Danendra dan Alena sudah hampir lima tahun berumah tangga, akan tetapi sampai detik ini pasangan tersebut belum juga dikaruniai keturunan. Awalnya mereka mengira memang belum diberi kesempatan namun saat memutuskan memeriksa kesuburan masing-masing, hasil test menyatakan bahwa sang istri tidak memiliki rahim, dia mengalami kelainan genetik.
Putus asa, Alena mengambil langkah yang salah, dia menyarankan agar suaminya melakukan program tanam benih (Inseminasi buatan). Siapa sangka inilah awal kehancuran rumah tangga tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunflowerDream, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku takut, suamiku berubah
Hari yang melelahkan, Dokter Danendra hari ini sangat kehabisan tenaga. Meski bukan pertama kali tapi tetap saja pekerjaan sebagai dokter bedah tidak mengenal waktu. Hari ini dokter tersebut baru saja pulang setelah melakukan operasi transplantasi organ ganda yang memakan waktu hampir 15 jam.
Tidak ada yang dibutuhkannya selain beristrirahat, tubuhnya sudah mati rasa harus segera di pupuk ulang agar bisa kembali seperti sedia kala. Dengan wajah yang pucat dokter itu berjalan melangkah masuk ke kamarnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, si kembar dan istrinya terlihat terlelap tenang, pria itu setelah mengganti pakaian dan mencuci kaki ia segera menghampiri kedua bayinya, ia kecup secara bergantian bayi-bayi itu, “maafin ayah ya nak, ayah baru pulang!” gumamnya pelan,
Danen menghidupkan ponselnya yang lain, ponsel yang hanya ia gunakan jika ingin menghubungi Mei. Sudah dua hari ini pria itu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak bisa menghubungi wanitanya di seberang sana yang selalu menunggu dia datang.
Sesuai dugaan ada banyak sekali notif pesan dari Mei, mulai dari notif menanyakan kabar sampai isi pesan yang menunjukkan ancaman. Mata pria itu melotot saat membuka buble chat yang diterimanya.
“Astaga!”
“Aku lupa.”
Danen panik setengah mati dua hari yang lalu dia memang berjanji untuk pulang, dan mengunjungi Mei. Tapi karena terlalu sibuk dengan pekerjaan ia melupakan janji itu, padahal dia sudah hampir satu bulan tidak pulang.
Di luar nalar Mei mengancam dengan adegan seolah-olah ingin bunuh diri. Wanita itu mengirim foto dirinya yang tengah menyayat pergelangan tangannya sendiri.
“Mas jika kamu masih tidak pulang hari ini maka kamu akan menemui mayatku!” sebuah pesan yang mengikuti foto-foto gila yang dikirim oleh Mei.
Danen mengacak rambutnya frustasi, tidak habis pikir kenapa Mei bisa senekad itu. Danen mengurungkan niatnya untuk beristrirahat ia memutuskan untuk kembali ke mobilnya dan segera membanting setir.
Pesan yang Mei kirimkan sekitar satu jam yang lalu, dia harus cepat jika tidak wanita itu semakin menggila. Karena jalanan memang sepi Danen dengan leluasa memacu dengan kecepatan maksimal, dalam pikiran yang berkecamuk pria itu menyetir ugal-ugalan.
Jika hari biasa dia bisa membutuhkan waktu 3 sampai 4 jam, tapi malam ini dalam waktu 1 jam 30 menit Danen sampai di rumah mewah ini. Ia segera berlari kencang menyelusuri setiap sudut rumah namun tidak menemukan wanita itu.
“Mei?”
“MEISYA AKU PULANG!” Teriaknya kalut, karena tidak juga ada tanda-tanda kehidupan di rumah ini.
Danen berlari ke arah taman belakang hanya itu satu-satunya tempat yang belum ia datangi. Dalam gemerlap cahaya bulan samar-samar Danen melihat sebuah bayangan seseorang yang tergeletak tidak jauh dari kolam renang.
Pria itu segera menghampiri bayangan itu. Napasnya seketika tercekik tertahan di tenggorokkan saat melihat keadaan wanita yang di carinya.
“Sayang?”
“Sayang ini mas, mas pulang!” Dalam kegelapan Danen bisa melihat ada rembesan darah yang tidak berhenti mengalir di lengan wanita itu. Ia tidak tahu pasti darah itu mengalir dari mana karena tidak terlihat keluar dari tubuh Meisya.
Darah dengan bau amis yang teramat mengganggu penciuman, ini seperti bukan bau darah manusia, Danen hapal betul bau darah manusia karena pekerjaannya yang selalu membedah manusia.
Dengan hati-hati Danen meletakkan tubuh istrinya yang sudah tidak sadarkan diri, karena lampu kamar cukup terang ia bisa melihat jelas lengan wanita itu. Tidak ada bekas sayatan atau luka apa pun, padahal di foto tadi ia melihat sendiri goresan luka tersebut.
Danen bergerak mencari kotak P3K lalu mencoba mengobati bagian tubuh Mei yang mungkin terluka mengingat darah yang mengalir tadi cukup banyak. Tapi nihil sudah ia cek tapi seluruh tubuh wanita itu mulus tanpa goresan.
Keadaan semakin membuat dirinya tidak nyaman, lampu tiba-tiba padam dan Danen kembali mencium bau darah yang sama dengan bau darah yang ia rasakan tadi. Karena terlalu lelah pria itu tidak memikirkan bau amis ini, dia berjalan keluar dengan penerangan dari ponselnya Danen sedang menuju bagian saklar untuk menghidupkan listrik yang tiba-tiba padam.
Perhatiannya teralihkan oleh sebuah bau amis yang semakin kuat, dia mengikuti arah aroma itu dan berhenti tepat di sebuah pintu yang berada di bawah tangga. Dengan ragu pria itu mencoba meraih knop pintu yang nampak usang itu.
Krekk….
Pintu berhasil terbuka, dan pemandangan selanjutnya membuat seluruh tubuh Danendra menegang. Saat ini tubuh pria itu berkeringat dingin dengan mata yang terbuka lebar, ia ingin berteriak dan meminta tolong tapi semuanya sia-sia tubuhnya seakan membeku dan suaranya menghilang.
Danen melihat di dalam ruangan tersebut, ada banyak sekali kepala kambing hitam yang masih mengalirkan darah segar, hanya kepalanya saja tidak dengan bagian tubuhnya. Kepala-kepala hitam itu seakan menatapnya tajam lalu secepat kilat bersiap untuk menyerang dirinya.
Pria itu sangat ingin berteriak, tapi tertahan.
“Aakhhhㅡ”
Teriakkan itu teredam dengan suara tangisan bayi yang nyaring saling bersahutan. Danen menoleh ke samping ia melihat Alena terbangun dan langsung berlari menghampiri kedua bayi mereka.
Danen berusaha mencerna apa saja yang baru dialaminya, dengan bola mata yang cemas ia melirik sekitarnya. Tidak ada kepala kambing, tidak ada bau amis darah, dan saat ini dia berada di rumah bersama Alena.
Pria itu menarik napas lega, syukurlah semua hanya mimpi buruk. Sial sekali rasa takutnya begitu nyata menciptakan wajah pucat pasi menghinggapi wajah pria itu. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan jam tiga malam, pantas saja rasa kantuknya belum hilang ternyata dia baru memejamkan mata beberapa jam.
“Yang ambilin popok!” Suara Alena menggema, “ayo cepat ini popok Daniel udah penuh, dia udah gak nyaman.”
Tidak bergeming Danen tetap diam di posisinya.
“Ih kamu denger gak sih Danendra, tolong ambilin popok!”
Dengan berat hati pria itu membuka laci di sampingnya dan mengambil sebuah benda bewarna putih dengan busa sebagai bahan utamanya.
Bugh!
Lalu dengan kasar Danen melempari popok tersebut, lemparannya tepat mengenai wajah Alena, “kalo bisa ambil sendiri ambil sendiri, jangan ngerepotin.” Danen mencerca kesal, wajahnya terlihat suntuk sekali.
Tanpa memperdulikan perasaan Alena, ia kembali ke kasur dan membaringkan tubuhnya tidak lama pria itu kembali memejamkan mata.
Suara dengkuran menghiasi kamar ini, sosok laki-laki dewasa di kamar kecil ini mendengkur keras seakan menandakan bahwa tidurnya lelap sekali. Suara dengkuran Danen menggema diiringi dengan suara tangisan bayinya dan di antara rengekkan sang bayi ada juga suara isakkan samar yang terdengar.
Alena wanita itu sambil berusaha menyusui dan menidurkan bayi mereka ia tanpa sadar terisak. Perlakuan Danen tadi membuat hatinya tergores, dia hanya meminta tolong suaminya untuk mengambil popok karena kebetulan dia juga bangun tapi kenapa reaksi pria itu berlebihan.
Dia marah dengan melempar barang. Padahal sebelumnya tidak begitu biasanya Danen dengan senang hati melakukan semua ini, bahkan menawarkan bantuan tapi mengapa malam ini dia berbeda apa yang salah, Alena tidak dapat memahami.
Alena berusaha sendirian mengurusi kedua bayi kembarnya yang rewel, ia mengganti popok, memberi susu, dan juga menimang-nimang keranjang bayi itu tapi kenapa tangisan kedua anaknya juga tidak mereda, malah semakin kencang.
Danen terganggu, kepalanya pusing sekali dia hanya ingin beristrirahat dengan tenang tapi kenapa suara berisik itu tidak mau berhenti.
“ALENA!”
“BISA GAK SIH NGURUS BAYI?”
Alena tersentak, saat ia sibuk menimang bayinya tiba-tiba suara bentakkan Danen muncul. Pria itu terlihat marah wajahnya tidak ada guratan ketenangan.
“JANGAN MENTANG-MENTANG MEREKA BUKAN ANAKMU KAU MAIN-MAIN YA ALENA!”
Prang….
Suara pecahan gelas kaca menyusul di tengah suara tinggi milik Danendra, ia semakin kehilangan kendali, sosok yang sedang berkabut dengan amarahnya membanting semua barang seperti kesetanan.
Alena sudah meringkuk, sambil menggendong kedua bayinya, ia melindungi tubuh mungil itu dari pecahan-pecahan barang yang mungkin bisa melukai mereka. Biasanya jika melihat suaminya mengamuk tubuh Alena akan bergetar ketakutan, ia akan mengalami kesulitan bernapas dengan keringat dingin yang membanjiri seluruh tubuh yang tidak berdaya.
Tapi malam ini semua serangan panik yang biasa dialaminya tidak terasa. Rasa ingin melindungi kedua bayi ini lebih besar dari rasa paniknya sendiri, maka dengan sisa tenaga wanita itu terus memeluk bayinya menyembunyikannya dari Danen yang terus menggila.
“Dasar murahan, istri tidak tau diuntung.”
“Mati saja kau Alena, kau menyusahkan sekali!”
Danen bersiap ingin menyeret tubuh bergetar Alena, ia ingin membenturkan wajah itu ke tembok, beruntung pintu kamarnya berhasil terbuka. Ada dua orang wanita paruh baya yang selama ini bertugas menjadi asisten rumah tangga Alena, mereka masuk tergesa berusaha melindungi tubuh sang majikan dari suami gilanya.
Saat mendengar keributan Bu Hanum dengan cepat mencari kunci cadangan, ia menerobos semua rasa sopan santunnya. Keadaan di dalam sangat mengkhawatirkan ada suara bantingan barang dan suara tangisan bayi yang memilukan.
Aksi gila Danendra terhenti, mata hitamnya yang semula bewarna merah bergulir cepat kembali ke warna hitam dengan sorotan yang lebih tenang.
“Udah pak… “
“Kasian ibu… “
Bu Hanum menangis merangkul tubuh majikan perempuannya sedangkan rekan kerjanya dengan cepat mengambil bayi yang berada dalam gendongan lemah Alena.
“Pak udah, jangan sakitin ibu.”
Danen terdiam, dia merasakan kepalanya sakit sekali karena terus menerima bisikkan aneh yang tidak dapat ia kendalikan. Dadanya sakit melihat istri dan buah hatinya berada dalam kondisi mengenaskan karena ulah tangannya sendiri.
Tanpa mengucapkan apa pun pria itu pergi begitu saja meninggalkan Alena yang terisak dalam pelukan Bu Hanum.
“Pergi!”
“Pergi yang jauh pak!” Bu Laras dalam keadaan yang tengah sibuk menenangkan kedua bayi masih sempat menyumpah serapah majikan laki-lakinya ketika pria itu melangkah keluar.
“Pria gila, semoga cepat mati.” Lanjutnya lagi.
Bersambung.