Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Getar Ketulusan
Cahaya sore merembes masuk lewat celah tirai, mengguratkan garis-garis hangat di lantai keramik putih. Di dalam ruang inap yang semula tenang, ketegangan menggantung berat di udara. Kata-kata terakhir Pandu belum benar-benar mengendap ketika sebuah suara baru—nyaris tak terdengar—menjadi pusat perhatian.
Desahan lirih.
Tubuh Lania di atas ranjang sedikit bergerak. Jemari tangan kirinya perlahan menggeliat di atas seprai, matanya mulai bergetar di balik kelopak yang semula tertutup rapat.
Lania perlahan membuka mata. Pandangannya masih buram, cahaya menyilaukan—kembali terpejam. Tubuhnya terasa berat, seperti diselimuti lapisan batu. Ada rasa nyeri di pelipis, dan kesadaran yang datang perlahan seperti kabut yang menyingkir.
Sagara langsung membungkuk, mendekat dengan panik tertahan.
“Lania?”
Suara Sagara pelan, penuh harap.
Pandu ikut maju, berdiri di sisi berlawanan, sementara Adisty tetap di tempat, tubuhnya menegang.
Kelopak mata Lania terbuka perlahan. Cahaya menyilaukan masih memburamkan pandangannya. Semua wajah tampak seperti bayangan—tiga sosok melayang dalam kabut.
“Sa…gara…” gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Lania mencoba mengingat. Jalan raya. Mobil. Dentuman. Lalu gelap.
Sagara menahan napas, jemarinya menggenggam tangan Lania.
“Aku di sini. Aku di sini, sayang… Kamu udah aman…”
“Mobil? Pak Wit?” tanyanya, pelan.
“Tidak usah pikirkan mobil. Pak Wit selamat, aku bersyukur kamu sudah sadar.” Sagara tidak ingin melepaskan tangan Lania. Membawa punggung tangan ke bibir. “Aku takut kehilanganmu.”
Lania mengedip beberapa kali, menarik napas pelan. Lalu, dia mengalihkan pandang, hingga pandangannya mulai jelas. Dilihatnya, Pandu di sisi lain… dan kemudian tatapannya bergerak perlahan ke arah Adisty—yang berdiri kaku di sudut ruangan.
Ada sesuatu yang berubah di mata Lania. Kecil, tetapi nyata. Gelombang kewaspadaan menghantam, sehingga tanpa daya jemari bergerak menyentuh perut.
Selayaknya pemain sinetron, Adisty langsung melangkah maju, memasang wajah hangat dan suara selembut kabut.
“Lania... aku ikut sedih banget. Kamu bikin kami semua khawatir…”
Namun suara Adisty yang lembut itu tidak lagi menenangkan.
Bagi Lania, suara itu kini terasa seperti racun manis.
Lania menatap Adisty lemah, kekuatan kecil menyala di balik sorot matanya.
“Kamu… di sini?” gumamnya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.
Adisty mengangguk cepat, tersenyum hangat yang terlalu sempurna.
“Tentu. Aku langsung ke sini begitu dengar kabar. Mana mungkin aku tinggal diam?”
“Aku gak butuh kamu pura-pura khawatir,” ujar Lania lirih.
Guna menutupi kegugupan, Adisty tertawa kecil. “Jangan begitu. Aku benar-benar khawatir. Sagara juga… sangat terpukul, sekali?”
Lania memejamkan mata sesaat, lalu membuka lagi dan menatap Adisty lemah. Namun, di balik tatapan itu terdapat kekuatan besar. “Terlalu banyak yang kamu lakukan, Adisty.”
Ucapan pelan dan tajam memancing perhatian, Sagara yang sebelumnya terpaku oleh kekhawatiran, kini menoleh perlahan ke arah Adisty.
Sebelum melanjutkan, Lania membasahi bibir yang kering. “Jauh di dalam hatimu, kamu pasti merasa senang karena aku terbaring lemah sekarang. Namun, ini belum selesai.”
“Kamu mengigau Lania, Ga, kita harus panggil dokter untuk memeriksa keadaannya.” Suara Adisty bisa dikatakan goyah, tetapi samar sehingga tidak terlalu mencurigakan. “Pandu, ayo panggil dokter.”
Rasa keraguan sedikit demi sedikit tumbuh,
tatapan Sagara belum penuh tuduhan—tetapi tidak lagi sepenuhnya percaya.
Pandu, dari sisi lain, menatap Lania dengan tenang. Lalu melaksanakan perintah Adisty, demi kesehatan Lania. Dia menyentuh tombol darurat di sisi stopkontak dekat tabung oksigen.
Susah payah, Lania mencoba duduk dan mengangguk, meski sangat pelan. Matanya kembali memejam—bukan karena tak sadar, tapi karena tubuhnya belum kuat.
Saat semua diam menatap Lania, Adisty menatap jam tangannya lalu melangkah mundur.
“Kalian jagalah dia. Aku… harus kembali ke kantor. Banyak yang belum selesai,” pamit Adisty, setenang mungkin—dia tidak boleh terlihat panik.
Sagara tidak menghentikannya. Pandu tidak meliriknya. Langkah kaki berhak tinggi Adisty menggema, dia membuka dan menutup pintu sedikit keras.
Pintu perlahan terbuka kembali. Seorang dokter berjas putih masuk, diikuti seorang perawat muda yang sigap membawa tablet digital dan stetoskop. Langkah mereka tenang serta penuh kehati-hatian. Dokter, seorang pria paruh baya dengan wajah teduh dan sorot mata cermat, menghampiri sisi ranjang.
“Bu Lania, apa yang Anda rasakan?” tanya dokter ramah.
Perawat mengecek tekanan darah, mencatat denyut nadi yang masih lemah, sementara sang dokter menyentuh pergelangan tangan Lania dengan ujung jari, mencari denyut halus nadi radialnya.
“Agak pusing, Dok.”
“Wajar karena baru sadarkan diri, setelah beberapa menit pasti jauh lebih baik.” Sambil berbicara, dengan gerakan terlatih, dokter membuka stetoskop, menempelkan di dada Lania—mendengarkan irama jantung—pernapasan terdengar berat dan cukup teratur.
"Semua dalam keadaan baik, tidak ada bunyi abnormal. Syukurlah," katanya lagi, mencatat hasil pemeriksaan pada tablet milik perawat.
“Kondisi bayi saya?” tanya Lania gugup, sesuatu yang ingin dia dengar dan takuti.
“Tidak ada masalah,” jawab dokter riang.
Setelah memastikan semua stabil, dokter tersenyum, menatap Lania, Sagara dan Pandu—sejenak sebelum melangkah keluar.
Ucapan sang dokter menancap seperti sinar pertama setelah berhasil melawan malaikat maut. Bibir Lania bergerak pelan, mencoba membentuk sebuah senyum kecil yang sempurna. Di balik lelah dan rasa sakit yang masih mengendap, ada kelegaan samar yang menyelinap ke dalam hatinya.
Kelopak matanya berkedip sekali, lalu dua kali, air mata seketika tumpah. Nafasnya sedikit lebih dalam dari sebelumnya, seperti seseorang yang baru saja muncul ke permukaan air setelah lama tenggelam. Tangannya bergerak naik turun mengusap perut—terasa sebuah gemetar halus.
Dalam diam, terus mencucurkan air mata. Bukan karena rasa sakit, lebih karena rasa syukur yang tak bisa diucapkan. Lania tidak tahu apa yang telah terjadi selama tak sadarkan diri.
“Ekhm, aku pamit dulu, semoga lekas pulih, Lan.” Pandu berpamitan dan tidak mau berbasa-basi kepada Sagara.
Begitu Pandu pergi, Lania menarik napas pelan. Dia menatap Sagara—mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya.
Perasaan itu memenuhi dadanya perlahan, bersama dengan munculnya secercah harapan. Namun, di balik itu semua, terselip pula rasa khawatir—akan kenyataan yang harus Lania hadapi begitu tubuhnya benar-benar pulih. Dia belum lupa tatapan Sagara sebelumnya—dingin, diselimuti bayang-bayang gelap yang menari di antara serpihan ingatan sebelum kecelakaan itu.
Namun, kini tatapan itu berubah—Sagara memandang Lania begitu dalam. Pancaran rasa khawatir terlihat jelas di matanya.
“Terima kasih kamu sudah bertahan, Sayang.” Getar ketulusan menyertai ucapan Sagara. Dia meraih jemari Lania, mengecupnya berulangkali. “Aku mencintaimu, jangan berpikir untuk meninggalkanku. Aku tak sanggup hidup tanpamu.”
“Sagara,” ucap Lania lembut, “maaf aku yang telah meminta untuk berpisah.”
“Ussst, ussst, ussst. Sudah jangan katakan perpisahan lagi. Persetan dengan ingatan bodoh yang hilang. Aku yakin, pasti saat itu ngotot menolak keinginanmu. Ya pasti begitu.”
Lania menanggapi perkataan panjang Sagara dengan anggukan.
jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
kamu dapat inspirasi dari mana jal
hai sayang. aku datang karena penasaran