NovelToon NovelToon
Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: ila akbar

‎Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
‎Menjalin hubungan dengan duda ❌
‎Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
‎Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Beberapa Saat Kemudian...

Bumi turun dari tangga, langkahnya tergesa menuju mobil, bersiap berangkat ke kantor.

Di lantai bawah, Mawar sigap mendekat dengan senyum manis, sikapnya penuh perhatian. “Maaf, Pak Bumi, biar Mawar saja yang bawakan tasnya.”

Tanpa banyak berpikir, Bumi menyerahkan tas itu padanya. Pikirannya masih sibuk dengan urusan kantor. Mawar menerima tas itu dengan gerakan lembut, lalu mengikuti langkah Bumi keluar rumah, tetap menjaga sikapnya yang penuh kelembutan.

Di halaman depan, Mbok Ijah tengah menyapu saat melihat mereka keluar. Ia menghentikan gerakannya sejenak dan menatap Bumi dengan ragu.

“Maaf, Pak Bumi, Pak Toni tadi pamit sebentar. Katanya ada urusan mendadak,” ucap Mbok Ijah.

Bumi menatap jam tangannya, lalu mendesah keras. “Aduh! Kenapa dia nggak izin dulu sama saya?” gumamnya dengan nada kesal.

Matanya kembali menatap Mbok Ijah dengan tajam. “Dia bilang mau ke mana? Apa masih lama?”

Mbok Ijah menggeleng. “Mbok juga kurang tahu, Pak. Tapi tadi katanya—”

Sebelum Mbok Ijah menyelesaikan kalimatnya, Bumi sudah menyela dengan nada lebih tegas. “Ya sudah, coba panggil Pak Dias! Suruh antar saya ke kantor!”

Mbok Ijah tampak semakin kikuk. “Aduh, maaf, Pak. Tapi Pak Dias tadi antar Non Raya ke sekolah, sekalian antar Ibu Mutia pulang. Belum balik.”

Bumi mendengus frustrasi. “Jadi, nggak ada yang bisa antar saya sekarang?”

Ia mengusap wajahnya kasar, lalu melangkah menjauh untuk menelepon Pak Toni dan Pak Dias.

Mawar yang sejak tadi diam-diam memperhatikan, mengerutkan kening. Ada sesuatu yang terasa aneh. Lalu, tanpa sadar, ia berbisik kepada Mbok Ijah, “Kenapa Pak Bumi kelihatan panik? Terus… kenapa nggak nyetir sendiri aja?”

Mbok Ijah mendadak terdiam.

Sapu di tangannya berhenti bergerak, napasnya tertahan sepersekian detik.

Mawar menatapnya bingung. “Mbok?”

Perlahan, Mbok Ijah menghela napas panjang. Ekspresinya tampak sedikit bimbang, seolah tengah memilih kata yang tepat sebelum berbicara.

“Yah, Neng Mawar… Kalau Pak Bumi bisa bawa mobil sendiri, pasti dari kemarin-kemarin nggak pusing nyari sopir buat antar Non Raya sekolah atau Ibu Mutia pulang. Dan sekarang, ya ini… harusnya nggak perlu bingung buat ke kantor.”

Mawar mengerutkan alis. Ada sesuatu dalam cara Mbok Ijah berbicara yang terasa… janggal.

“Apa? Jadi… Om Bumi nggak bisa nyetir?”

Suara Mawar terdengar setengah kaget, setengah tidak percaya.

Mbok Ijah menatapnya sekilas, lalu kembali melanjutkan menyapu. Namun, kali ini gerakannya terlihat lebih pelan, seperti seseorang yang sedang berpikir.

“Katanya sih karena trauma,” gumam Mbok Ijah, suaranya sedikit ragu. “Tapi Mbok juga kurang tahu pastinya kenapa. Cuma dengar-dengar aja…”

Mawar mengangguk pelan. Tidak ingin menggali lebih dalam. “Oh gitu…”

Ia menganggapnya sebagai cerita biasa. Trauma karena kecelakaan atau kejadian di masa lalu bukan hal yang aneh.

Namun, jika saja ia lebih peka… jika saja ia menangkap bagaimana raut wajah Mbok Ijah yang tampak sedikit canggung saat mengatakannya… mungkin, ia akan mulai bertanya lebih dalam.

Mungkin, ia akan mulai mencari tahu…

Trauma seperti apa yang membuat Bumi tidak pernah menyentuh setir lagi?

Tiba-tiba, suara deru mobil terdengar mendekat.

Pak Dias akhirnya tiba. Dari dalam, seorang bocah perempuan melompat kecil turun, wajahnya berseri-seri.

“Mbak Mawar! Mbok Ijah!” seru Raya dengan riang.

Mawar tersenyum melihat semangat bocah itu. Namun, seketika mata Raya menangkap sosok Bumi, langkah kecilnya langsung teralih mendekat.

“Papa!”

Tanpa ragu, ia langsung memeluk ayahnya erat, tubuh mungilnya bersandar penuh pada sosok pria itu.

Bumi tersenyum lembut, balas mendekap putrinya sambil mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang. “Kok pulang cepat, Sayang? Kan masih pagi?” tanyanya heran.

Raya mengangguk antusias. “Iya, Papa! Tadi semua guru rapat, jadi murid-muridnya dipulangkan lebih cepat. Makanya Raya bisa pulang sekarang!”

Bumi berjongkok, menyamakan tinggi dengan putrinya. “Oh gitu ya…” gumamnya, lalu dengan telaten merapikan helaian rambut yang menutupi wajah mungil Raya.

Mawar yang melihat pemandangan itu tetap diam, matanya menatap tanpa sadar. Ada sesuatu yang menyesak dalam dadanya—sekelebat kenangan lama muncul di benaknya.

“Om Bumi, Om Bumi, rambut Mawar nutupin wajah Mawaaar! Mawar mau ngerapiinnya susah lagi pegang es kriiiim,” rengek Mawar kecil, empat belas tahun lalu.

Bumi tersenyum, lalu berjongkok di depannya, merapikan helaian rambut Mawar dengan penuh ketelatenan—sama seperti yang sekarang ia lakukan kepada putrinya.

Bumi yang sekarang masih sama.

Masih selembut dulu.

Mawar menunduk, mencoba menepis perasaan itu.

Bumi akhirnya bangkit berdiri kembali. “Papa harus ke kantor dulu ya, Sayang.”

“Papa hati-hati!” seru Raya sambil melambaikan tangan kecilnya.

“Dadah, Papa!”

Bumi membalas lambaian itu dengan senyum penuh kasih. “Dadah, Sayang.”

Saat mobil Bumi menjauh, Raya berbalik dengan semangat. Ia berlari mendekati Mawar dan Mbok Ijah, lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong kecilnya.

“Mbak Mawar, Mbok Ijah! Tadi Raya beli kue buat kalian! Mbak-mbak yang jualan baru pertama kali dagang di depan sekolah Raya. Pas Raya cobain, rasanya enak banget! Terus Raya kepikiran, pasti Mbak Mawar dan Mbok Ijah juga bakalan suka!”

Mawar tersenyum, menerima kue itu dengan senang hati. Namun, begitu matanya menangkap bentuknya lebih dekat, sesuatu dalam dirinya mendadak bergetar.

Kue ini…

Bentuknya… aromanya… semuanya terasa begitu familiar.

Jantung Mawar tiba-tiba berdetak lebih cepat. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membawa kue itu ke mulutnya dan menggigitnya perlahan.

Dan seketika, waktu seolah berhenti.

Rasa ini…!

Mawar membelalakkan mata, napasnya tercekat. Rasa yang menyentuh lidahnya membangkitkan ribuan kenangan.

Di Pulau…

Setiap hari… Mbak Anjani selalu membuat kue ini. Dengan telaten, ia akan mengaduk adonan, memanggangnya dengan penuh kesabaran, lalu mereka berdua berjalan keliling menjualnya demi bertahan hidup.

Kue ini… adalah bagian dari hidup mereka selama di pulau.

Namun, kenapa?

Kenapa kue ini ada di sini?

Mawar menggenggam kue itu erat, matanya berkabut. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya, begitu menekan hingga membuatnya sulit bernapas.

Ia menatap Raya, suaranya sedikit bergetar. “Raya beli kue ini di mana?”

Raya masih asyik mengunyah kuenya, wajahnya begitu ceria. Tanpa sadar, ia bercerita dengan penuh semangat.

“Di depan sekolah, Mbak! Ada Mbak-mbak baik yang baru jualan di sana. Orangnya cantik, manis, dan suaranya lembut banget. Dia juga ramah! Waktu Raya beli banyak, dia malah senyum senang dan kasih gratis satu buat Raya!”

Mawar terdiam.

Kata-kata Raya masih menggantung di telinganya, tapi pikirannya melayang jauh… kembali ke masa lalu.

Dulu, setiap kali mereka berdua menjajakan kue ini, Anjani selalu menghadapi pelanggan dengan senyum lembut dan suara penuh kehangatan.

“Karena Ade sudah beli kue banyak, nih, aku gratisin satu,” ujar Anjani sambil tersenyum.

Mawar kecil langsung membelalak tak percaya. “Mbak Anjani, Mbak Anjani serius mau gratisin satu? Nanti kita rugi, lho!”

Anjani tertawa kecil, lalu mengusap kepala Mawar dengan lembut. “Mawar, kita nggak boleh takut berbagi. Apalagi mereka sudah beli banyak dari kita. Allah nggak tidur. Kebaikan sekecil apa pun pasti ada balasannya.”

Saat itu, Mawar hanya menghela napas kesal, merasa kakaknya terlalu baik dan terlalu polos. Tapi sekarang…

Tangan Mawar refleks menggenggam kue di tangannya lebih erat.

Kenapa kue ini bisa sama?

Kenapa cara penjualannya pun begitu mirip?

Dadanya bergemuruh, pikirannya kacau. Jantungnya berdetak lebih cepat, hampir membuatnya sulit bernapas. Ia menelan ludah, mencoba mengendalikan debaran yang tak kunjung reda.

Mbak Anjani?

Apakah mungkin… Mbak Anjani ada di Jakarta?

Tidak. Tidak mungkin.

Mawar buru-buru menggeleng, berusaha menepis pikirannya sendiri.

“Ah, nggak mungkin. Nggak mungkin Mbak Anjani ada di Jakarta.”

Ia mengenal kakaknya lebih dari siapa pun. Anjani adalah wanita lembut, terlalu penakut untuk menghadapi dunia luar. Tidak seperti dirinya yang berani mengambil risiko demi bertahan hidup.

Tidak mungkin Anjani berani meninggalkan pulau sendirian dan pergi ke kota sebesar ini.

Tidak mungkin.

Tapi…

Kenapa hatinya bergetar hebat seperti ini?

Kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini bukan sekadar kebetulan?

Mawar menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya.

Ia tidak boleh hanyut dalam harapan kosong.

Tapi satu hal yang pasti—ia harus mencari tahu.

Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Pertama, ia harus menebus kalung Ibu.

Setelah itu…

Ia akan meminta izin pada Lusi untuk cuti beberapa hari.

Tak masalah meskipun ia baru setengah bulan bekerja. Ia akan mencari cara agar Lusi mengizinkannya pergi.

Ia harus kembali ke pulau. Ia harus mencari Anjani.

Mereka sudah terlalu lama hidup terpisah.

Jika benar ada kemungkinan sekecil apa pun bahwa Anjani bisa diajak ke Jakarta, maka ia akan melakukannya.

Ia akan membawanya ke sini.

Mawar mengangkat wajah, menatap langit luas di atasnya.

Dalam hatinya, ia berjanji…

Ia tidak akan membiarkan dirinya dan kakaknya terpisah oleh jarak dan waktu lagi.

1
Aqilah Azzahra
semangat kak
Ila Akbar 🇮🇩: ♥️♥️♥️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!