Dimana masih ada konsep pemenang, maka orang yang dikalahkan tetap ada.
SAKA AKSARA -- dalam mengemban 'Jurus-Jurus Terlarang', penumpas bathil dan kesombongan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKSARA 1
...••••••••••...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Jadi lu anak baru pindahan yang masuk kelasnya Pak Bedi, ya?”
Saka menoleh anak lelaki kurus yang baru saja dia tanyai, lalu melirik ke dada kirinya. Name tag di atas saku seragam si anak kurus: Dadang Kurniawan. “Iya," jawabnya lantas.
“Kalo bisa gua saranin, mending lu ngajuin diri pindah ke kelas laen, ganti jurusan.” Raut muka Dadang terlalu serius untuk diasumsikan ada urat bercanda.
Saka 'tak paham, belum apa-apa sudah disarankan ganti jurusan. “Kenapa?” tanyanya ingin tahu, juga tentu saja butuh alasan.
Detik berikut, dia beringsut karena terkejut.
“Yang salah bukan jurusannya, tapi Trio Kalajengking ada di kelas itu.”
“Bikin kaget aja!" pekik Saka dalam hati. Ternyata Dadang Kurniawan mau berbisik. “Kirain mau icip pipi gua yang masih tingting ini."
Bedut!
Meski demikian terkejut, Saka tetap menyimak apa yang dikatakan Dadang. “Trio Kalajengking ituー”
“Psssttt!” Dadang langsung menghardik dengan telunjuk di depan bibirnya. “Gak usah kenceng-kenceng! Tar ketahuan kalo kita lagi ngomongin mereka."
Saka jadi penasaran. “Emangnya siapa mereka? Mukanya mirip-mirip kalajengking, punya buntut tajem, atau punya tato gambaran itu?" berondongnya, mengikuti sarannya Dadangーpakai bisikan.
“Bukanlah, Dol!" sanggah Dadang, terkikik tanggung, lalu melanjutkan penjelasannya, “Gua juga gak paham apa filosofi-nya. Boleh disebut mereka itu preman sekolah, tenaganya kuat-kuat. Salah-salah dikit, siapa aja bisa kena damprat, besoknya bonyok, gak masuk sekolah bisa sampe berhari-hari.” Matanya mengerling sana sini saat menjelaskan itu, ada kekhawatiran.
Saka tercenung diam menatap Dadang, mencerna ragam pertanyaan dalam pikirannya sendiri yang jadi rumit. “Ternyata ada yang kayak gitu juga,” tanggapnya menggumam, tapi Dadang masih mendengar. “Apa gak ada tindakan dari sekolah?”
Dadang tersenyum kecut, menggeleng cukup sekali. “Ada. Cuma ya gitu. Anak-anak kayak mereka mana ada takut-takutnya. Ditambah mereka kayak punya bekingan kuat dari pihak yang gua gak tau persis siapa itu. Guru-guru berani hukum tapi cuma separo jalan. Bentuknya tegoran kecil yang udah pasti cuma bikin mereka tambah megar ngembangin onar.”
Langkah terus tersusun di tengah obrolan berdesis.
Saka semakin tertarik, tapi sialnya, seiring dengan itu, bell masuk berbunyi nyaring.
“Ya udah, gua duluan,” kata Dadang, bersiap mengambil langkah seribu. “Lu kalo gak bisa pindah ke kelas laen, bertahan aja pake jurus batu, diem yang anteng, biar tulang-tulang lu tetep pada tempatnya.”
Langkah Saka melambat, tercenung menatap punggung Dadang yang sudah jauh. “Tulang lunak kali ampe gampang dipindah-pindah," gumamnya, dan kepergian Dadang langsung jadi penyesalan besar setelah itu. Sekarang dia celingukan menyapu pandangan ke sekitaran.
Sepi dalam sekejap.
Mendesah kasar dan garuk-garuk.
“Harusnya bukan letak kelas yang gua tanyain tadi sama si Dadang, tapi di antara semua murid yang ngabrul tadi, mana anak kelas 11-TGB yang bisa gua ikutin. Pedutlah otak sebiji."
TGB \= Teknik Gambar Bangunan.
Ingat kelas sebelas jurusan yang diambilnya ada di lantai dua sesuai petunjuk Dadang, segera memutuskan langkah ke arah tangga.
Namun baru langkahnya menginjak anak pijakan setengah jumlah, dia melihat pemandangan di bawah sana, kolong tangga.
Ada tiga orang murid, dua laki-laki dan satu orang perempuan. Cekikikan tanpa terganggu dengan dering bell tanda pelajaran akan dimulai sesaat lalu.
“Jirr, ngudut! Di lingkungan dalem sekolah? Gak ngotak amat!” Saka jadi berpikir, “Wah, gak beres ini sekolah.”
Sampai kemudian terdengar suara derap langkah kaki disusul teriakan, “HEI, KALIAN! MASUKKK!! DASAR BERANDAL-BERANDAL NAKAL!”
Itu sedikit mengempas pandangan Saka sesaat lalu tentang ketidakberesan sekolah ini. Ternyata masih ada teguran, artinya masih sehat.
Tiga anak tadi terbirit-birit keluar dari arena. Sisa guru dengan sebatang kayu sebesar gagang sapu di tangannya, wajahnya nampak berang seperti memakan satu ons cabe.
“Hei, kamu!"
Saka tersentak dari imaji, sontak menengok ke bawah lagi. Guru perempuan itu ternyata menegurnya, menatap dengan mendongak.
“Kenapa diem aja di situ?! Masuk!”
“Ah, iya, Bu! Tapiー" Saka garuk-garuk kepala.
“Tapi apa?!”
“Saya anak pindahan, kebetulan baru masuk hari ini."
“Terus?"
“Hehe ... saya gak tahu kelasnya di sebelah mana.”
Letak kelasnya memang cukup rumit, sih! Seharusnya dia cari ruang guru dulu untuk bertanya, atau cari Pak Bedi langsung.
“Memangnya kamu masuk kelas berapa?”
“11 TGB, Bu. Kelasnya Pak Bedi.”
“Oh, Pak Bedi.” Langsung guru itu menjelaskan disertai gerakan tangan menunjuk-nunjuk arah.
“Baik, makasih, Bu.”
Ternyata kelasnya ada di posisi paling pojok, Saka sudah menemukannya.
Sekarang dia menatap pintu tertutup bertuliskan: Kelas 11, Jurusan Teknik Gambar Bangunan.
Tapi sebelum masuk, anak ini mengintip ke dalam lewat jendela kaca terlebih dulu.
Dan ....
BREEENG!
Pemandangan kelas paling ajaib yang pernah ada.
“Ini sekolah atau ...?”
PUK!
Saka terperanjat, spontan menoleh ke belakang dan mendapati seraut wajah yang ... sedikit seram. “Eh, Pak.”
“Kamu Saka Aksara?”
“Iya, Pak. Saya Saka,” jawabnya sopan, lalu menggamit telapak tangan guru itu untuk kemudian dia salimi.
“Saya Pak Bedi, wali kelas kamu. Ayo masuk.”
Anggukan Saka nampak kaku, berasa melihat Mr. Takur versi Konoha. Selanjutnya mengikuti Pak Bedi masuk ke dalam kelas.
“Jir! Guru apa memedi? Horor amat!”
Saat pintu didorong, keadaan sudah kembali hening. Saka sampai berkedip-kedip karena bingung, lalu mengatur diri untuk biasa saja setelah wajah-wajah random menguasai penglihatannya.
Baru sesaat lalu dia melihat anak-anak di dalam sana ricuh saling melempar bulatan kertas bahkan ada yang mengadu tinju, entah latihan atau penindasan, tapi sekarang mereka duduk baik seperti tidak terjadi apa pun.
Pasti ada satu anak melihat kemunculan Pak Bedi melalui kaca, atau lainnya lalu melapor melalui aba-aba jika guru pria dengan kumis tebal itu akan masuk ke dalam kelas. Mudah dinilai jelas kalau Pak Bedi cukup ditakuti mereka.
Sekarang Saka sudah berdiri di depan kelas. Tatapan anak-anak yang kesemuanya lelaki itu sangat tidak bersahabat, ada tersenyum sinis, ada yang menatap penuh telisik. Hanya ada beberapa yang diam dengan sorot mata biasa.
Jadi ... ya, tidak ada satu pun anak perempuan di kelas itu. Entah karena jurusan berbau bangunan, atau para gadis 'tak minat karena hal lain.
Rasa penasaran semakin memukul Saka. Tapi dia menepis karena tujuan hanya untuk sekolah.
“Kenalkan, ini Saka Aksara, siswa pindahan dari SMK BAKTI ABADI DEPOK,” Pak Bedi memperkenalkan Saka pada semua muridnya di depan kelas. “Mulai sekarang dia resmi di kelas kita. Perlakukan baik, jangan ada yang sok bossy sampai dapet perhatian Guru BK.”
“Iya, Paaaakk.”
Setelah disahuti murid-muridnya, Pak Bedi menunjuk bangku kosong di baris ketiga dari depan untuk Saka duduki. Seorang anak lelaki berkacamata jadi teman sebangku. Selanjutnya Pak Bedi memulai kelas, kebetulan memang mata pelajaran yang dipegangnya.
Selama materi berlangsung, Saka cukup sibuk akan dua hal; Memperhatikan pelajaran, juga melirik berulang ke sekitarnya.
“Berasa ada di dunia lain gua.”
huahahahaha
sama-sama beresiko dan bermuara pada satu orang.. yordan..