Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bramderuwo
Tiga hari berlalu. Seiring dengan kondisi fisiknya yang mulai membaik, kesabaran Bram justru berbanding terbalik, semakin menipis.
Topeng "tamu yang tahu diri" perlahan retak. Bram yang asli, pria dingin yang terbiasa memberi perintah, bukan menerima perintah, mulai mengambil alih. Zoya dengan segala ketengilannya sukses memancing sisi gelap Bram keluar, bukan dalam bentuk amarah meledak-ledak, melainkan aura intimidasi yang pekat.
Pagi itu dimulai dengan insiden kamar mandi.
Bram, dengan sisa tenaga dan ego lelakinya, memutuskan dia sudah cukup sehat untuk berjalan sendiri. Ia hendak ke kamar mandi untuk mencuci muka, mencoba mendapatkan sedikit privasi dari "sipir penjara" cerewetnya.
Baru dua langkah ia beranjak dari kasur dengan kaki gemetar, Zoya sudah muncul entah dari mana bak ninja.
"Eits! Mau ke mana, Pak? Jangan jalan sendiri ih, nanti jatoh! Sini Zoya bantuin!" Zoya langsung menyambar lengan Bram, mencoba memapahnya seperti kakek jompo.
Bram berhenti. Rahangnya mengeras. "Saya bisa sendiri, Zoya. Lepas."
"Dih, gengsi! Udah sini ah, berat tau badan Bapak tuh. Kalo jatoh ubinnya yang retak, bukan Bapak."
Zoya menarik lengan itu lagi dengan keras kepala.
GRAP!
Refleks membunuh Bram aktif. Dalam sepersekian detik, tangannya berbalik mencengkram pergelangan tangan Zoya. Cengkeraman itu kuat, presisi, dan cukup menyakitkan, jenis cengkeraman yang ia gunakan untuk melumpuhkan lawan sebelum mematahkan tulang mereka.
"Aw! Sakit, Pak!" pekik Zoya kaget, matanya melebar melihat perubahan drastis di wajah Bram. Tatapan pria itu dingin, kosong, dan mematikan. Itu bukan tatapan Pak Genderuwo yang galak dan lucu, tapi tatapan predator.
"Saya bilang, saya. Bisa. Sendiri,” desis Bram rendah. Setiap katanya penuh penekanan.
Untuk sesaat, Zoya terdiam, nyalinya sedikit menciut melihat sisi asing ini. Bram menyadari ketakutan di mata gadis itu dan segera mengendurkan cengkeramannya, lalu melepaskannya kasar.
"Jangan pernah menyentuh saya tanpa izin lagi," ucapnya datar, lalu berjalan tertatih ke kamar mandi, meninggalkan Zoya yang mengusap pergelangan tangannya yang memerah.
"Galak banget sih... padahal niatnya baik," gumam Zoya, rasa takutnya cepat menguap digantikan rasa kesal.
Namun, aksi gagah-gagahan itu harus dibayar mahal. Siang harinya, Bram drop. Wajahnya pucat pasi dan keringat dingin mengucur deras. Luka tembaknya berdenyut nyeri karena dipaksa bergerak terlalu cepat.
Zoya, yang tadi sempat takut, kini kembali mode panik bercampur omel.
"Tuh kan! Dibilangin juga apa! Sok kuat sih jadi orang!" omel Zoya sambil mondar-mandir mengompres dahi Bram.
Bram hanya bisa terbaring lemah, terlalu kesakitan untuk membalas. Ia mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Karena egonya, ia kini benar-benar terjebak di bawah kendali bocah SMA ini.
...***...
Akibat insiden kemarin, hari keempat adalah siksaan murni bagi Bram. Ia dilarang keras turun dari kasur oleh "Dokter" Zoya.
Bram, yang terbiasa hidup dengan efisiensi tinggi dan keheningan yang mematikan, kini merasa terjebak di neraka yang penuh warna-warni dan berisik. Neraka itu bernama: Kamar Zoya.
"Buka mulutnya, pesawat minta mendarat, aaakkk!"
Bram menatap sendok berisi bubur ayam yang melayang di depan wajahnya dengan tatapan seolah sendok itu adalah racun sianida.
"Saya bisa makan sendiri," tolak Bram dingin. Suaranya lemah dengan selang infus menancap di tangan kanannya (Zoya entah bagaimana berhasil mendapatkan tiang infus bekas dari gudang).
PLAK!
Zoya menepis tangan kekar itu tanpa rasa takut. "Eits, gak boleh! Kata dokter di Google, pasien yang abis ketembak gak boleh banyak gerak nanti jahitannya lepas. Kemarin sok-sokan jalan sendiri, eh malah pingsan di kamar mandi. Untung saya kuat nyeret Bapak balik ke kasur. Nurut aja kenapa sih, Pak Genderuwo!"
Rahang Bram mengeras. Panggilan itu benar-benar merusak reputasinya. "Berhenti memanggil saya dengan sebutan konyol itu. Nama saya Bram."
"Iya, Pak Bramderuwo. Udah cepet mangap, keburu dingin nih buburnya! Gak enak tau kalo dingin, kayak sikap Bapak ke saya."
Sadar dengan kondisi lemahnya sekarang. Dengan sangat terpaksa Bram membuang egonya jauh-jauh ke dasar samudra, lalu membuka mulutnya sedikit.
HAP.
"Pinterrrr! Gitu dong, kayak anak TK yang baik," puji Zoya sambil mengelus pelan kepala Bram sekilas.
Bram tersedak buburnya sendiri. Dia, pembunuh bayaran kelas kakap yang paling ditakuti di dunia bawah tanah, baru saja diperlakukan seperti balita oleh bocah SMA. Jika rekannya tahu, Bram bersumpah akan menembak dirinya sendiri karena malu.
"Sekali lagi kamu sentuh kepala saya," geram Bram dengan sisa tenaga, "tanganmu hilang."
Zoya hanya menjulurkan lidah. "Dih, galak amat sih. Abisin dulu buburnya, baru boleh ngancem."
Siang harinya, siksaan berlanjut.
Bram harus beristirahat total, yang artinya dia tidak bisa melakukan apa-apa selain berbaring. Dan Zoya, dengan inisiatifnya yang seringkali salah tempat, memutuskan untuk menjadi "hiburan" bagi pasiennya.
"Kita nonton Drakor yuk, Pak! Ini lagi hits banget, judulnya 'Tangisan Istri yang Terzalimi Suami CEO'," Zoya dengan semangat menyalakan laptopnya dan menaruhnya di pangkuan Bram.
"Saya tidak menonton drama cengeng," tolak Bram mentah-mentah. "Matikan. Saya mau tidur."
"Ih, jangan tidur mulu nanti jadi zombie loh! Nonton dulu, ini seru tau! Tuh liat, cowoknya ganteng kan? Tapi masih gantengan Bapak sih dikit... kalo lagi gak mode senggol bacok."
Bram terdiam mendengar pujian terselubung itu. Dia melirik layar laptop, lalu melirik Zoya yang kini sudah duduk disisi tempat tidur sambil memeluk sekotak popcorn, matanya fokus ke layar.
"Kenapa kamu melakukan semua ini?" tanya Bram tiba-tiba, suaranya rendah.
Zoya menoleh, mulutnya penuh popcorn. "Hah? Nonton Drakor? Ya karena seru lah."
"Bukan. Merawat saya," Bram menatap lurus ke manik mata gadis itu. "Kamu tidak kenal saya. Saya bisa saja orang jahat. Saya bawa senjata. Tapi kamu malah bawa saya ke sini, kasih kamar kamu, kasih makan... Kamu tidak takut?"
Zoya menelan kunyahannya. Ia berpikir sejenak, lalu mengedikkan bahu.
"Ya takut sih dikit, muka Bapak serem kayak debt collector, apalagi kemarin pas bapak megang tangan Zoya kenceng banget. Itu muka bapak kek mau bunuh orang, serem banget," jawab Zoya jujur yang membuat sudut alis Bram berkedut.
"Tapi kata Bi Inem, kalo ada orang butuh pertolongan di depan mata, ya ditolongin. Urusan dia jahat atau nggak, itu urusan dia sama Tuhan. Urusan Zoya cuma mastiin dia gak mati di depan Zoya… Nanti kalo jadi hantu kan repot, hehehe."
Jawaban yang begitu sederhana. Terlalu polos untuk dunia Bram yang penuh kalkulasi untung-rugi.
"Kamu bodoh," gumam Bram, tapi tidak ada nada tajam dalam suaranya.
"Dih, udah ditolongin malah ngatain!" Zoya melempar sebutir popcorn ke arah Bram karena kesal.
HAP.
Dengan refleks kilat, Bram menangkap popcorn itu dengan mulutnya. Wajahnya tetap datar.
Zoya melongo. "Wih! Jago! Lagi Pak, lagi!"
Dan siang menjelang sore itu dihabiskan dengan kegiatan konyol. Zoya melempar popcorn dan Bram, dengan wajah datarnya yang menyebalkan menangkapnya dengan mulut, diam-diam mulai menikmati "neraka" kecil yang berisik ini. Dia belum menyukainya, tentu saja. Gadis ini masih terlalu berisik, terlalu ceroboh, dan terlalu banyak ikut campur.
Tapi setidaknya, Bram tidak lagi berpikir untuk mencekiknya setiap lima menit sekali. Itu kemajuan, bukan?