Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh
Pagi itu matahari baru saja merayap naik, cahayanya masuk lewat jendela dan menyentuh ujung ranjang Kirana. Rumah sudah ribut sejak subuh, riuh suara keluarga, bunyi kursi digeser, langkah-langkah terburu-buru, dan sesekali panggilan lantang memanggil nama Tissa. Semua bersiap menuju gedung tempat akad akan berlangsung.
Lorong rumah yang biasanya tenang pagi itu seperti dilewati angin badai. Orang keluar masuk kamar, membawa tas, baki, kotak hantaran, bahkan termos kopi. Tapi satu pintu tetap tertutup rapat yaitu kamar Kirana.
Papa akhirnya mengetuk, lalu membuka pintu tanpa menunggu jawaban.
Kirana masih duduk di tepi ranjang. Rambutnya dibiarkan terurai, wajahnya bersih tanpa makeup, tubuhnya tegak tapi tenang, seolah hiruk-pikuk di luar tidak ada hubungannya dengan dirinya.
“Kir,” panggil Papa pelan sambil melangkah masuk. “Kamu nggak siap-siap?”
Kirana menoleh sebentar. Tatapannya lembut, tapi tidak memberikan jawaban apa pun.
Papa menghela napas dan duduk di kursi dekat meja rias. “Kamu nggak mau ikut ke pernikahan adikmu? Apa kamu masih dendam karena Irfan lebih memilih Tissa?”
Kirana tetap diam. Tidak marah, tidak menangis, tidak tersenyum. Diamnya seperti dinding tebal yang sulit ditembus.
Papa melanjutkan, suaranya lembut tapi tegas, “Ikhlaskan semuanya, Kir. Ini sudah takdir. Papa tunggu kehadiran kamu di gedung, ya.”
Beberapa detik terlewat. Hanya suara detak jam di dinding.
Lalu Kirana mengangkat wajahnya. “Aku pasti datang, Pa. Jangan kuatir.”
Papa mengangguk, lega walau masih ada sedikit keraguan di matanya. “Baiklah. Papa pergi duluan.”
Beliau bangkit, menepuk pelan pundak Kirana, lalu keluar menutup pintu dengan hati-hati, seolah takut mengganggu ketenangan putri sulungnya itu.
Begitu langkah Papa menjauh, Kirana baru bergerak. Ia melihat ke cermin. Wajahnya memang terlihat tenang.
Tapi matanya, ada sesuatu di sana yang tidak diketahui siapa pun di rumah itu. Sesuatu yang sejak beberapa hari ini ia sembunyikan rapat-rapat.
Kirana mengintip ke jendela, memastikan semua keluarga telah pergi. Setelah yakin, ia lalu menghubungi seseorang. Tak berapa lama datang dua orang wanita.
Kirana mempersilakan mereka masuk. Dua wanita itu langsung bekerja, ternyata mereka penata rias pengantin. Ia ingin tampil menawan juga di hari pernikahannya.
Kedua penata rias yang datang ke rumah Kirana itu langsung bekerja seperti sudah tahu persis apa yang harus dilakukan. Mereka membuka koper besar berisi peralatan lengkap. Kuas, palet, hairtools, serta kain-kain yang ditata rapi.
“Kami kiriman dari Mas Samudera, Mbak,” ucap salah satu dari mereka sambil tersenyum. “Beliau bilang, ‘tolong buat Kirana cantik, tapi tetap dirinya sendiri.’”
Kirana hanya mengangguk kecil. Ada senyum samar di sudut bibirnya, senyum yang tidak akan dilihat siapa pun selain dua wanita itu.
Makeup dimulai dengan sentuhan ringan. Kulit Kirana sudah baik, jadi mereka hanya memberi kilau natural. Mata Kirana dibuat lebih tajam, bibirnya diberi warna lembut. Rambutnya ditata klasik dengan sanggul modern yang dihias ornamen kecil yang tidak berlebihan namun elegan.
“Aduh, Mbak … ini wajah calon pengantin banget,” komentar penata rias kedua sambil terkekeh.
Kirana menatap dirinya di cermin. “Memang pengantin,” jawabnya tenang.
Mereka tidak bertanya lebih jauh. Hanya dengan mereka bekerja.
Setelah riasan selesai, salah satu dari mereka membuka kotak khusus berisi sebuah kebaya. Kebaya bernuansa salmon-rose yang dipenuhi bordir rumit dan payet berkilau. Roknya jatuh anggun dengan lapisan tulle yang lembut, dan selendangnya dijahit dengan detail yang terlihat halus bahkan dari jauh.
Kebaya yang waktu itu begitu dipuji semua karyawan butik. Kebaya yang membuat Tissa hampir menangis melihat harganya. Kebaya yang kata Samudera, “Untuk seseorang yang jauh lebih pantas.” Kini kebaya itu berada di tubuh Kirana.
Ketika mobil yang membawa Kirana berhenti di depan gedung, acara akad sudah hampir dimulai. Para tamu menoleh karena pintu depan tiba-tiba terbuka dan Kirana berjalan dengan anggunnya. Sekejap, ruangan menjadi lebih senyap.
Kirana berjalan perlahan, anggun, tidak tergesa dan tidak ragu. Kebaya itu tampak sangat mewah di tubuhnya, seolah memang dibuat khusus untuk dirinya, yang ternyata memang begitu.
Tissa yang duduk di kursi pelaminan kecil bersama Irfan langsung menegang. Wajahnya berubah.
"Itu … bukankah itu kebaya mahal yang aku lihat di butik itu. Kebaya yang harganya mencapai lima puluh juta," ucap Tissa dalam hatinya. "Jadi benar itu untuk Kirana?"
Irfan juga tertegun. Tatapannya mengikuti langkah Kirana tanpa sadar, sesuatu di wajahnya terlihat seperti penyesalan, seperti kehilangan. Ia bahkan lupa menarik napas.
Bisik-bisik mulai terdengar dari tamu undangan.
“Cantik sekali .…”
“Itu kebaya sepertinya dari butik ternama."
“Kok dia pakai seperti … pengantin juga?”
"Lebih pantas dia pengantinnya dari pada Tissa."
Banyak lagi bisik-bisik para tamu undangan terdengar. Mereka juga membicarakan tentang Tissa yang telah merebut tunangan sang kakak.
Mama Tissa yang merupakan mama tiri Kirana, segera bangkit dan menghampiri dengan ekspresi gelisah. Sedangkan papa masih bingung dengan apa yang dia lihat.
“Kirana,” bisiknya cepat, “Kenapa kamu memakai kebaya seperti orang yang mau menikah juga? Jangan buat keributan. Irfan tidak akan mau menikahi kamu, dia sudah memilih Tissa.”
Kirana tersenyum tipis. Tenang, tapi tajam. Ia lalu berkata, “Aku akan menikah juga. Tapi bukan dengan Irfan.” Ia menatap Irfan sekilas, sinis. “Tak sudi aku menikah dengan pecundang.”
Tissa berdiri dari kursinya, wajahnya panas. “Kalau kamu mau menikah sana! Ngapain datang ke sini? Ini tempat akad aku!”
Kirana menatapnya, kali ini dengan mata yang dingin dan sangat yakin. Ia tersenyum sinis. “Kamu yang harus pergi, Tissa.”
Hening terasa di dalam ruangan itu. Sepertinya mereka pada terbawa suasana. Beberapa tamu sampai menahan napas.
“Gedung ini,” lanjut Kirana pelan tapi jelas, “Aku yang bayar. Termasuk kateringnya.”
Tissa memucat. Irfan menunduk, rahangnya mengeras menahan malu. Apa yang Kirana katakan benar, dan ia merasa harga dirinya diinjak.
“Jadi ....” Kirana menyelesaikan kalimatnya, "Silakan kamu dan calon suamimu cari tempat lain.”
Semua orang membeku mendengar ucapan Kirana. Mereka kembali berbisik-bisik. Tissa tidak bisa berkata apa-apa. Irfan juga terpaku.
Mama Tissa menutup mulut dengan tangan. Papa yang dari tadi diam akhirnya berdiri dari duduknya, ia m mendekati putrinya itu.
"Kirana, Papa memintamu datang bukan buat keributan. Papa tau kamu masih sakit hati. Sudah papa katakan, semua ini sudah menjadi takdir. Tissa dan Irfan akan menikah. Jika memang kamu akan menikah juga, mana calon suami kamu. Papa pasti akan menjadi walimu," ucap Papa. Wajahnya tampak tegang seperti menahan amarah.
"Sebentar lagi ia pasti datang. Aku mau Papa jadi wali nikahku. Setelah ini aku tak akan meminta apa pun dari Papa. Aku akan pergi seperti yang Papa inginkan selama ini," jawab Kirana.
"Mana calon suamimu. Penghulu tak akan bisa menunggu lama. Lima menit lagi jika pria itu tak datang, Papa harap kamu jangan lagi bertingkah. Terima semua dengan ikhlas!" seru Papa.
Kirana menarik napas dalam. Dalam perjalanan tadi dia telah mencoba menghubungi Samudera, tapi nomornya tak aktif. Pesan yang ia kirim pun masih centang satu.
"Apakah Samudera akan membatalkan perjanjian kami?" tanya Kirana dalam hatinya.
jatuh cinta .wa ea aa
ditunggu lanjutannya
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭