Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.
"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.
Aku memandang putri sulungku tersebut.
"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.
Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERPULANGAN MA'HAD KETIGA
.Sesampainya dirumah, pikiranku begitu kalut. Aku meraih gawai, berharap mendapatkan hiburan barang sejenak. Malah aku mendapatkan hal sebaliknya. Aku menyekrol berita di gawaiku lewat google dan menemukan berita di kota Blitar, kota yang berbelahan denganku. Ada kasus bullying pada seorang siswa hingga ia meninggal dunia di lokasi sekolah. Aku bergidik ngeri melihat itu semua. Ada ketakutan menyelinap dalam hati mendengar cerita dari Zahrana tentang bullying yang ia alami saat di sekolah dan ma'had sekolah X.
Kata Ghania tentang kemiskinan yang bisa menular ke orang lain, gamis warna kuning itu seperti t** kotoran manusia, Zahrana yang didorong dari belakang oleh Ghania hingga menabrak lantai yang tinggi di depan papan tulis, disiram air saat tidur di kelas pada jam kosong oleh Hana, dan entah apalagi yang akan diceritakan pada Zahrana pada jadwal perpulangannya minggu depan. Hal itu membuatku semakin kepikiran. Pada saat ini, apakah Zahrana baik-baik saja di sekolah dan ma'had? Atau malah sebaliknya? Apa ia akan mendapatkan bullyan yang lebih parah lagi dari minggu sebelumnya? Ya Allah, pikiranku begitu tidak tenang saat ini.
Aku memikirkan keadaan Zahrana di sekolah dan ma'had X sudah cukup menyita waktuku dan membuat badanku seakan lemah tak berdaya setiap hari Saat ini aku tidak bisa memikirkan tentang kerja paruh waktu yang sempat kuceritakan pada putriku kemarin. Saat ini aku hanya memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah bullying pada pada Zahrana agar masalah itu cepat selesai dan ia bisa bersekolah dan mukim di ma'had dengan baik.
Tak terasa waktu telah bergulir dengan begitu lambat. Jadwal perpulangan ma'had sekolah X telah keluar digrup WA. Jadwal perpulangan menjadi lebih cepat dari biasanya yaitu hari Jum'at sore, setelah pelaksanaan ekstrakurikuler wajib sekolah yaitu pramuka. Aku segera melajukan motor ke lokasi untuk menjemput Zahrana.
Karena waktu perpulangan lebih awal, Zahrana memiliki lebih banyak waktu dirumah, yaitu selama dua hari tiga malam. Selama perjalanan pulang hingga saat ini, di rumah, ia tetap saja banyak menghabiskan waktu di kamar. Wajahnya malah terlihat tampak begitu pucat dari minggu lalu. Ia juga terlihat begitu lelah sekali sehingga aku menyuruhnya untuk beristirahat lebih lama. Aku akan bertanya padanya saat kondisi badan sudah terlihat agak sehat.
Pada hari minggu malam, aku melihat Zahrana tetap berbaring di tempat tidur dan tidak berkemas seperti biasanya. Aku menghampirinya di kamar depan, kamar miliknya.
"Mbak, mengapa kamu tidak berkemas?" tanyaku perlahan.
Zahrana menanggapi dengan gelengan kepala.
"Apa mbak besok tidak kembali ke ma'had?" kutanya lagi putri sulung ku tersebut.
Mendengar pertanyaanku, Zahrana malah terlihat ingin menangis.
"Bu ... besok ... aku boleh tidak masuk sekolah? Badanku terasa sakit," jelas Zahrana.
Aku kembali bertanya.
"Apa di sekolah dan ma'had terjadi sesuatu?"
Wajah Zahrana memucat.
"Bu ... Aku ... Takut. Aku ... Di... Cekik ... oleh Ghania," ucap Zahrana terbatas.
Aku terduduk lemas mendengar pengakuan kali ini.
"Astaghfirullah. Ujian apa lagi ini? Seperti dugaanku. Zahrana tidak hanya dibully saat di sekolah. Tapi juga di ma'had. Bagaimana ia bisa krasan bila ternyata mendapat bullying selama dua puluh empat jam? Saat di sekolah X dan lokasi ma'had," batinku.
"Bicaralah Zahrana. Tidak usah ditutupi lagi. Ibu ingin tahu semuanya. Dari mulutmu sendiri. Bukan dari perkataan orang lain," tegasku.
Zahrana terdiam sesaat sebelum memulai perkataannya.
"Ghania ... mengatakan, karena ibu menitipkanku padanya, sehingga aku merepotkannya. Saat di ma'had, Arifah menendangku karena ingin menjajal silat yang kumiliki. Tania juga membullyku saat ia tahu aku bicara pada miss Lili ingin pindah kamar. Katanya, karena aku, miss Lili memarahi semua anak sekamar. Shafira menjemur pakaian dalamku di pintu kamar, dan mengolok-olok pakaian dalamku yang motifnya seperti milik anak balita, mereka mengunci kamar padahal aku masih diluar kamar. Saat itu sedang menggambar dengan mbak Nabila di gazebo dan..., " Ucap Zahrana terhenti.
"Ya Allah, Ghania. Ternyata menemani Zahrana begitu membebanimu. Sebagai ibu Zahrana, aku minta maaf yang sebesar-besarnya padamu. Andai aku tahu akan terjadi seperti ini, aku tak akan pernah memintamu untuk menemani Zahrana," batinku.
"Apa nduk?"
"Tania akan mengatakan pada ibu kalau suka sama kakak kelas. Namanya ... Wahyu," ucap Zahrana.
Aku memandangnya dengan seksama.
"Kenapa takut? Toh hanya bilang sekedar suka. Bukan sampai pacaran. Wajar bukan bila perempuan suka dengan lelaki di saat umurmu yang sudah menginjak remaja seperti ini? Aku juga tak akan marah bila Tania wadul (bilang) sama ibu," jelasku.
Aku segera mengambil kertas hvs dan bolpoin yang terdapat di dalam lemari. Aku mencatat apapun yang Zahrana ucapkan, mumpung ia mau mengaku dan mengatakan banyak hal padaku. Aku mencatat nama pembully, bullyan, apa yang dilakukan, kapan terjadi dan lokasi bullying tersebut. Saat menuliskan bentuk bullyan, aku hampir menangis saat menuliskan itu di kertas. Tak tega rasanya membayangkan Zahrana mendapatkan perlakuan seperti ini dari teman, baik teman sekelas maupun teman di asrama itu.
Aku melihat wajah Zahrana masih pucat. Aku merasa ia masih menutupi satu bentuk bullying yang membuatnya begitu begitu ketakutan. Tapi apakah itu? Entahlah. Aku hanya mampu menerka saja saat ini.
Aku membiarkan Zahrana berbaring di kamarnya agar ia merasa tenang setelah menceritakan permasalahan tentang bullying yang telah dialaminya, baik di saat di sekolah maupun di ma'had padaku. Aku meninggalkan putri sulungku sejenak untuk membereskan tempat tidur Mumtaz dan Arsenio yang berada di ruang tengah. Setelah selesai, aku ke kamar mandi, membasuh wajahku berulang kali. Aku berusaha untuk menutup mataku yang merembes air mata agar aku tidak teringat pada pengakuan Zahrana.
Setelah selesai, aku kembali kepada ke kamar Zahrana untuk menanyakan apakah ia berangkat atau tidak ke asrama. Sebenarnya, aku ingin ia tetap di rumah untuk sementara waktu, barang dua atau tiga hari untuk menenangkan kondisi pasca bullying yang telah dialaminya. Tapi aku tak mau memaksakannya menuruti keinginanku tersebut dengan menanyakan apa keinginan Zahrana saat ini.
"Mbak, kira-kira besok kembali ke ma'had atau tidak?" Tanyaku untuk meyakinkan pada Zahrana.
Zahrana menggelengkan kepala tanda tidak.
"Maaf Bu. Aku... sepertinya... Aku ... belum... siap untuk kembali ke ma'had," jawab Zahrana.
"Bila kamu belum siap, tidak apa apa. Besok aku akan Wa ke Bu Nirmala dan pada Miss Diana bila kamu saat ini sedang sakit di rumah dan belum bisa masuk sekolah dan belum bisa masuk ke ma'had lagi," ucapku menenangkannya.
Zahrana tampak menganggukkan kepala. Aku tahu, ia belum siap bertemu dengan mereka, yaitu para pembully sekolah dan ma'had X.