Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERLAMBAT
Angin pagi dari lereng Gunung Slamet berhembus lembut menyelimuti desa kecil Gumalar. Kabut tipis turun rendah, menempel di pucuk-pucuk pinus dan ladang yang baru disiram embun.
Di tengah suasana tenang itulah Arif Dirgantara berdiri, menatap hamparan jalan desa yang terasa asing namun menyesakkan dada.
Ia datang bukan sebagai pewaris keluarga Dirgantara.
Bukan sebagai direktur salah satu anak perusahaan di Jakarta.
Ia datang sebagai lelaki yang baru menemukan kebenaran pahit tentang hidupnya.
Dua puluh tahun penantiannya terjawab dalam satu map dokumen rahasia—map yang ia temukan tersembunyi di ruangan kerja ayahnya, Hartono Dirgantara.
Di dalamnya terdapat:
laporan kecelakaan lama
catatan medis seorang perempuan
foto-foto yang membuat napasnya tercekat
dan nama yang berusaha ia kubur dalam di hatinya:
Retno Kinasih
Wanita yang pernah ia cintai.
Wanita yang hilang begitu saja.
Wanita yang ternyata tidak hilang—tetapi diambil.
Bukan oleh takdir.
Bukan oleh keadaan.
Tetapi oleh kedua orang tuanya sendiri, Hartono dan Diah Ningrum.
Dan kini keduanya hidup dalam penyesalan yang menyiksa.
Hartono sendiri berkata dengan suara rapuh:
“Kami ingin menjauhkanmu dari Retno karena statusnya.
Kami ingin masa depanmu tetap di keluarga Dirgantara.
Kami tidak… bermaksud sejauh itu.
Ayah menyesal, Arif… Ayah menyesal…”
Penyesalan itu tidak mengembalikan 20 tahun hidup Retno.
Namun itu cukup untuk membuat Arif mengejar kebenaran.
Dan pengejaran itu membawanya ke sini.
Ke desa Gumalar, desa tempat Retno—yang kini dipanggil Sari—pernah tinggal.
Arif menghentikan mobil hitamnya di depan warung kayu sederhana. Ia turun, mengatur napas, lalu mendekati seorang bapak paruh baya.
“Permisi, Pak,” ujarnya sopan. “Apa Bapak mengenal seorang wanita ini pak, Arif menyodorkan selembar foto
Bapak itu berhenti menyapu.
Tatapannya berubah lembut.
“Ohh ini bu Sari Pak. Bu Sari orangnya baik, sangat sabar sama anak-anak. Beliau tinggal di ujung desa sana.”
Arif menelan ludah.
“Sekarang beliau masih tinggal di sini?”
Bapak itu menghela napas.
“Sayangnya tidak, Pak. Dua minggu lalu, Bu Sari dibawa anaknya ke luar negeri. Katanya sakit parah.”
Arif menegang.
“…anaknya?” suaranya bergetar.
“Iya, Pak,” jawab si bapak. “Anak laki-laki. Namanya Lanang Damar Panuluh. Tapi warga sini biasanya panggil Lanang saja.”
Nama itu menjalar ke tulang-tulang Arif seperti petir dingin.
Lanang…
Damar Panuluh…
Darah Arif berdesir.
Dia seakan mengingat sesuatu
“Iya, Pak. Nama bagus itu.”
Arif memalingkan wajah, menahan nafasnya yang mulai berat.
Arif memejamkan mata sekilas.
Retno hidup.
Dan ia melahirkan anaknya.
Dan Arif tidak pernah diberi kesempatan tahu.
Arif berjalan ke rumah kayu yang disebutkan warga. Rumah itu sederhana, penuh jejak kehidupan yang bersahaja.
Rumah itu kosong.
Benar-benar kosong.
Ia masuk perlahan.
Buku-buku pelajaran SD berdebu
Selendang warna biru muda tergantung rapi
Rak kecil berisi alat mengajar
Foto Sari bersama murid-murid SD
Di pojok… ada kursi kecil yang tampak sering dipakai Lanang belajar
Arif menyentuh meja kayu yang dingin.
Di sinilah Retno—Sari—hidup tanpa dirinya.
Di sinilah Lanang tumbuh tanpa tahu siapa ayah kandungnya.
Di sinilah keluarga kecil itu bertahan—tanpa tahu bahwa mereka dicuri dari Arif.
Arif mengusap wajahnya.
Dadanya nyeri seperti ditusuk berulang kali.
Beberapa warga berkumpul saat Arif kembali ke warung.
“Bu Sari itu guru SD yang baik, Pak,” kata seorang ibu. “Beliau ini sayang sama murid-muridnya. Tapi memang sering sakit kepala.”
Arif mengangguk, merasa tertusuk.
“Iya, Bu. Kalau Lanang?”
“Lanang? Masyaallah itu anak pinter banget, Pak! Dapat beasiswa dari yayasan apa dulu ya…”
“Yayasan Kinasih,” bapak tadi menimpali.
Arif terpaku.
Hatinya jatuh.
Yayasan Kinasih adalah yayasan yang ia dirikan sendiri untuk mengenang Retno.
Dan tanpa sadar, ia mensponsori pendidikan anaknya sendiri.
“Beasiswanya kok berhenti ya, Bu?” tanya Arif, pura-pura tidak tahu.
“Karena Lanang pindah kampus, Pak. Terus Bu Sari makin sakit. Dua minggu lalu, mereka pergi ke luar negeri. Entah ke mana.”
Arif menggenggam celananya erat-erat.
Dua minggu terlambat.
Ia kehilangan jejak dua orang yang paling ingin ia temui.
Data yayasan berhenti.
Riwayat rumah sakit tidak ada.
Jejak perjalanan tidak ditemukan.
Warga tidak tahu negara tujuan.
Lanang dan Sari—Retno—menghilang.
Arif berdiri lama di depan rumah itu, menatap jendela yang kosong.
“Sari… Retno…” bisiknya patah.
“Aku datang terlambat lagi.”
Ia menyentuh kusen pintu dengan tangan gemetar.
“Aku akan menemukan kalian. Aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama.”
Dengan tekad yang jauh lebih besar daripada penyesalannya, Arif melangkah pergi.
Mobil Arif Dirgantara berputar pelan meninggalkan desa Gumalar.
Perjalanannya baru dimulai.
menarik