NovelToon NovelToon
AKU BUKAN USTADZAH

AKU BUKAN USTADZAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: ummu nafizah

"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31: Bayang Masa Lalu

Malam itu, langit Batupute dihiasi bulan separuh wajah, seperti rahasia yang belum sepenuhnya tersingkap. Di dalam rumah kayu sederhana di tepian pantai Lasonrai, Aisyah duduk memandangi suaminya yang terdiam lama di teras. Sejak surat tanpa nama itu datang, Khaerul berubah. Tak lagi seceria biasanya. Diamnya bukan sekadar letih, tapi lebih dalam... seolah tenggelam dalam pusaran waktu.

"Abang," panggil Aisyah lembut. "Apa yang Abang pikirkan?"

Khaerul menoleh, senyum tipis menghiasi wajahnya. Tapi mata itu menyimpan duka. "Aisyah, bolehkah malam ini aku ceritakan sesuatu yang tak pernah kuceritakan kepada siapa pun, bahkan padamu?"

Aisyah menggenggam tangannya. "Tentu. Aku istrimu. Segala luka dan kisahmu adalah bagian dari hidupku."

Lalu dimulailah kisah itu.

---

Dulu, saat Khaerul masih mahasiswa di Makassar, ia bukanlah pemuda yang religius. Ia suka menyendiri, membaca buku-buku sastra dan filsafat, dan hanya sesekali salat berjamaah. Dunia baginya adalah medan pencarian yang tak pernah selesai. Hingga suatu hari, di sebuah kelas tafsir yang ia ikuti karena tak sengaja—duduklah seorang gadis bernama Ainun.

Ainun. Namanya seperti doa. Matanya teduh, suaranya lembut, dan hafalannya luar biasa. Gadis itu menjadi cahaya yang mengusik kelamnya hati Khaerul. Ia mendekat bukan dengan rayuan, tapi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang makna ayat, tentang tafsir Ibnu Katsir, dan tentang cinta yang seharusnya menuntun ke surga.

Mereka pernah dekat, sangat dekat. Tapi Ainun adalah bunga di taman yang dijaga ketat. Ayahnya, seorang ulama besar, tak membiarkan siapa pun mendekatinya tanpa izin. Dan ketika keluarga tahu Khaerul adalah anak kampung tanpa silsilah keilmuan kuat, ia ditolak mentah-mentah.

"Kau hanya lelaki dengan mimpi besar tapi akar kecil," kata ayah Ainun kala itu. Dan itu menghancurkan hati Khaerul.

Ainun akhirnya dijodohkan dengan lelaki lain. Sejak saat itu, Khaerul memilih pergi, mengembara ke pelosok, hingga akhirnya bertemu dengan Aisyah dalam perjuangan dakwah yang sama. Cinta tumbuh karena iman dan misi.

---

Aisyah terdiam lama. Ada rasa pedih, bukan karena cemburu, tapi karena perih membayangkan luka suaminya yang tak pernah sembuh. "Abang masih mencintainya?"

"Aku mencintaimu, Aisyah. Cinta yang kupilih bukan karena wajah atau masa lalu. Tapi karena engkau berjalan denganku di jalan ini, dengan air mata dan doa yang sama. Ainun adalah masa lalu. Engkau adalah keabadian."

Air mata Aisyah jatuh, bukan karena sakit, tapi karena haru.

Namun surat tanpa nama itu—yang menyebut nama Ainun—bukanlah kebetulan. Di ujung surat tertulis: "Jika kau pikir masa lalu telah mati, tunggulah aku datang."

Aisyah menatap Khaerul. "Abang, kita belum selesai dengan masa lalu. Tapi kita juga tidak sendiri."

Dari kejauhan, angin pantai meniup lembaran Al-Qur'an yang terbuka di halaman rumah. Terbuka pada surat Yusuf, ayat tentang sabar dan penantian.

Hari itu langit di Batupute berawan muram, seolah menyimpan rindu yang tak terucap. Khaerul berdiri di halaman pondok tahfidz, matanya memandangi cakrawala, tetapi pikirannya melayang jauh ke masa silam. Suara tawa anak-anak mengaji tak mampu meredam kegelisahan dalam dadanya.

Malam sebelumnya, surat tanpa nama itu kembali muncul. Kali ini dengan tulisan yang lebih jelas: "Tak semua masa lalu bisa kau kubur. Kadang ia datang membawa wajah yang kau cintai, tapi tak bisa kau miliki lagi."

Dan benar saja—hari itu, seseorang datang ke pondok tahfidz Ummu Nafizah. Langkahnya ringan, tapi membawa beban berat. Wajahnya lembut, mata bening namun menyimpan kesedihan yang tertahan. Aisyah yang sedang membagikan buku Iqra' pada santri-santri kecil, membeku saat melihat perempuan itu berdiri di depan gerbang.

"Assalamu'alaikum," sapanya. Suaranya khas, lirih namun menusuk.

Khaerul keluar dari dalam pondok, seketika langkahnya terhenti. Dunia seakan berhenti berputar. "Ainun?"

"Khaerul... aku hanya ingin bicara. Lima menit saja."

Aisyah menatap keduanya. Sejenak waktu seolah beku, lalu ia melangkah mundur pelan, memberi ruang—walau hatinya tak tenang.

Di bawah pohon rindang, Ainun duduk bersama Khaerul. Mata mereka tak saling menatap, tapi jiwa mereka terikat oleh luka lama.

"Aku dengar kabar tentang pondok ini dari teman di Makassar," Ainun memulai, tangannya menggenggam tas kecil dengan gemetar. "Aku tidak datang untuk mengusik. Aku hanya ingin mengembalikan sesuatu."

Ia mengeluarkan buku catatan lusuh berwarna coklat tua—buku yang dulu dipakai Khaerul menulis jurnal dan tafsir ayat-ayat ketika masih kuliah.

"Aku menyimpannya. Kupikir... suatu hari kamu akan membutuhkannya kembali. Tapi yang membuatku datang ke sini bukan buku ini..."

Khaerul menatapnya, wajahnya tertekuk getir.

"Kamu menghilang saat aku butuh kepastian, Ainun. Kamu pergi tanpa sepatah kata."

Ainun tersenyum pahit. "Aku pergi karena ayahku memaksaku menikah dengan sepupuku. Aku tidak punya kekuatan untuk melawan waktu itu. Setelah ia meninggal tiga tahun lalu, aku tinggal sendiri... dan aku hanya ingin menutup luka ini dengan pertemuan yang tenang."

Mereka diam. Angin laut Lasonrai berembus menyapu wajah mereka, membawa aroma asin yang menggigit.

"Aisyah adalah perempuan kuat," Ainun berkata pelan. "Aku tahu dia jauh lebih baik dariku. Tapi... jangan lupa, kadang luka lama muncul bukan untuk menyakiti, tapi untuk memperingatkan bahwa kita manusia, yang lemah."

Sore itu, Ainun berpamitan. Namun sebelum pergi, ia sempat menatap Aisyah dan tersenyum. "Rawat dia baik-baik, ya, Ustadzah. Dia menyimpan terlalu banyak luka dalam senyumnya."

Setelah Ainun pergi, Aisyah dan Khaerul duduk berdua di ruang tamu pondok. Hening.

"Aku tidak tahu semua tentangmu," ucap Aisyah akhirnya. "Tapi aku tahu, kita tidak hidup untuk menahan masa lalu, melainkan menuntun masa depan."

Khaerul meraih tangan istrinya. "Terima kasih sudah tetap tinggal, bahkan ketika kenyataan tak semanis harapan."

Aisyah menatap mata suaminya. "Aku memilihmu bukan karena masa lalumu, tapi karena caramu menghadapi masa depan."

Dan malam itu, di pondok tahfidz yang dindingnya masih dari kayu tua, dua jiwa kembali saling menguatkan. Tapi satu hal yang tak mereka tahu: buku catatan yang dikembalikan Ainun menyimpan lebih dari sekadar tulisan. Di balik halaman-halamannya, ada simbol-simbol lama dan satu kalimat yang tercoret samar:

"Parakang tidak akan mati, hanya berpindah wujud dan pewarisnya."

1
Armin Arlert
karya ini benar-benar bikin saya terhibur. Terima kasih thor banyak, keep up the good work!
nafizah: mohon dukungannya yaa
total 1 replies
Aono Morimiya
Aku jadi pengen kesana lagi karena settingan tempatnya tergambar dengan sangat baik.
Nana Mina 26
Membekas di hati
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!