Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Di saat Storm sedang termenung, Max tiba–tiba mendorong Lucien masuk ke kamar gadis itu.
"Kenapa diam saja? Apa yang kau pikirkan?" tanya Lucien sambil menatap Storm tajam.
"Jenderal..." Storm bangkit pelan. "Apakah Mimi sudah ditahan?"
"Dia tidak akan bisa lolos dariku." Suara Lucien rendah namun dingin. "Sekarang dia sedang menerima hukumannya. Untuk selanjutnya, aku menyerahkannya padamu."
Storm tertegun. "Lucien yang aku kenal memang sangat berbeda dengan saat pertama kali kami bertemu. Tahanan sudah di tangannya, seharusnya dia yang menentukan. Tapi dia malah membiarkan aku yang membuat keputusan..." batinnya.
"Apa yang mengganggu pikiranmu? Sejak tadi kau tidak fokus," tanya Lucien, menatap Storm yang terdiam.
"Aku hanya memikirkan sesuatu," jawab Storm pelan.
"Kau merindukan keluargamu?" tanya Lucien lagi.
"Iya," jawab Storm jujur.
"Di saat kau tidak sadar, kau terus memanggil ayah dan ibumu. Kalau sudah sembuh, kau bisa pulang bertemu mereka," ujar Lucien lembut.
“Malam itu aku bermimpi kedua orang tuaku… mereka yang hidup di tahun 2025. Mereka yang paling aku rindukan…” batin Storm.
Tiba-tiba pintu diketuk keras.
"Jenderal, ada kabar buruk dari musuh kita yang lolos!" seru Ahao sambil masuk terburu-buru.
"Katakan!" titah Lucien.
"Musuh kita yang kabur saat itu terlihat muncul di ibu kota. Saat prajurit kita mengejarnya, mereka justru dibunuh. Pelakunya berhasil kabur," jawab Ahao dengan wajah tegang.
"Kenapa dia bisa masuk? Bukankah di gerbang ada penjaga?" tanya Lucien tajam.
"Maaf, Jenderal… mungkin dia menyamar sebagai rakyat biasa," ucap Ahao menunduk.
"Kerahkan lebih banyak prajurit untuk menemukan keberadaannya. Dan temui keluarga korban. Aku harus hadir di pemakaman mereka," ujar Lucien.
"Jenderal… dengan kondisinya sekarang, kalau Anda muncul di depan banyak orang, itu bisa menarik perhatian musuh," kata Max hati-hati.
"Jenderal, biarkan aku periksa lagi lukamu," pinta Storm cemas.
"Tidak perlu. Jaga dirimu baik-baik. Aku akan menemui dokter lain. Kau istirahat saja dulu," jawab Lucien.
Setelah itu ia menatap Max. "Mari kita keluar."
Max segera mendorong kursi rodanya dan membawanya menjauh dari kamar Storm, meninggalkan gadis itu yang hanya bisa memandang punggung Lucien dengan hati tidak tenang.
"Sejarah yang aku tonton… bulan Februari akan ada baku tembak antara prajurit dan penyusup. Tapi saat itu, Lucien… dia sudah—" ucapan Storm terhenti tiba-tiba, napasnya tercekat.
"Kenapa berbeda?
Apakah ada yang salah? Kenapa sejarah berubah? Atau aku yang lupa sesuatu? Tidak mungkin drama yang aku tonton salah menggambarkan sejarah…" gumam Storm dalam hatinya, wajahnya pucat.
Storm bangkit perlahan. "Tidak bisa. Aku harus cepat sembuh. Dan aku harus menyembuhkan kaki Lucien. Dia adalah jantung negara ini.
Bulan Februari tahun 1982 akan terjadi baku tembak besar-besaran… korban akan berjatuhan. Aku tidak bisa membiarkannya terjadi."
Matanya menajam, dipenuhi tekad.
"Apakah aku bisa mengubah sejarah?" gumam Storm, hatinya bergetar antara takut dan yakin.
Storm berusaha mengobati lukanya sendiri malam itu, sementara di kamar lain Lucien duduk di kursinya, mengisap cerutu dengan wajah penuh beban.
"Jenderal, jangan khawatir. Kita akan segera menemukannya," kata Max menenangkan.
"Yang aku khawatirkan adalah keselamatan rakyat," sahut Lucien dengan nada tegas namun muram. "Perintahkan prajurit kita meningkatkan patroli dari pagi hingga malam. Biarkan mereka bergantian, jangan sampai lengah. Karena kelalaian kita, musuh bisa lolos dan berhasil masuk ke ibu kota. Satu pembunuh saja bisa membahayakan banyak nyawa."
"Baik, Jenderal!" jawab Max mantap.
Lucien menatap jendela gelap. Asap cerutu membentuk bayangan samar di udara.
"Apa pun yang terjadi… aku harus melindungi Ah Zhu. Walau kakiku lumpuh, aku masih punya sepasang tangan," gumamnya rendah namun penuh tekad.
Lalu ia beralih pada Max.
"Max, saat ini Ah Zhu belum sembuh. Andaikan terjadi sesuatu padaku… kau harus pastikan dia aman. Lindungi dia seperti kau melindungi aku!"
"Jenderal…" Max terkejut, suaranya serak.
"Gadis itu tidak seharusnya terlibat dalam peperangan," ucap Lucien lirih, lebih seperti seorang pria yang menyembunyikan rasa peduli daripada perintah seorang pemimpin.
kasian juga q am ortux tp klo.yg begitu tiba2 ngilang, pasti sepi n sedih