NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 21: Pencerahan di Puncak Gunung

Kabut pagi menggulung pelan di kaki gunung, membawa bau tanah basah dan embun yang menggigit kulit.

Liang Chen duduk bersila di atas batu datar di depan pondok bambu, punggungnya lurus, wajahnya diam, tetapi matanya menyimpan bara yang tidak padam. Di bawah sana, lembah sunyi tanpa suara burung, seolah alam pun enggan bernapas di hadapan mereka.

Guru Kui Xing duduk di seberang, labu araknya tergantung di tangan. Ia belum meneguk, hanya memutarnya perlahan, menatap muridnya dengan tatapan yang dalam dan menembus. “Kau tidur selama dua minggu,” katanya akhirnya, suaranya berat seperti angin malam. “Aku ingin tahu, apa yang kau lihat di dalam tidurmu itu.”

Liang Chen menunduk. Jemarinya yang masih pucat menyentuh dada, bekas luka lama yang kini hanya menyisakan garis tipis. “Aku melihat darah,” jawabnya pelan. “Aku mendengar jeritan.

Dan setiap kali aku mencoba menutup telinga, suara itu makin dekat.” Ia mengangkat wajahnya. “Aku melihat wajah mereka, Guru. Wajah Ayah. Ibu. Mereka menatapku seolah bertanya kenapa aku tidak menolong.”

Keheningan panjang jatuh di antara mereka. Kabut mengalir di sela-sela batu, menutupi kaki Liang Chen.

Guru Kui Xing menatapnya tanpa bicara, lalu berkata, “Kau masih menanggung kemarahan itu.”

Liang Chen mengangguk. “Kalau aku berhenti marah, mereka akan benar-benar mati. Hanya amarahku yang mengingatkan aku bahwa mereka pernah hidup.”

Guru Kui Xing menghela napas, lalu meneguk sedikit arak. “Amarah adalah pisau bermata dua. Ia bisa menjadi pedang yang menebas kejahatan, tapi juga bisa menjadi rantai yang menjerat pemiliknya.”

“Aku tidak peduli,” jawab Liang Chen cepat, suaranya serak. “Aku tidak peduli jika aku harus membakar dunia. Aku hanya ingin menebus apa yang mereka lakukan pada keluargaku.”

Guru Kui Xing memiringkan kepala, menatap muridnya lama. “Kau berkata seperti semua Asura di masa lalu,” katanya datar. “Dan setiap kali mereka bicara seperti itu, dunia terbakar.”

Liang Chen terdiam. Matanya menatap lembah jauh di bawah sana, di mana kabut menelan horizon. “Apakah salah jika aku ingin membalas dendam?”

“Tidak,” jawab Guru Kui Xing. “Yang salah adalah ketika dendam menjadi satu-satunya bahasa yang bisa kau pahami.”

Suara itu tenang, tapi tajam, memotong udara seperti bilah dingin. Liang Chen menatapnya dengan campuran bingung dan marah.

Guru Kui Xing melanjutkan, “Aku tidak akan memintamu melupakan amarahmu. Itu mustahil. Tapi aku ingin kau belajar mengenalinya. Setiap kali kau memanggil kekuatanmu, amarah itu akan menjawab. Jika kau tidak bisa mengukurnya, ia akan menelannya.”

Ia meneguk arak lagi, lalu menunjuk dada Liang Chen. “Di situ letak pedang pertamamu, Chen’er. Bukan pada bilah di tanganmu, tapi pada amarah di dadamu.”

Liang Chen mengatur napas, menatap kabut yang menebal di depannya. “Bagaimana caranya mengenali sesuatu yang ingin menghancurkanmu?”

Guru Kui Xing tersenyum samar. “Dengan duduk di hadapannya, seperti sekarang. Dengarkan ia berbicara, jangan berusaha membungkamnya. Kau tidak bisa menaklukkan sesuatu yang tidak kau pahami.”

Liang Chen menutup matanya perlahan. Dalam keheningan itu, ia mendengar denyut jantungnya sendiri, seperti pukulan palu di ruang kosong. Di balik kelopak matanya, bayangan Desa Hijau kembali muncul: kobaran api, jeritan, darah, dan tatapan terakhir ibunya.

Tangannya bergetar, tapi ia tidak membuka mata. Ia menahan napas dan membiarkan rasa itu menyala, tidak untuk meledak, tapi untuk dilihat.

Setelah lama diam, Guru Kui Xing berkata pelan, “Bagus. Itulah langkah pertamamu: menatap amarah tanpa menjadi bagiannya. Kebanyakan orang akan lari. Kau duduk.”

Liang Chen membuka mata. Mata itu merah, tapi bukan merah kebencian; merah keteguhan yang lahir dari rasa sakit.

Guru Kui Xing berdiri perlahan. “Sekarang, kau sudah siap mendengar dari mana semua ini berasal.” Ia menatap jauh ke timur, seolah menembus batas sejarah. “Kau harus tahu apa yang sebenarnya telah diwariskan padamu.”

Kabut pecah di bawah sinar matahari pertama yang menembus, dan gunung seakan bernafas untuk pertama kalinya pagi itu. Liang Chen menatap gurunya, dan untuk pertama kalinya, di matanya bukan hanya amarah, tapi rasa ingin tahu yang berat.

Angin pegunungan berembus pelan, membawa wangi pinus dan abu masa lalu. Di bawah atap bambu pondok, suara Guru Kui Xing mengalun perlahan, seperti dongeng dari zaman yang tak tercatat dalam kitab mana pun.

“Dahulu,” katanya, “sebelum manusia mengenal doa dan para dewa menatap bumi dengan iba, ada mereka yang berjalan di atas darah sendiri. Mereka disebut Asura.”

Liang Chen mendengarkan dalam diam. Setiap suku kata terdengar seperti batu jatuh ke dalam telaga, menimbulkan riak yang lama menghilang.

“Pada masa itu,” lanjut sang guru, “dunia terbagi dua: mereka yang mencari panjang umur melalui harmoni, dan mereka yang mencari kekekalan melalui kekuatan.

Jalan Pan-jang Umur mengajarkan ketenangan, menumbuhkan akar pada langit. Jalan Asura menolak langit itu. Ia meminum badai, menantang surga, dan berkata, ‘Jika dewa menolak manusia, maka manusia akan menjadi dewa melalui darah.’ ”

Ia berhenti sebentar, meneguk arak. Uapnya naik tipis, bercampur dengan kabut. “Warisan itu bukan sekadar teknik, Chen’er. Ia adalah sumpah, kutukan, dan keinginan yang tertulis dalam daging.

Energi Pembantaian yang mengalir di tubuhmu adalah gema dari sumpah para pendahulu yang menolak tunduk pada langit.”

Liang Chen memandang ke telapak tangannya, membayangkan darah yang pernah mengotori jari-jarinya. “Apakah mereka semua… berakhir gila?”

Guru Kui Xing mengangguk pelan. “Sebagian besar. Ada satu yang disebut Asura Pertama. Ia memandang dunia dan melihat ketidakadilan, lalu ia menegakkan pedangnya terhadap surga. Ia membunuh para tiran, para pendeta, bahkan mereka yang bersembunyi di balik nama kebenaran.

Tetapi setiap kepala yang ia penggal, menghapus satu kenangan tentang cintanya. Saat peperangan berakhir, ia tidak lagi tahu untuk apa ia berjuang. Maka ia menebas dirinya sendiri, agar dunia tidak lenyap bersamanya.”

Suara Guru Kui Xing menurun menjadi bisikan. “Namun darahnya menetes ke tanah, menyatu dengan napas bumi. Dari situlah lahir Warisan Asura yang kini mengalir di nadimu. Ia bukan karunia, melainkan serpih kehendak yang tak mau mati.”

Keheningan jatuh di antara mereka. Di kejauhan, seekor elang melintas, memekik satu kali sebelum menghilang ke balik awan.

Liang Chen mengerutkan kening. “Kalau begitu, apakah aku ditakdirkan mengikuti langkahnya?”

Guru Kui Xing menatapnya tajam. “Takdir hanya berlaku bagi mereka yang tak mampu memilih. Kau memiliki pilihan, tetapi harganya berat.

Setiap kali kau menggunakan kekuatan itu, jiwamu akan diuji. Kau akan merasakan keinginan untuk menghancurkan, bahkan ketika yang kau lawan hanyalah bayangan sendiri.”

Ia memutar labu araknya, menatap cairan di dalamnya seakan menatap masa lalunya sendiri. “Aku pernah melihat seorang murid, sepertimu, yang mencoba menyalakan amarah untuk menegakkan kebenaran.

Ia menjadi bintang yang membakar langit, dan abu yang menutupi bumi. Sejak hari itu aku bersumpah: bila Warisan Asura bangkit lagi, aku akan memastikan ia tidak lagi menelan dunia.”

Liang Chen menatap gurunya, perlahan menyadari bahwa lelaki lusuh di hadapannya bukan hanya pertapa, tapi saksi hidup dari kisah purba. “Guru… mengapa membantu aku? Bukankah lebih mudah membiarkanku mati?”

Kui Xing tersenyum, tapi senyum itu pahit. “Karena di matamu, aku melihat sisa cahaya. Asura Pertama kehilangan cahaya itu. Aku ingin tahu apakah manusia kali ini bisa menyalakan nyala yang sama tanpa terbakar olehnya.”

Ia berdiri, menghadap kabut yang menipis. “Jalan Asura tidak akan pernah diterima oleh sekte mana pun. Dunia akan memusuhimu. Tapi ingat, Chen’er, kebencian mereka bukanlah tanda bahwa kau salah; itu ujian apakah kau masih manusia.”

Liang Chen menunduk. “Jika aku kehilangan kendali, jika aku menjadi monster… apakah Guru akan membunuhku?”

Guru Kui Xing tertawa kecil, suara seraknya bergema di antara pepohonan. “Tentu. Tapi sebelum hari itu tiba, aku akan mengajarkanmu bagaimana menari di tepi jurang tanpa jatuh.”

Kabut mulai menipis. Dari lereng gunung yang tinggi itu, matahari perlahan naik, menembus tirai abu yang bergulung di langit timur. Sinar keemasan jatuh di wajah Liang Chen yang masih muda, menampakkan ketegangan antara luka dan tekad.

Ia memandang tangannya, lalu menatap bilah pedang hitam yang tergeletak di depannya. Kesunyian Malam berkilat redup, seolah menunggu keputusan tuannya.

Guru Kui Xing berdiri di belakangnya. Jubah lusuhnya berkibar ringan oleh angin, dan uap arak masih menempel di udara di sekitarnya, memberi aroma yang aneh, antara kebebasan dan kebusukan masa lalu. Tatapan matanya tajam seperti puncak gunung itu sendiri.

“Chen’er,” katanya, suaranya rendah namun tegas, “kau sekarang berdiri di dua dunia. Dunia manusia yang mencari cahaya, dan dunia Asura yang lahir dari darah. Kedua dunia ini tidak akan pernah saling berdamai.

Kau ingin menjadi jembatan di antara mereka, tapi ingatlah: jembatan selalu dipijak oleh dua pihak, dan kau akan menjadi yang pertama retak.”

Liang Chen tidak menjawab. Ia memandang lembah di bawah sana, di mana kabut menutupi jejak hutan tempat Desa Hijau pernah berdiri.

Hanya ada kehampaan dan gema samar di pikirannya. “Aku tak peduli akan retak, Guru,” katanya pelan. “Selama aku bisa berdiri di atasnya, walau sebentar.”

Guru Kui Xing menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Kalimat itu… terdengar seperti sesuatu yang akan diucapkan oleh manusia, bukan monster.”

Ia melangkah mendekat, mengambil Pedang Kesunyian Malam dari tanah. Bilah hitam itu dingin di tangannya, dan uap merah samar menari di sepanjang tepinya. Ia menyerahkannya kepada Liang Chen.

“Ini pedangmu. Bukan hanya senjata, tapi cermin. Setiap kali kau mengayunkannya, ia akan memantulkan wajahmu sendiri. Bila suatu hari kau tak mengenali bayangan itu, berhentilah, karena itu berarti kau sudah hilang.”

Liang Chen menerima pedang itu dengan kedua tangan. Beratnya seolah berlipat ganda oleh makna, bukan oleh logam. Ia menatap refleksinya di bilah gelap itu, melihat mata yang menyala samar, dan di sana, untuk sesaat, ia melihat wajah ayahnya. Ia menggenggam pedang itu lebih erat, lalu berlutut di tanah. “Aku, Liang Chen,

bersumpah di bawah langit dan di bawah bumi, di hadapan pedang ini dan di hadapan Guru Kui Xing yang menyelamatkanku. Aku tidak akan melupakan mereka yang telah kubunuh, tidak akan memaafkan mereka yang menumpahkan darah keluargaku.

Tapi aku juga tidak akan menjadi makhluk yang mereka takutkan. Aku akan menegakkan keadilan, meski dunia menolak menatapnya.”

Suara angin berhenti. Bahkan pepohonan di lereng itu tampak menunduk.

Guru Kui Xing menatap muridnya tanpa berkata apa pun untuk waktu yang lama. Lalu ia mengangkat labu araknya, meneguk satu kali, dan menghembuskan napas panjang. “Kata-kata yang berat,” katanya akhirnya. “Jika kau gagal menepatinya, langit sendiri akan menuntutmu.”

“Kalau begitu,” jawab Liang Chen dengan suara serak, “biarlah langit yang pertama kali kutantang.”

Guru Kui Xing tertawa. Tawanya bukan tawa gembira, melainkan tawa getir seorang tua yang sudah terlalu lama melihat siklus kehancuran yang sama berulang di dunia. “Kau benar-benar anak darah,” katanya sambil menggeleng. “Asura dalam dirimu mungkin tersenyum mendengar sumpah itu.”

Ia lalu mengangkat tangannya dan menepuk pundak Liang Chen. Sentuhan itu ringan, tetapi ada kekuatan spiritual yang menyalir, menyatu dengan napas muridnya. Aura merah samar yang dulu liar kini bergerak lebih lembut, seperti bara yang ditiup angin tenang.

Liang Chen menghela napas panjang, merasakan sesuatu di dalam tubuhnya, bukan lagi amarah yang membakar, melainkan panas yang teratur, seperti api yang mulai tahu arah.

“Mulai hari ini,” kata Guru Kui Xing, “kau bukan lagi anak dari Desa Hijau. Kau adalah muridku. Jalanmu panjang, dan setiap langkah akan berlumur darah. Tapi ingatlah satu hal, Chen’er: darah bukan hanya simbol pembantaian. Ia juga tanda kehidupan. Asura yang sejati bukanlah pembunuh, tapi penjaga kehidupan yang berani kotor untuk mempertahankannya.”

Liang Chen menunduk. “Aku mengerti.”

Guru Kui Xing menatap jauh ke langit timur, tempat sinar matahari pertama muncul sepenuhnya. “Kau tak perlu mengerti sekarang. Jalan ini akan membuatmu menyesali pilihanmu berkali-kali. Tapi selama kau bisa menatap fajar seperti hari ini tanpa menunduk, berarti masih ada manusia di dalam dirimu.”

Mereka berdiri dalam diam cukup lama. Di bawah kaki mereka, awan bergerak perlahan, dan dari lembah terdengar suara air jatuh dari tebing yang tinggi. Liang Chen menatap gurunya, lalu menatap pedangnya, seolah mengukir pemandangan itu dalam ingatannya.

Guru Kui Xing akhirnya memecah keheningan. “Sekarang, mari kita lihat seberapa dalam meridianmu telah terbuka.”

Ia menepuk dada Liang Chen ringan, dan sebuah gelombang energi samar memancar. Tubuh Liang Chen bergetar, dan untuk sesaat, bayangan merah pekat melintas di balik kulitnya, jaringan energi yang berdenyut seperti nadi. Guru Kui Xing mengamati dengan penuh perhatian.

“Meridianmu terbuka karena darah, bukan karena latihan,” katanya perlahan. “Tubuhmu diperkuat dengan kekerasan dunia, bukan dengan rahmatnya. Kau berdiri di antara dua aliran energi, yang satu memelihara kehidupan, yang lain merenggutnya. Tugasmu adalah menyeimbangkannya.”

Liang Chen menutup matanya, merasakan aliran itu. Rasanya seperti dua sungai yang saling bertabrakan di dalam dirinya: dingin dan panas, tenang dan liar.

Namun di tengah pusaran itu, ada suara yang dulu asing kini terasa akrab: suara hatinya sendiri, memanggil dari kejauhan. Ia tahu kini bahwa amarah bukanlah musuhnya, melainkan ujian yang harus ia kuasai.

Guru Kui Xing melangkah mundur dan menatapnya dengan puas. “Bagus. Kau tidak lagi dikuasai oleh Warisan itu. Mulai hari ini, kau akan belajar menggunakannya.”

Liang Chen membuka matanya. “Dan setelah itu?”

“Setelah itu,” kata sang guru, “kau akan belajar bagaimana menahan diri untuk tidak menggunakannya.”

Liang Chen mengangguk pelan. Cahaya mentari kini memenuhi puncak gunung, dan kabut yang semula suram berubah menjadi lembaran emas yang berkilau. Ia mengangkat pedangnya sedikit, mengarahkan bilahnya ke langit. Dalam diam, ia mengucapkan janji yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

“Ayah, Ibu, aku akan menempuh jalan ini, apa pun bentuknya. Aku akan menjadi kekuatan yang menebas kegelapan, bahkan jika darahku sendiri harus menjadi tinta bagi takdir.”

Guru Kui Xing berdiri di belakangnya, menatap punggung muridnya yang kini tegak menghadap matahari. Ia mengangkat labu arak, meneguk satu kali lagi, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Langit, kali ini… biarkan satu Asura berjalan tanpa kehilangan jiwanya.”

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!