Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27. VIRAL DAN KONSEKUENSI
..."Di tengah sorotan publik dan luka masa lalu, dua jiwa belajar bahwa perlindungan bisa berubah menjadi cinta, dan keberanian bukan soal melawan dunia, tapi soal memilih satu sama lain."...
...---•---...
Tiga hari setelah insiden dengan Rendra, internet meledak.
Video konfrontasi itu viral. Tiga juta kali tayang dalam dua puluh empat jam. Tapi narasi yang muncul justru membalik rencana Rendra. Kolom komentar penuh dukungan untuk Naira. Banyak yang memuji koki misterius yang membelanya dengan tenang dan tegas.
Doni membaca komentar di laptop dapur sambil mengaduk kaldu tom yum. Aroma serai dan jeruk nipis mengepul, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang kontras dengan ketegangan di layar. Rempah-rempah segar tercium kuat, pedas tapi menyegarkan. Naira duduk di sebelahnya, jari-jarinya menggulung ujung kemeja tidurnya, kebiasaan yang muncul saat dia cemas.
"Dengar ini." Naira membaca keras-keras dari ponselnya. "Akhirnya ada yang membela Naira. Koki itu punya nyali. Rendra pikir bisa mengintimidasi, tapi gagal total."
"Atau yang ini." Doni menunjuk layar laptop, scrolling pelan. "Cuma aku atau kalian juga lihat betapa protektifnya koki itu? Cara dia berdiri maju, tetap tenang tapi tegas. Itu baru pria sejati, bukan gentleman palsu."
Naira menutup ponselnya, meletakkannya dengan bunyi pelan di meja. Matanya menatap Doni lebih lama dari biasanya. "Kamu sekarang viral, Don. Orang-orang membicarakan kamu, berspekulasi, bahkan mencari tahu siapa kamu."
"Aku tahu. Andi dari Dapur Sari sudah kirim pesan lima kali pagi ini. Katanya ada reporter datang, menanyakan soal aku." Doni mematikan kompor, menuang sup ke mangkuk dengan gerakan yang sudah otomatis. Uap hangat naik membawa aroma kompleks asam, pedas, segar. "Untungnya stafku loyal. Mereka cuma bilang aku sedang dalam kontrak kerja dan tidak bisa dihubungi."
"Ini makin besar, Don." Naira berdiri. Kakinya mondar-mandir di dapur, tangannya mengusap tengkuk, tanda dia mulai kewalahan. "Kamu harusnya di belakang layar, tidak kelihatan. Sekarang kamu jadi sorotan."
"Naira, cukup." Doni menangkap tangannya saat ia lewat. Genggamannya hangat, tegas tapi tidak memaksa. Kulit telapak tangannya kasar dari tahun-tahun memegang pisau dan wajan panas. "Aku tahu risikonya waktu aku berdiri menghadapi Rendra. Aku memilih melindungi kamu daripada ketenanganku sendiri. Aku tidak menyesal."
"Tapi kontrakmu..." Suaranya melemah, hampir bisikan. Matanya menatap tangan mereka yang bertaut. "Pasal itu... kalau sponsor tahu..."
"Mereka akan melihat koki pribadi melakukan tugasnya: memastikan klien aman." Doni menuntun Naira duduk lagi, tangannya di bahunya memberikan tekanan lembut. "Aku tidak mencari publisitas. Mantan suamimu yang memanggil media. Konteks itu penting." Jemarinya menggenggam tangan Naira. "Lagipula, pernyataanmu berhasil. Opini publik berpihak padamu. Rendra terlihat putus asa."
"Menang dengan harga." Naira menatap tangan mereka yang bertaut. "Sorotan ke kamu. Ancaman buat kamu."
"Aku bisa menangani tatapan publik." Doni mengangkat dagunya dengan lembut, memaksa mata mereka bertemu. "Yang tidak bisa aku tangani adalah diam waktu kamu diserang."
Mata Naira berair. "Kamu tidak seharusnya bilang begitu. Kamu seharusnya profesional. Ada batas."
"Terlambat untuk batas, Nai. Kita sudah melewati garis itu sejak lama."
"Aku juga tidak mau mundur." Bisikannya hampir tidak terdengar. "Tapi aku takut. Takut kekacauanku merusak kamu."
"Kalau begitu kita hati-hati. Kita rencanakan." Doni menarik napas panjang, dadanya naik turun. "Dan kita percaya bahwa kita bisa melewati ini."
Bel pintu berbunyi.
Keduanya menegang. Tubuh Naira mengeras secara refleks, napasnya tertahan. Doni berdiri, tangannya di bahu Naira sebentar, menenangkan sebelum berjalan ke monitor keamanan.
Bukan Rendra. Hanya kurir dengan paket besar. Bahu Doni turun, ketegangan mereda. Ia mengangguk pada Pak Hendra untuk menerima. Beberapa menit kemudian, Pak Hendra membawa kotak besar ke dapur, kotak karton cokelat yang terlihat berat.
"Untuk Nona Naira, dari kantor pengacara."
Naira membuka kotak itu. Di dalamnya ada tumpukan dokumen dan surat kertas legal yang kaku, berat dengan beban yang lebih dari sekadar tinta. Tangannya sedikit gemetar saat menarik berkas-berkas keluar, kertas-kertas itu berdesir pelan.
"Apa itu?" tanya Doni, kembali ke sisinya.
"Bukti." Naira menarik napas tajam, matanya menelusuri dokumen-dokumen itu dengan cepat. Jemarinya menelusuri halaman demi halaman, membaca judul-judul yang membuat wajahnya semakin pucat.
Laporan medis: memar, patah tulang rusuk.
Tangannya berhenti.
Email ancaman: "Kalau kamu pergi, kamu tidak akan dapat apa-apa."
Napasnya tersangkut. Semua ini nyata. Hitam di atas putih. Bukti yang selama ini ia anggap hanya mimpi buruk.
"Pengacaraku entah bagaimana dapat semua ini. Laporan bank, rekam medis, email, pesan ancaman. Semua yang bisa menjatuhkan Rendra."
"Bagus. Gunakan semuanya. Laporkan dia."
"Tapi ini akan terbuka ke publik." Jemari Naira menelusuri dokumen-dokumen itu, tangannya gemetar di atas kertas yang terasa dingin. "Semua orang akan tahu luka-lukaku. Masa laluku. Detail yang selama ini aku sembunyikan."
"Atau mereka akan tahu betapa kuatnya kamu." Doni berjongkok di hadapnya, tangannya di atas lututnya sendiri tidak menyentuh, memberi ruang. Matanya sejajar dengan mata Naira. "Rasa malu bukan punyamu, Nai. Itu punyanya Rendra."
Naira menatap tumpukan bukti itu, lalu menatap Doni. Napasnya pelan-pelan teratur. "Oke." Suaranya pelan tapi mantap. "Aku lapor. Aku selesai bersembunyi."
"Aku bangga padamu." Doni mencium keningnya lembut. Bibirnya sempat menyentuh kulit Naira sebentar, hangat dan menenangkan. "Dan aku akan ada di setiap langkah. Sebagai koki pribadi, teman, apa pun yang kamu butuh."
"Sebagai orang yang aku cintai." Kata-kata Naira meluncur begitu saja, mengejutkan mereka berdua. "Karena itulah kamu. Orang yang aku cintai."
Doni terpaku. Dunia seakan berhenti. Bunyi kulkas tiba-tiba terdengar sangat keras, dengung rendah yang stabil, kontras dengan detak jantung yang kacau.
"Aku juga mencintaimu." Suaranya bergetar, parau. "Sejak pertama kamu makan nasi goreng itu."
Jarak di antara mereka menghilang perlahan, seperti gravitasi yang tidak bisa dilawan.
Bibir mereka bertemu.
Hangat. Lembut. Seperti pulang ke rumah yang tidak pernah Naira tahu dia cari. Tangan Doni merangkup wajahnya, ibu jari mengusap pipinya yang basah oleh air mata yang tidak ia sadari jatuh. Ciuman ini berbeda dari yang sebelumnya tidak ragu, tidak takut. Ini pengakuan. Janji. Kepastian yang sudah lama mereka tahan. Bibir Doni hangat, lembut tapi yakin, seperti semua yang ia masak penuh perhatian dan kesabaran.
Setelahnya Naira tertawa pelan, napasnya masih tercekat. Dahinya bersandar di dahi Doni. "Kita punya waktu paling buruk buat mengaku saling cinta."
"Atau paling tepat." Naira tersenyum, jemarinya menelusuri garis rahang Doni. Kulitnya sedikit kasar di sana, bekas shave pagi yang tidak sempurna. "Sekarang aku punya alasan buat berjuang. Buat diriku, dan buat kita."
"Sembilan ratus dua puluh tiga hari lagi."
"Kamu menghitung?" Senyum Naira melebar, matanya berbinar untuk pertama kalinya dalam berhari-hari.
"Aku juga."
Saat mereka berpisah, Ratna muncul di ambang pintu. Wajahnya tegang, langkahnya cepat. Heels-nya mengetuk lantai dengan ritme urgent. "Nona Naira, Mas Doni. Rendra baru mengunggah postingan."
Mereka membaca bersama di laptop yang Ratna buka. Postingan panjang, terdengar sopan, tapi ada nuansa manipulatif yang sudah mereka kenal. Tapi yang lebih penting: komentar publik justru ramai dengan kritik tajam untuk Rendra.
"Publik tidak percaya dia." Naira menghela napas, campuran lega dan was-was.
"Dia tidak akan diam." Ratna menutup laptop dengan bunyi klik yang tegas. "Kita harus siap. Orang seperti dia tidak terima kalah begitu saja."
"Aku siap." Naira berdiri, bahunya tegak, dagunya terangkat. "Besok aku ke kantor polisi."
"Aku ikut," kata Doni refleks, tanpa berpikir.
"Lebih baik jangan, Mas." Ratna bicara hati-hati, menatap Doni dengan tatapan yang memahami tapi tetap profesional. "Media masih mengawasi. Satu langkah salah..." Ia tidak perlu melanjutkan. Makna kalimatnya sudah jelas.
Doni menahan diri. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di samping tubuh. Buku-buku jarinya memutih. Logika mengatakan Ratna benar, tapi setiap insting dalam dirinya menolak. "Baik. Tapi kabari aku setiap jam."
"Setiap jam." Naira menggenggam tangannya, memegangnya erat sebentar sebelum melepas. "Aku bukan korban lagi. Aku ambil kekuatanku sendiri."
...---•---...
Keesokan paginya, Doni bangun lebih awal. Pukul empat, udara masih dingin dan gelap. Embun menempel di jendela dapur, napas Doni terlihat tipis saat ia menyalakan kompor. Ia menyiapkan makanan hangat untuk saat Naira pulang nanti: sup ayam dengan jahe segar, roti yang baru dipanggang, dan kue lava cokelat, favorit Naira saat butuh kenyamanan.
Naira turun ke dapur pukul enam, berbusana formal. Blazer hitam, celana bahan, rambut diikat rapi. Rapi, kuat, tapi matanya menyimpan gugup yang tidak bisa disembunyikan.
"Kamu kelihatan kuat." Doni menuangkan kopi. Aromanya mengepul di antara mereka, familiar dan menenangkan. Biji kopi yang baru digiling, harum dengan sentuhan cokelat gelap.
"Aku ingin muntah." Kejujuran Naira membuat Doni tersenyum tipis.
"Makan dulu. Sedikit saja." Ia menaruh roti panggang alpukat dan telur poached di depan Naira. Kuning telurnya masih lembek, persis seperti yang Naira suka. Presentasinya sempurna, small act of love. Alpukat hijau cerah, ditabur sedikit flaky salt dan microgreens.
Naira menggigit roti itu perlahan, alpukat creamy meleleh di lidah, telur yang masih lembek pecah dengan kuning yang kaya. Rasa yang harusnya menenangkan tapi susah ditelan melewati benjolan di tenggorokan.
Mereka makan dalam diam. Bunyi garpu di piring terdengar keras di dapur yang sunyi. Sesekali mata mereka bertemu, pertukaran silent encouragement. Saat Ratna datang menjemput, Doni mengantarnya ke pintu.
"Ingat." Bisikannya hangat di telinga Naira, cukup pelan agar Ratna tidak dengar. "Kamu pejuang, bukan korban. Kamu ambil kendali."
Naira tersenyum tipis. "Pulang. Aku akan pulang."
"Ya. Ini rumahmu sekarang."
Beberapa jam kemudian, kabar demi kabar masuk lewat pesan. Update singkat dari Ratna: sampai di kantor polisi, bertemu pengacara, mulai memberikan pernyataan. Doni membalas setiap pesan dengan cepat, meskipun Naira tidak bisa membalas.
Doni mencoba fokus memasak. Memotong sayuran untuk sup. Tapi pisau bergerak lebih lambat dari biasanya. Matanya terus melirik ke ponsel yang tergeletak di meja. Layar gelap. Diam.
Jam menunjuk pukul dua. Tidak ada kabar.
Tiga. Masih sepi.
Jari-jarinya mengetuk meja, ritme gelisah yang tidak bisa ia hentikan. Tuk. Tuk. Tuk. Seperti detik jam yang terlalu lambat.
Empat sore.
Lima.
Lalu senja tiba.
Tanpa kabar.
Doni mencoba menghubungi. Tidak ada jawaban. Ponsel berdering kosong, nada tunggu yang terasa seperti keabadian. Ia menghubungi Ratna. Telepon diangkat, tapi yang terdengar hanya suara berisik, orang berteriak, bunyi-bunyi yang tidak jelas, seperti kekacauan.
Jantung Doni berhenti sedetik.
Hingga akhirnya ponsel Doni berdering. Ratna.
Suara di seberang panik, napas tersengal. "Mas Doni, ada masalah. Rendra ada di sini. Dia tahu kami di sini, dan dia..."
Suara terputus.
Lalu terdengar jeritan Naira.
Dunia berhenti. Udara di paru-parunya menghilang. Setiap otot dalam tubuhnya menegang, darah membeku sesaat sebelum adrenalin meledak.
Tidak.
Doni berlari ke pintu, kaki bergerak sebelum pikiran sempat mengejar. Napasnya memburu, jantungnya seperti mau meledak di dada. Darah berdesir di kepala, telinganya berdengung. Pak Hendra sudah menunggu dengan kunci mobil di tangan, wajahnya serius.
"Cepat, Pak. Kantor polisi."
...---•---...
...Bersambung...