Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam yang mengintai
Di sebuah ruangan kantor, ada dua orang lelaki berbeda usia. Yang satu adalah remaja berusia sekitar 19 tahun yang sedang mengerjakan pekerjaan yang tidak cocok dengan usianya yang terlalu muda. Tetapi, dia mempunyai tubuh tinggi dan dewasa, dengan baju formal yaitu jas hitam, rambut rapi, lekukan wajah tampan nyaris sempurna, hidung mancung, netra hitam tajam dan dingin, alis tebal, serta bibir tipis yang terkatup rapat.
Pria lainnya adalah seorang tangan kanannya yang berusia awal tiga puluhan yang bertubuh kekar.
"Gimana?" tanya pria muda itu. Netra hitamnya menatap kertas map berwarna cream di tangan bawahannya.
"Sudah dapat, Tuan Muda," jawabnya hormat.
Pria dewasa itu membuka map nya yang terdapat satu foto seorang gadis cantik bersurai coklat. Benda lainnya adalah sebuah kertas yang terdapat informasi gadis tersebut di dalamnya.
"Fotonya?" tanya pria muda itu mengangkat alis.
"Iya, Tuan."
"Sini."
Dengan sopan dia memberikan foto gadis itu kepada tuan mudanya.
Memandang intens wajah tersenyum gadis di foto, pria muda itu berkata. "Bacakan semuanya."
Dia mengangguk. "Alena Valencia Alvarendra, anak kedua dan satu-satunya putri keluarga Alvarendra, keluarga yang menempati posisi ke empat terkaya. Ayahnya adalah CEO dari perusahaan Alva bernama Devian Alveno Alvarendra dan ibunya Berliana Velicia. Hubungan dengan pria di taman itu merupakan adik-kakak, dia bernama Ravael Revano Alvarendra yang lebih tua satu tahun dengannya."
Kerutan di wajah lelaki muda itu tanpa sadar mengendur.
Bawahannya melanjutkan. "Umur Nona Alena menginjak 16 tahun. Dia sekolah di SMA Lentera Bangsa, duduk di kelas X. Nona Alena juga pernah ngalamin amnesia total saat dia ngejalani masa orientasi sekolah karena cedera jatuh dari tangga. Penyebabnya tertutup rapat. "
"Itu saja?"
Pria dewasa itu menatap tuan mudanya ragu. "Apa masalah keluarganya perlu disebutkan?"
Dia mengangguk.
"Keluarga Alvarendra memiliki musuh yang saat ini menempati posisi pertama terkaya. Tujuan mereka berniat mencelakai putri kesayangan keluarga Alvarendra."
Lelaki remaja itu terdiam dengan pikiran yang rumit. Setelah memikirkan keputusannya, dia menatap bawahannya tanpa mengubah ekspresinya. "Ajak kerjasama perusahaan Alva. Lalu, awasi ....”
"... keluarga Ramatha. Dan ...."
"... lindungi gadisku."
***
"Mamah! Alena mau ke supermarket dulu sebentar sama Pak Adi!" teriak Alena yang sudah bersiap dengan celana jeans dan blazer abu-abu, rambutnya terurai, dengan tas hitam yang disampirkan di bahu.
Berliana datang menghampiri putrinya dengan wajah khawatir. "Beneran? Masa sendirian?"
Alena menghela nafas. Kenapa mamanya protektif sekali?
"Iya, Mah ... orang deket, kok." Dengan dagunya, ia menunjuk entah ke mana.
"Kakak kamu temenin, ya?"
"Nggak, Mah! Aku pengen sendiri ... yah, yah?" Alena mengeluarkan puppy eyesnya membuat Berliana kalah dan mengangguk terpaksa.
"Hehe, makasih ...." Alena memeluk manja dan mencium kedua pipi Berliana.
Berliana hanya pasrah dengan tingkah manis putrinya.
Hari ini adalah hari minggu, namun Alena lebih suka jalan-jalan di sore hari daripada pagi atau siang. Kerja kelompoknya sudah terselesaikan kemarin sabtu. Karena malamnya adalah di mana Audrey menangis, dan berbaikan dengan kedua orang tuanya.
Alena sangat senang Audrey sudah bisa tersenyum kembali. Malam itu adalah malam paling indah berkesan. Setelah melalui suasana melankolis, mereka menonton, memasak, bakar-bakar, makan-makan, berfoto-foto, menghabiskan waktu bersama dan tidak tidur sepanjang malam. Tidak lupa dengan kedua orang tua Audrey yang ikut, di bantu dengan para pembantu rumah itu.
Malam itu, kebahagiaan Audrey kembali. Alena tersenyum mengingat itu. Lalu, ia berjalan keluar menuju mobil putih yang disopiri pak Adi. Alena baru melihat kembali pak Adi setelah hampir dua minggu.
Kata mamahnya, pak Adi pulang kampung, Alena hanya percaya saja. Dia tidak tahu pak Adi sebelumnya mengalami kecelakaan. Mobil yang akan di sopiri pak Adi sekarang adalah mobil baru dengan model dan merk yang sama dengan mobil yang rusak karena kecelakaan.
"Pak Adi! Apa kabar?" Alena bertanya saat pak Adi membukakan pintu mobil untuknya.
"Baik banget, Non," jawabnya tersenyum sopan.
Pak Adi menutup pintu mobil setelah Alena masuk dan duduk di belakang.
"Gimana pulang kampungnya?" Alena bertanya kembali saat Pak Adi sudah duduk.
Pak Adi tersenyum canggung. "B-aik, Non ... kabar keluarga saya juga baik-baik saja," jawabnya setengah benar.
Karena pak Adi tidak pulang kampung, tapi dia yakin bahwa keluarganya baik-baik saja, jadi pak Adi tidak sepenuhnya bohong.
Alena mengangguk santai. "Kalo gitu, jalan Pak ke supermarket depan!"
"Siap, Non!"
Mobil putih itu mulai berjalan. Alena melihat arlojinya yang menunjukan pukul 16.45.
Sebenarnya alasan saja dia ingin ke supermarket, 80% dia ingin berjalan-jalan, karena mamanya tidak akan sembarang mengizinkannya keluar kecuali bersama kakaknya atau teman-temannya. Baru kali ini mamahnya mengizinkan, jadi ia punya kesempatan untuk kemanapun.
Setelah beberapa menit, Alena sampai di depan supermarket. Dia akan berbelanja cemilan terlebih dahulu untuk menjadi bukti saat pulang. Ia memasuki supermarket megah itu dan mengambil makanan apapun yang terlihat menarik. Setelah 15 menit, gadis itu keluar dengan sekantong kresek besar.
Pak Adi membantu memasukkannya ke dalam mobil. Tadinya akan dimasukkan ke bagasi, namun Alena melarangnya. Dia akan mengemilnya di dalam mobil.
"Pak, jangan dulu pulangnya, yah? Jalan-jalan dulu. Bentar ... aja."
Alena membujuk pak Adi yang di balas anggukan pasrah. Asal tidak lewat jam 18.00 sesuai instruksi Nyonya, pikirnya
Tanpa diketahui Alena, mobil mereka sedang dibuntuti dua mobil berbeda warna. Yang satu abu-abu dan yang satu hitam. Pak Adi menyadarinya, namun dia harus tetap tenang agar nonanya tidak panik. Mereka tidak mungkin berbuat apapun di jalan ramai, jadi pak Adi masih sedikit tenang.
Alena dengan santai mengemil sambil melihat-lihat jalanan lewat jendela mobilnya yang setengah terbuka.
Lalu, di suatu sisi jalan, Alena melihat banyak orang yang terlihat seperti pengemis dengan baju lusuh. Lalu, Alena melihat makanan yang baru saja dibeli. Mungkin aku kasih setengahnya, gak apa-apa, kan?
Alena mengangguk atas pikirannya. Lalu menatap sopirnya. "Pak Adi! Berhenti sebentar di sana.”
Pak Adi yang diperintahkan sedikit panik. Dalam keadaan dibuntuti begini, mana bisa dia berhenti? Jadi dia berpura-pura tidak mendengar.
"Pak Adi? Cepet! Berhenti dulu. Bentar ... aja." Alena membujuk. Dia mengira pak Adi takut ancaman mamanya.
Alena sudah tahu bagaimana mamanya yang protektif itu pasti mengatakan sesuatu ke pak Adi agar dia selalu aman.
Akhirnya, mendengar kata 'sebentar', pak Adi langsung menurutinya. Alena turun dengan senyum lebar sambil membawa kantong kresek besar. Ia melihat lumayan banyak orang yang duduk lesehan dengan di karpet kardus. Mereka memegang perut, terlihat kelaparan. Tidak sedikit anak-anak juga.
"Permisi."
Suara Alena membuat orang-orang di sana menoleh. Mata mereka berbinar melihat sesuatu di kantong kreseknya.
Alena tersenyum malu. "Em ini ... aku mau kasih belanjaan aku yang kelebihan. Apa kalian mau?" tawar Alena beralasan seraya memperlihatkan kantungnya.
Mata mereka semakin cerah dengan keinginan dan rasa lapar yang tidak di sembunyikan. "MAU!!"
Alena tersenyum lembut dan mulai membagikannya.
Wajah tersenyum mereka berhasil menular ke Alena.
"Makasih, ya, Nak."
"Makasih ...."
"Makasih, Kakak cantik!"
Serangan ucapan 'terima kasih' bercampur rasa syukur menghantam telinga Alena.
"Iya, sama-sama. Lain kali, kalo aku ada waktu, aku bakal ke sini lagi."
Ucapan Alena membuat mereka senang bukan main, sampai bersorak. Alena hanya terkekeh.
"Kalo gitu, aku permisi dulu, ya ...," pamit Alena seraya melambaikan tangannya.
Mereka balas melambai dengan antusias dan semangat.
Semua perbuatannya, di awasi berbagai orang. Orang yang kebetulan lewat melihat itu, mereka terharu. Penjaga dari ayahnya, mereka tersenyum bangga. Pria muda yang berada di mobil hitam, melihat perbuatan Alena, ia tersenyum tipis. Seorang temannya yang kebetulan melihat Alena, dia tersenyum langka.
Dan ... seorang wanita di dalam mobil abu-abu. Dia terlihat tersenyum muak dan berdecak jijik. Lalu, dia menyalakan mobil mulai melakukan aksinya.
Saat Alena berjalan menuju mobilnya, wanita itu menerobos trotoar dengan kecepatan tinggi, membuat orang-orang yang melihatnya lengah dan terperangah.
Hanya beberapa meter lagi, Alena hanya menatap kosong mobil itu, merasa Deja vu.
"ALENA!!"
"NONA!!"
"NONA!!"
"ALENA!!"
Hap!
Seseorang berhasil memeluknya