Seorang gadis remaja yang kini duduk di bangku menengah atas. Ia bernama Rona Rosalie putri bungsu dari Aris Ronaldy seorang presdir di sebuah perusahaan ternama. Rona memiliki seorang kakak lelaki yang kini sedang mengenyam pendidikan S1 nya di Singapore. Dia adalah anak piatu, ibunya bernama Rosalie telah meninggal saat melahirkan dirinya.
Rona terkenal karena kecantikan dan kepintarannya, namun ia juga gadis yang nakal. Karena kenakalan nya, sang ayah sering mendapatkan surat peringatan dari sekolah sang putri. Kenakalan Rona, dikarenakan ia sering merasa kesepian dan kurang figur seorang ibu, hanya ada neneknya yang selalu menemaninya.
Rona hanya memiliki tiga orang teman, dan satu sahabat lelaki somplak bernama Samudra, dan biasa di panggil Sam. Mereka berdua sering bertengkar, namun mudah untuk akur kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosseroo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendapatkan bukti
Di jam istirahat, kantin sekolah ramai dipenuhi siswa. Rona berjalan masuk bersama Mely, Cika, dan Rita juga Lala. Senyum tipis ia paksakan, meski mata sembabnya sedikit tersamarkan dengan bedak tipis.
“Ronaaa, sini duduk bareng kita!” seru Mely ceria, menarik lengan sahabatnya.
Rona duduk di bangku panjang, meletakkan buku di atas meja.
“Hehe, maaf ya kalau belakangan gue kayak nggak semangat,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
Lala menatap curiga. “Kamu sakit, Na?"
" Atau ada masalah sama Samudra?” tambah Cika yang sejak tadi menantap ekspresi wajah Rona tak seperti biasa.
Rona tercekat sesaat, tapi cepat-cepat tertawa pelan.
“Hah? Enggak kok… gue sama dia baik-baik aja.”
Rita ikut menimbrung, menyipitkan mata.
“Yakin? Soalnya gue liat lo pagi ini kayak sengaja ngelak kalau ketemu dia.”
Rona buru-buru meraih gelas jusnya, menyesap sedikit untuk menutupi kegugupannya.
“Gue cuma lagi pengen sendiri aja, biar lebih fokus mikirin buat ujian. Nggak ada hubungannya sama Samudra.”
Mely tersenyum, menggenggam tangan Rona.
“Kalau ada apa-apa, lo cerita ya, Na. Jangan dipendam sendiri.”
Rona mengangguk, menatap ketiga sahabatnya dengan mata yang hampir berkaca-kaca.
“Iya… makasih ya kalian emang best friend gueee.”
Senyumnya tampak manis, tapi di dalam hatinya, perih itu masih menghantam tanpa henti. Samudra… kenapa gue nggak bisa berhenti mikirin foto itu? Dan anehnya, Rona sedang tak ada daya untuk baku hantam saat ini.
Saat berada di Koridor, Rona berjalan sendirian untuk mengembalikan buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Dengan santainya ia mengunyah permen karet, namun keheningan itu mendadak berubah saat Erina dan dua temannya datang.
"Ciee yang lagi marahan, tumben banget lagi nggak berduaan. Biasanya sih kaya pake lem alteko, nempel banget. hahaha. " Erina sengaja meledek Rona.
Dengan langkah gontai, Rona mendekati Erina dan memegang permen karet yang sebelumnya ia lepeh.
"Tch, bukan waktunya main-main ladies. Bentar lagi ujian kan?" ucapnya dengan tatapan semirik, Rona membelai rambut Erina dan menempelkan permen karet itu.
Puk..puk.. "Belajarlah yang bener. " Rona menepuk kepala Erina pelan, lalu pergi meninggalkannya.
Saat Vina dan Della menoleh ke arah kepala Erina, mereka menjerit.
"Iiuuhhh permen karet Er!" pekik Vina.
"Dihh jijik banget deh, pasti ulah Rona tadi." tambah Della.
"Hahhh yang bener, duhh musti gimana ini. iih lengket, jorok!" triaknya saat menyentuh rambut.
"Gak bisa lepas Er, musti di gunting." Vina memberi saran.
"Hahh lo gila!"
Mereka bertiga sibuk dengan kehebohannya, sedang Rona berjalan dengan senyum tipis. mamp*s..! dalam hatinya.
****
Esoknya di sisi lain kantin, Samudra dan Rico sudah duduk dengan posisi strategis—tak jauh dari meja tempat Vina dan Della biasa duduk. Samudra menunduk, memainkan sendok dengan resah.
“Ric, yakin mereka bakal kepancing?” bisiknya.
Rico nyengir tipis. “Tenang, bro. Orang-orang kayak mereka tuh gampang banget kalau kita bikin seolah kita tau sesuatu.”
Tak lama, benar saja, Vina dan Della masuk sambil tertawa kecil. Mereka mengambil tempat hanya dua meja dari Samudra dan Rico.
Rico segera mulai aksinya. Ia menaikkan volume suara percakapannya, cukup keras untuk terdengar tapi tetap seolah “ngobrol santai”.
“Eh, Sam… kemarin gue liat CCTV di ruang olahraga, lho. Menarik banget hasilnya.”
Samudra sempat kaget, tapi Rico memberi isyarat dengan matanya untuk ikut bermain.
“I-iya… gue juga heran. Kayaknya ada yang aneh banget sama kejadian itu. Kalau orang liat detilnya, pasti langsung tau siapa dalangnya.”
Vina dan Della saling pandang. Mereka berusaha terlihat tenang, tapi jelas-jelas kupingnya terpasang ke arah meja Samudra dan Rico.
Rico lanjut, pura-pura menunduk lebih dekat ke Samudra.
“Lo yakin nggak mau gue kasih tau ke Rona langsung? Soalnya kalau ada bukti kayak gitu, abis sudah mereka yang settingan.”
Samudra mengangguk, meski dadanya berdebar kencang.
“Tunggu waktu yang tepat. Gue mau orang itu sendiri yang jatuh ke lubangnya.”
Vina tak tahan lagi. Ia mencondongkan tubuh, berbisik ke Della.
“Lo denger nggak? Mereka tau soal CCTV. Gimana kalau beneran ketahuan?”
Della panik, membalas lirih.
“Sstt! Jangan keras-keras! Tapi kayaknya mereka cuma bluffing deh. CCTV kan dimatiin waktu itu…”
Kalimat itu sukses membuat Rico dan Samudra saling pandang cepat. Senyum tipis muncul di wajah Rico.
Dapat!
Samudra mengepalkan tangan di bawah meja. Satu potongan kebenaran sudah keluar dari mulut mereka sendiri.
Vina meneguk minumannya cepat-cepat, lalu melirik ke arah meja Samudra dan Rico. Tatapannya tajam, seolah menyelidiki.
“Eh, Del… lo nggak ngerasa aneh? Dari tadi mereka ngomong keras-keras banget soal ‘CCTV’ segala. Kayak sengaja biar kita denger.”
Della langsung menegakkan punggungnya, wajahnya berubah panik.
“Iya… iya juga. Jangan-jangan mereka lagi ngejebak kita.”
Mendengar itu, Samudra nyaris kehilangan kendali. Ia hampir saja menoleh ke arah mereka, tapi Rico cepat-cepat menendang kakinya di bawah meja.
“Tenang, bro! Jangan kasih ekspresi,” bisik Rico tanpa senyum, matanya tetap fokus ke piring.
Samudra menunduk lebih dalam, mencoba terlihat cuek, sementara keringat dingin mulai muncul di pelipisnya.
Vina makin curiga. Ia berdiri, pura-pura mengambil tisu, lalu berjalan pelan melewati meja Samudra dan Rico. Sekilas ia menoleh, berusaha membaca ekspresi wajah mereka.
Samudra menahan napas. Ia bisa merasakan jantungnya berdentum kencang.
Kalau mereka sadar, habis sudah rencana ini…
Namun Rico tetap tenang. Ia justru meneguk minumnya santai, lalu dengan sengaja berkata cukup keras,
“Ya sudahlah, Sam. Nggak usah dibahas lagi. Lagian cuma teori doang. Nggak mungkin ada yang sebodoh itu sampai kejebak kamera, kan?”
Vina langsung menghentikan langkahnya. Ia menatap Della, wajahnya lega bercampur kesal.
“Tuh kan, gue bilang juga apa! Mereka cuma bluffing. Untung aja CCTV kemarin dimatiin, kalau nggak… mampus kita.”
Kalimat itu keluar begitu saja. Samudra menahan diri untuk tidak bereaksi. Ia hanya menunduk, pura-pura asyik dengan makanannya.
Di bawah meja, Rico menyeringai puas, jempolnya sudah menekan tombol record sejak awal percakapan. Semua kata-kata Vina dan Della—termasuk pengakuan tentang CCTV yang dimatikan—sudah terekam jelas.
Di ruang ganti basket, sore hari
Samudra duduk di bangku panjang, kepalanya tertunduk. Rico berdiri sambil memainkan ponsel, menatap layar rekaman yang baru saja mereka dapat.
“Bro, ini bukti emas. Tinggal kita tunjukin, semua kelar.”
Samudra menggeleng, suaranya berat.
“Kalau aku kasih sekarang, kelihatan kayak aku panik... kayak aku cuma mau cuci nama. Aku nggak mau Rona mikir begitu.”
Rico mendengus, tapi ia tahu Samudra serius.
“Jadi... lo mau nunggu sampai kapan? Rona udah makin dingin, Sam. Gue lihat tadi di koridor, dia bahkan sengaja muter arah biar nggak ketemu lo.”
Samudra menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Gue tahu... setiap kali dia lewat dan nggak mau lihat gue, rasanya... lebih sakit dari apapun.”
ini pulang nanti bakal dimarahi
jadi takut/Grimace/