Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Kamu Mama yang Baik
Di kamar Damar, suasana yang biasanya sunyi dan penuh aura maskulin kini berubah riuh oleh tawa dan celoteh Ares. Bocah kecil itu berlari kesana-kemari, mencoba setiap sudut kamar seolah menemukan dunia baru.
Damar hanya tersenyum lebar, matanya hangat memandang. Begitu mirip dengan Stacy dulu, pikirnya. Gadis itu yang dulu selalu hadir dengan seribu cara untuk mengusik kesendiriannya—berisik, keras kepala, tapi entah mengapa selalu membuat hari-harinya terasa lebih berwarna. Kini, versi kecilnya hadir kembali dalam diri Ares.
Saat akhirnya mereka berbaring di atas tempat tidur—karena sejak keluar dari kamar mandi Ares terus menguap lebar—Damar mengusap rambut basahnya yang wangi sampo anak.
“Kata Oma, Ares suka dinosaurus, ya?” tanyanya lembut.
“Iya, Papa. Dinosaurus itu kuat. Ares juga mau jadi kuat… biar bisa melindungi Mama. Ares nggak mau ditinggal ke surga lagi.”
Dahi Damar berkerut. Kata-kata polos itu menusuk hatinya. “Ditinggal ke surga? Maksud Ares siapa yang meninggakan ares ke surga?”
Ares memeluk erat selimut di dadanya, suaranya lirih. “Papa dan Mama Ares… yang dulu. Ada orang jahat bikin mereka sakit… terus mereka ke surga. Nggak balik-balik lagi. Jadi Ares nggak punya Papa sama Mama lagi…”
Sejenak dada Damar sesak. Ia segera meraih tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Ada isakan tertahan di bahu kecil Ares, getarannya terasa jelas.
“Shhh… Ares anak hebat. Papa yakin, Papa dan Mama Ares di surga pasti bangga banget lihat Ares tumbuh jadi anak baik. Mereka nggak mau Ares sedih terus. Lagi pula…” Damar meremas lembut bahu mungil itu. “…sekarang Ares sudah punya Papa di sini. Papa janji akan selalu ada untuk Ares.”
Ares mengangkat wajahnya yang basah, lalu mengangguk kecil. “Makasih, Papa. Ares percaya… Papa pasti sayang Mama Sisi sama Ares.”
Sisi? Damar tersenyum kecil. Baru tahu, ternyata dalam keluarga, Stasia dipanggil begitu. Lucu sekaligus hangat di telinganya.
“Boleh Papa tahu sesuatu?” tanya Damar, separuh penasaran. “Kenapa Ares langsung kenal Papa tadi? Padahal kita baru pertama kali ketemu.”
Ares menggeleng cepat. “Ares baru ketemu Papa hari ini. Tapi Ares sering lihat foto Papa di kamar Mama.”
Damar terkejut. “Foto Papa? Di kamar Mama Sisi?”
“Iya. Tapi di foto Papa masih tidak sebesar sekarang… pakai baju seragam warna putih seperti kakak-kakak yang sekolah di dekat sekolah Ares.” Ares menyipitkan mata, berusaha mengingat detail.
Damar tercekat. Seragam SMP? Itu berarti Stasia menyimpan fotonya… sebelas tahun lamanya.
“Wah, kamu pintar banget mengingat wajah Papa, Jagoan.”
Ares terkekeh kecil. “Soalnya Ares sering lihat. Tapi jangan bilang Mama, ya?”
Damar menatap bingung. “Kenapa harus rahasia?”
Ares menunduk, suaranya pelan. “Ares lihatnya sembunyi-sembunyi. Mama simpan di laci. Kadang Mama keluarin, terus Mama lihat foto Papa sambil sedih. Papa… apa Papa pernah bikin Mama sedih?”
Pertanyaan itu membuat Damar terdiam. Lidahnya kelu, sementara pikirannya dipenuhi rasa penasaran dibalut rindu yang selama ini ditekan. Ia tak tahu harus menjawab dengan apa.
Akhirnya ia menunduk, mengecup kening Ares singkat. “Papa janji… mulai sekarang Papa akan selalu ada buat Mama. Papa mau bikin Mama bahagia. Kita sama-sama jaga Mama. Ares mau?”
Wajah Ares langsung berbinar. “Siap, Papa! Kita jaga Mama bareng-bareng.”
Damar tertawa kecil, lega melihat senyum itu kembali. “Kalau begitu, jagoan Papa harus tidur dulu. Dari tadi menguap terus.”
“Siap, Papa…” jawab Ares sambil terkikik, lalu menggeliat mencari posisi nyaman.
Damar membetulkan selimut, menepuk-nepuk halus tubuh mungil itu. Tangannya mengusap lembut kepala Ares, iramanya pelan menenangkan. Tak lama, napas Ares mulai teratur, matanya terpejam, wajah polos itu benar-benar damai.
Damar terdiam memandanginya. Ada rasa asing namun hangat yang menyelusup ke dalam hatinya. Begitu cepat bocah ini menempati ruang yang bahkan orang lain tak mudah masuki.
Ia mengecup ubun-ubun Ares sekali lagi, sebelum berbisik pelan, seolah janji pada diri sendiri.
“Papa nggak akan biarin kamu kehilangan lagi. Kali ini… Papa akan jaga kamu dan Mama Sisi sekuat tenaga.”
Sementara itu di ruang tengah, Wulan dan Stasia duduk berdua sambil menikmati obrolan ringan.
“Kamu ingat Bimo? Yang dulu suka pinjam catatan bukumu,” ujar Wulan sambil terkekeh. “Dia heboh banget waktu kamu tiba-tiba keluar sekolah tanpa pamit. Sampai kelulusan pun kelihatan banget dia masih nggak bisa move on sama kamu.”
Stasia ikut tersenyum tipis, “Bagaimana kabar teman-teman sekelas kita sekarang?”
“Macam-macam,” jawab Wulan sambil bersandar di sofa. “Banyak yang nerusin usaha keluarga, ada juga yang buka perusahaan sendiri. Sebagian lagi memilih menikah, jadi ibu rumah tangga… ya, seperti aku sekarang.”
“Meski terlambat, aku mendoakan rumah tanggamu selalu penuh kebahagiaan. Dan semoga Baby Dilan selalu sehat.”
Wulan menunduk sebentar, bibirnya berusaha tersenyum meski matanya sedikit berkaca. “Terima kasih atas doamu. Semoga, ya… meski tanpa kehadiran suami lagi.”
Stasia terdiam. “Maaf, aku… aku tidak tahu.”
“Tidak apa.” Wulan mencoba tegar. “Suamiku mengalami kecelakaan waktu aku mengandung Dilan. Mobilnya masuk jurang dan terbakar. Sampai sekarang aku masih sering berharap dia selamat. Tapi kalau aku terus meratapi, justru aku melukai Dilan. Karena itu aku memilih menatap ke depan. Aku harus hidup baik demi anakku.”
Mata Stasia ikut berkaca, suaranya lembut, “Kamu masih sama hebatnya seperti dulu. Aku yakin, nanti saat Dilan dewasa, dia akan sangat bangga punya ibu sepertimu.”
Wulan terkekeh pelan, menepuk tangan Stasia. “Kamu juga ibu yang baik untuk Ares. Dia sopan, manis, persis kamu waktu dulu.”
Stasia tersipu. “Kamu terlalu memuji.”
“Itu kenyataan.” Wulan mengernyit penasaran. “Tapi jujur, aku masih bingung. Kenapa dulu kamu menghilang tiba-tiba, dan sekarang muncul dengan sosok Ares… yang entah kenapa begitu dekat dengan Damar?”
Stasia hanya tersenyum samar. “Aku juga heran. Aku belum sempat bertanya pada Ares kenapa dia begitu cepat dekat dengan Damar.”
“Dia putramu?” Wulan menatap lebih tajam. “Kalian benar-benar mirip.”
Stasia terkekeh kecil. “Lebih tepatnya… aku dan kakakku yang mirip. Ares putra almarhum kakakku.”
“Maaf, aku kira dia putramu sendiri.”
“Tidak masalah.” Stasia tersenyum lagi. “Banyak yang mengira begitu. Dan aku suka… karena bagi Ares, itu membuatnya merasa punya orang tua lagi.”
Tiba-tiba suara berat memotong obrolan mereka.
“Kalau begitu, biarkan dia terus memanggilku Papa.”
Stasia menoleh kaget. Damar sudah berdiri di belakang, lalu tanpa basa-basi duduk di sampingnya.
“Kenapa duduk di sini? Kursi di sana masih kosong,” protes Stasia, merasa risih apalagi tangan kirinya langsung digenggam Damar.
Damar menunduk sedikit, berbisik di telinganya. “Supaya chemistry kita sebagai Mama dan Papa Ares lebih terasa.”
Seketika bulu kuduk Stasia meremang. Ia berusaha melepaskan genggaman itu, tapi Damar justru mengeratkan pegangan dengan senyum tipis penuh kemenangan.
Suara tawa Wulan pecah, membuat keduanya sontak menoleh.
“Ngebet banget, Dam. Sabar… pelan-pelan, dong.”
Wajah Stasia langsung merah padam, sementara Damar malah semakin santai.
“Oh iya, Stac,” sela Wulan untuk mengalihkan. “Kamu belum cerita, kenapa dulu tiba-tiba pergi begitu saja?”
Stasia menarik napas, mencoba tetap tenang. “Waktu itu… terjadi sesuatu pada Mama. Aku harus tingga di Paris untuk mendampinginya.”
Jawaban itu jelas belum memuaskan, tapi Wulan tahu sahabatnya selalu tertutup soal urusan pribadi. Ia tidak ingin memaksa.
“Bagaimana keadaan mamamu sekarang?”
“Mama sudah meninggal… tepat saat aku lulus SMA.” Stasia menunduk, suaranya menahan getir. “Setelah itu aku tinggal dengan kakakku, papanya Ares. Sampai akhirnya tahun lalu… kakakku juga meninggal. Sejak itu, aku hanya berdua dengan Ares.”
Damar yang duduk di sampingnya refleks mengelus lembut tangannya, memberi kekuatan.
“Kenapa tidak langsung pulang ke Indonesia? Pasti sulit di posisi kamu.” tanya Wulan hati-hati.
“Aku sudah punya pekerjaan yang tidak bisa kutinggalkan. Keluarga almarhum kakak ipar sebenarnya pernah menawarkan diri untuk merawat Ares. Tapi Ares memilih tetap tinggal bersamaku. Sejujurnya aku senang karena aku jadi tidak sendiri… tapi kadang aku juga merasa bersalah, takut tidak bisa merawatnya dengan baik.”
Damar menatap Stasia, suaranya tegas namun hangat. “Kamu mama yang baik untuk Ares. Tanya saja padanya kalau tidak percaya.”