “Ayo kita lakukan bersama-sama!!” serunya, kini dengan semangat menyala.
Corobo, Busko, dan Harlet serempak meletakkan tangan kanan mereka, namun tak terjadi apa pun pada tubuh mereka. “Ternyata kau benar, Corobo,” ujar Busko dan Harlet hampir bersamaan, nada suara mereka mengandung rasa lega sekaligus kagum.
“Kekeke,” ia tertawa pelan, penuh ejekan.
“Sudah kubilang, kalian ini pengecut. Mana mungkin kita bakal jadi mayat hanya karena menyentuh salah satu dari kedua korban in—” Ucapannya terhenti, seolah sesuatu baru saja mengusik keyakinannya.
Brukk
Kepalanya terjatuh lebih dulu, tubuhnya menimpa Scarlett. Darah mengucur deras dari retakan di tengkoraknya. Kedua temannya menjerit dan dalam sekejap, hal yang sama menimpa mereka.
Pakaian ketiganya hancur, bahkan ada yang lenyap begitu saja, seolah dilahap oleh sesuatu yang tak kasatmata. Dari perut mereka, isi organ memuncrat keluar tanpa ampun. Telapak tangan dan kaki mengelupas, kulit tersobek, dan darah mengalir deras, membentuk genangan mengerikan di lantai.
Sebelum darah mereka sempat mengering, cairan merah itu mengalir membentuk huruf-huruf, seolah ditulis oleh tangan tak terlihat.
Dalam bahasa Inggris, terbaca jelas tiga kata:
Touch. Die. Next.
Mereka berdua duduk di bangku tengah, tepat di meja nomor 5, di sebuah Starbucks bernama DuckyClone. Di atas meja, tampak dua caffè latte dalam cup plastik putih, masing-masing berlogo biji kopi berwarna hitam.
Hampir semua meja di kafe itu telah terisi pengunjung. Hanya satu meja yang masih kosong, meja nomor 1 yang terletak di sisi kiri ruangan.
Widlie atau Lorenzo yang duduk di sisi kanan meja tengah, membuka percakapan lebih dulu. Ekspresinya datar dan serius, ketakutan yang tadi sempat terlihat kini telah lenyap. Ia menggenggam cup caffè latte dengan tangan kanannya.
“Liliana, menurutmu... reinkarnasi itu nyata?” tanyanya pelan, sambil menyeruput minumannya perlahan.
Ia menyeruput minumannya sejenak sebelum menjawab. “Tidak,” katanya singkat.
Lalu, setelah terdiam sejenak dan menatap lurus ke depan, ia menambahkan, “Setelah melihatnya… iya.”
Ia tersenyum tipis. “Begitu, ya,” gumamnya pelan.
Lalu ia menatap lawan bicaranya dan bertanya, “Jadi, apa yang sebenarnya kau cari di rumah pria bernama Widlie ini?”
Liliana mengangkat kepalanya, menatap ke atas sejenak, lalu menjawab dengan tenang, “Widlie dan aku teman masa kecil. Kami bekerja bersama di D.A.E. Hari ini__”
Lorenzo, yang tampak kebingungan, segera memotong penjelasannya. “D.A.E.?” tanyanya cepat, alisnya sedikit berkerut.
“Destroy All Enemies. Secret Police. Mungkin kau pernah dengar,” jawabnya sambil kembali menyeruput minumannya.
Lorenzo menggeleng pelan dan menjawab dengan jujur, “Aku tidak tahu. Soalnya aku tinggal di Jepang.”
“Kalau begitu, mau ku ceritakan semuanya tentang D.A.E.?” tawarnya dengan nada antusias.
Lorenzo tersenyum tipis, lalu wajahnya kembali datar. Ia menatap serius dan menjawab tegas, “Ceritakan semuanya padaku,” pintanya dengan nada memohon.
“Baiklah. Kalau begitu, aku akan ceritakan semuanya.”
Bersambung...
Tulisanmu bagus, Loh... semoga sukses ya...
ayo, Beb @Vebi Gusriyeni @Latifa Andriani