Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demi yang tersisa
Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Gue tau ada yang nggak beres. Lampu ruang tamu nyala semua, tapi tirainya ditutup rapat. Udara malam harusnya sejuk, tapi rasanya kayak menekan dari segala arah.
Langkah Gue berat waktu masuk. Sepatu Gue sempat nyenggol vas kecil di dekat pintu, jatuh dan pecah pelan, tapi suara itu kayak ledakan di rumah yang terlalu sunyi.
Mama dan Papa duduk di sofa. Wajah mereka datar, tapi mata Mama tajam kayak pisau.
"Duduk," katanya pendek.
Suara itu nggak minta, tapi nyuruh.
Gue narik napas, nahan diri buat nggak langsung nanya. Tapi begitu pantat Gue nyentuh kursi, "Kamu sadar nggak, apa yang sudah kamu lakukan di perusahaan?" Papa langsung buka suara, tanpa basa-basi.
Jantung Gue langsung meloncat. Gue refleks berdiri setengah. "Apa maksud Papa?"
Mama lempar setumpuk berkas ke meja. Suara kertasnya keras banget di antara udara yang tegang. "Kami dapat laporan dari Darly. Kamu menyebarkan data internal dan memprovokasi karyawan buat keluar."
Gue bengong. "Apa?!" suara Gue naik tanpa sadar. "Itu bohong, Ma! Itu semua—"
"Jangan bentak Mama!"
Gue langsung berhenti. Tapi mata Gue panas. "Papa bahkan belum denger penjelasan aku!"
Papa berdiri, wajahnya merah. "Kamu pikir Papa dan Mama bodoh? Kita tau Darly memang keras, tapi dia yang bantu perusahaan keluarga kita yang hampir bangkrut ini! Kamu malah nyalahin dia?" nadanya berat tapi tertahan.
"Dia manipulatif, Pa! Dia fitnah aku!" suara Gue pecah. "Papa tau nggak, dia yang ngatur semuanya! Dia sengaja melakukan itu semua! Aku aja baru keperusahaan hari ini. Masa Mama sama Papa lupa."
"Cukup!" Mama langsung tepuk meja.
Gue kaget. Mama dulu jarang marah, tapi sekarang, gara-gara ada Darly, lebih sering. Mata Mama aja udah nggak keliatan kayak mata yang dulu suka ngelus kepala Gue waktu Gue jatuh dari sepeda. Ini mata seorang yang udah milih percaya pada kebohongan orang lain.
Mama berdiri, jalan ke arah jendela. "Kamu nggak usah heran kalau belakangan ini ngerasa diawasi. Itu memang Mama yang suruh orang ngikutin kamu. Mama cuma mau pastiin kamu nggak ngelakuin hal-hal bodoh lagi."
Dunia Gue serasa berhenti. "Jadi... Mama ngintilin aku sekarang?"
Mama balik badan. "Kami cuma mau memastiin kamu nggak mempermalukan keluarga ini lagi."
Gue ketawa kecil, getir. "Yang mempermalukan nama keluarga justru Darly, Ma! Dia yang main kotor, dan kalian malah percaya sama dia?"
Papa ngusap wajahnya kasar. "Darly udah datang ke rumah tadi. Dia menjelaskan semuanya, lengkap dengan bukti. Kamu yang ngatur karyawan resign, kamu yang ngirim email ancaman ke direksi lain—"
"Apa?!" Gue teriak. "Gila! Itu semua kerjaan dia! Dia pakek nama aku buat—"
"Sudah cukup!" suara Mama bergetar tapi tegas. "Darly udah nyelamatin perusahaan keluarga kita dari kehancuran. Kamu mau balas kebaikannya dengan menolak dia? Jangan egois!"
dunia Gue benar-benar runtuh.
Gue ketawa pelan, hambar. "Lucu banget. Jadi sekarang aku harus nikah buat balas budi gitu?"
Papa berdiri. "Kami sudah setuju. Pertunangannya minggu depan. Pernikahan menyusul bulan depan." nadanya tegas tapi dingin.
Gue mundur satu langkah, dada Gue sesak. "Papa pikir aku bakalan setuju? Setelah semua yang Darly lakuin, Papa masih percaya dia? Aku nggak akan nikah cuma buat nutup kesalahan yang bukan aku buat!"
Nggak ada suara. Cuma hening yang berat banget, kayak semua udara di ruangan ini ikut membeku.
Gue tarik napas, tapi dada Gue sesak. "Aku nggak cinta sama dia, Pa, Ma! Dia bukan orang yang kalian kira. Di depan kalian dia selalu keliatan sopan dan perhatian, tapi di belakang… dia dingin, penuh perhitungan. Setiap kali ngomong sama dia, rasanya kayak ngomong sama tembok, ada jarak, ada sesuatu yang nggak pernah bisa nyatu."
Mama maju selangkah. "Cinta bisa tumbuh. Tapi kesempatan kedua buat nama baik keluarga ini nggak akan datang dua kali. Darly udah bantu kita. Ini cara kita membalas." suaranya mulai bergetar tapi matanya tetap tajam.
Mama menatap Gue lama. "Kamu nggak ngerti. Kalau bukan karena Darly, rumah ini pun mungkin udah dijual. Kami cuma pengen menyelamatkan apa yang tersisa."
Gue ngedengernya kayak mimpi buruk yang baru aja jadi nyata. Jadi semua ini... cuma soal rumah dan nama baik?
Gue nyengir kecut, perih di dada mulai berubah jadi marah.
"Nyelametin apa yang tersisa ya, Ma?" suara Gue gemetar tapi tajam. "Dengan menjual anak sendiri?"
Mama menatap Gue beberapa detik, lama, dingin, nyesek, sebelum tangannya terangkat.
Tamparannya mendarat di pipi Gue, cepat, keras, dan nyisain panas yang nggak cuma di kulit.
Papa diem. Nggak nyentuh Gue, nggak nahan Mama.
"Mama cuma mau yang terbaik buat kamu," kata Mama lirih, tapi nadanya masih keras. "Kamu nggak ngerti dunia bisnis. Kamu terlalu idealis, terlalu percaya orang. Liat apa yang kamu lakukan, semuanya berantakan!"
Air mata Gue udah jatuh, tapi Gue nggak peduli. "Justru karena aku tau dunia bisnis itu kotor, Ma. Makanya aku pengen bersihin! Tapi kalian malah ikut jadi bagian dari orang yang ngerusak segalanya!"
Mama mulai nangis, tapi tangisannya nggak lembut. Tangisnya orang yang ngerasa benar. "Alya, tolong. Sekali ini aja, nurut sama Mama."
"Tapi aku nggak bisa, Ma."
"Kamu pikir Papa seneng ngeliat kamu ngelawan terus kayak gini? Kami cuma pengen yang terbaik buat kamu. Tapi kalau kamu terus keras kepala begini…"
dia berhenti sebentar. "Jangan salahin Papa kalau nanti kamu sendiri yang rugi… dan malu." Papa akhirnya buka suara, suaranya berat, tajam, tapi juga lelah.
Gue ngeliat ke arah mereka berdua. Dua orang yang dulu Gue pikir paling ngerti Gue, paling bangga sama semua yang Gue capai. Tapi sekarang mereka duduk di sofa, nunduk, dan percaya sama orang yang ngancurin hidup Gue.
Gue narik napas panjang. "Kalian udah pilih percaya sama Darly. Sekarang aku juga milih percaya sama diri aku sendiri." suara Gue nyaris bergetar.
Gue berbalik ke arah pintu. Suara engselnya kayak jerit terakhir rumah yang nggak lagi jadi tempat pulang.
"Alya! Jangan pergi! Mama cuma—"
Tapi Gue udah nggak denger. Langkah Gue cepat, napas Gue berat. Dingin malam nyambut Gue kayak pelukan yang lebih jujur daripada rumah itu.
Begitu kaki Gue nyentuh halaman, baru Gue sadar tangan Gue gemetar hebat.
Gue nggak tau harus ke mana, tapi satu hal yang pasti, Gue nggak mau jadi alat siapa pun lagi.
Tanpa mikir panjang, Gue masuk ke mobil, nyalain mesin, dan langsung melaju. Dari balik kaca spion, samar-samar suara Mama masih kedengeran, manggil nama Gue… tapi Gue nggak berani nengok lagi.
Yang Gue pikirin, Gue akan lawan mereka semua. Darly, kebohongan itu, bahkan keputusan orang tua Gue sendiri.
Karena kalau mereka pikir Gue bakal tunduk, berarti mereka belum benar-benar kenal siapa Alya yang mereka besarkan.