NovelToon NovelToon
Cinta Yang Tak Seharusnya Ada

Cinta Yang Tak Seharusnya Ada

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Pengganti / Balas Dendam / Cinta setelah menikah
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: SunFlower

Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#21

Happy Reading...

.

.

.

Arvino melangkahkan kakinya memasuki kediaman keluarga Ardiansyah. Pandangannya langsung tertuju pada Rico, calon mertuanya yang sedang duduk di kursi utama sambil memijat pelipis. Ketegangan langsung terasa begitu Arvino mendekat.

“Pa…” sapa Arvino pelan.

Rico menoleh cepat. Tatapannya tajam, penuh tuntutan dan kekesalan yang sudah tidak ia sembunyikan lagi seperti biasanya. Biasanya, Rico akan bersikap sedikit lebih lunak pada Arvino, paling tidak demi menjaga  kesan hubungan baik antara dua keluarga itu. Namun kali ini tidak. Yang ada hanya amarah seorang ayah yang kehilangan putrinya.

“Apa sudah ada kabar?” tanya Rico tanpa basa-basi. “Apa kamu sudah menemukan lokasi di mana Naira berada?”

Arvino menelan ludah. Ia menggeleng pelan, tapi cukup jelas untuk menunjukkan bahwa memang belum ada perkembangan.

“Belum, Pa…” jawabnya lirih.

Rico mengangkat alis, kemudian mendengus kasar. “Lalu untuk apa kamu ke sini?” Nada suaranya terdengar makin keras, membuat Arvino terdiam sejenak. Ia tidak menyangka akan mendapat reaksi sekeras ini, meski ia tahu Rico sedang berada dalam kondisi emosi yang tidak stabil.

“Aku ke sini ingin pamit,” ucap Arvino akhirnya. “Aku harus pergi ke Singapura, Pa. Ada salah satu proyek yang mengalami sedikit masalah di sana. Kemungkinan aku akan berada di sana sekitar tiga sampai empat minggu.”

Rico langsung memutar tubuhnya sepenuhnya, menatap Arvino dari kepala hingga kaki. “Lalu bagaimana dengan nasib anakku?” serunya marah. “Kamu yang mengajak Naira pergi malam itu. Kamu yang mengajaknya keluar tanpa izin. Sekarang dia hilang! Dan seharusnya itu masih menjadi tanggung jawab kamu!”

Arvino terdiam beberapa detik, merasa kata-kata Rico menghantam dadanya keras. Ia menundukkan kepala.

“Maafkan aku, Pa… Aku akan cepat menyelesaikan semuanya dan segera kembali. Orang-orangku akan tetap mencari Naira selama aku di sana.”

“Orang-orangmu?” Rico tertawa sinis sambil bangkit dari duduknya. “Orang-orangmu yang tidak becus itu? Yang sudah berminggu-minggu tidak ada hasil apa pun?”

Arvino hanya menunduk semakin dalam. Ia tahu membantah hanya akan memperburuk situasi.

“Pergilah!” Ucap Rico kasar sambil melambaikan tangan. "Tidak ada gunanya juga kamu di sini.”

Tanpa berani menatap lagi, Arvino pun pergi meninggalkan ruangan itu. Ketika langkahnya menghilang di balik pintu, suasana ruang tamu langsung sunyi... sebelum akhirnya pecah lagi oleh suara pecahan kaca.

PRANGGG!!!!!

Rico membanting vas bunga porselen yang berada di meja sampingnya. Pecahannya berhamburan, memenuhi lantai. Tepat setelah itu, Tika istrinya berlari kecil ke arahnya dengan wajah panik.

“Pa…” panggil Tika ragu. Ia menyentuh lengan suaminya pelan, mencoba menenangkan. “Papa kenapa?” tanyanya.

Rico menarik napas kasar, matanya memerah oleh amarah yang terus ia tahan.

“Kalau saja bukan karena kontrak ratusan miliar itu,” ucapnya dengan nada penuh kejengkelan, “aku tidak akan menjodohkan Naira dengan lelaki manja tidak berguna itu.”

Tika terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia sudah memikirkan hal itu sejak lama, namun tidak berani mengatakannya karena tahu suaminya tidak suka dibantah.

“Setelah membuat sumber uangku menghilang...” lanjut Rico sambil menunjuk pintu tempat Arvino keluar. “Dia malah pergi. Lalu menyerahkan seluruh tanggung jawabnya kepada anak buahnya yang sama-sama tidak becus seperti dirinya!”

Tika kembali mencoba berbicara, kali ini suaranya sangat hati-hati. “Aku sudah pernah mengingatkan Papa untuk mempertimbangkan pertunangan itu. Tapi Papa…”

“Diam kamu!” bentak Rico tiba-tiba, membuat Tika tersentak. “Kamu juga sama saja dengannya. Sebagai istri kamu tidak bisa melakukan apa-apa untukku! Kamu dan mereka semua... sama saja!”

Tika menunduk dalam, menahan luka di dadanya. Rico kemudian berjalan pergi meninggalkan ruangan, meninggalkan Tika sendiri dengan pecahan vas di sekelilingnya.

Ia menggigit bibir, menahan perasaan yang bercampur antara sedih, kesal dan kecewa. Baik pada suaminya maupun pada keadaan yang semakin rumit. Yang tersisa hanya sunyi, dan doa agar Naira dapat ditemukan sebelum semuanya menjadi semakin buruk.

.

.

.

Berbanding terbalik dengan suasana di keluarga Ardiansyah yang dipenuhi ketegangan dan amarah, suasana di rumah Raka justru mulai menghangat. Beberapa minggu setelah pernikahan mereka, perlahan-lahan rumah itu tidak lagi terasa hampa atau sunyi seperti sebelumnya. Kini, suara tawa kecil Jingga yang renyah berpadu dengan tawa lembut Naira yang mengalun dari ruang tengah.

Naira sedang duduk di lantai sambil membantu Jingga menyusun balok warna-warni. Sesekali Jingga tertawa karena balok yang ia susun roboh kembali, dan Naira ikut tertawa sambil mengacak rambut putri kecil itu. Raka berdiri tidak jauh dari sana, bersandar pada kusen pintu ruang keluarga sambil menyaksikan keduanya.

Tatapan Raka sulit diartikan. Ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Sesuatu yang mungkin bahkan tidak ia sadari sedang tumbuh dalam dirinya.

“Jingga, itu warnanya beda, sayang,” ucap Naira pelan sambil menunjuk balok biru yang diletakkan di atas balok merah muda. “Kalau kamu mau buat menara tinggi, kamu harus pilih yang ukurannya sama dulu sayang.”

Jingga mengerucutkan bibir, tapi lalu mengangguk pelan. “Baik mama.” jawabnya dengan suara kecil.

Nama panggilan itu. Raka masih sering terdiam setiap kali mendengarnya. Bukan karena ia keberatan, tetapi karena Jingga mengatakannya dengan begitu natural, seolah memang sejak awal Naira adalah ibunya. Padahal, semua itu terjadi begitu cepat. Sedangkan setiap Naira berbicara masih terdengar hati-hati. Masih formal. Masih penuh batas. Namun ada kelembutan yang tidak bisa disembunyikan.

Raka duduk di sofa, memandang keduanya beberapa saat tanpa berkata apa pun. Ia tidak tahu kapan tepatnya perasaan itu mulai berubah. Tapi beberapa minggu terakhir, ada hal-hal kecil yang mulai ia sadari.

Seperti cara Naira selalu memastikan makanannya terhidang tepat waktu, meski ia sendiri belum benar- benar lapar. Atau cara perempuan itu dengan sabar mendengarkan Jingga bercerita bahkan ketika ceritanya berulang-ulang. Atau cara Naira tertawa. Tawa yang terdengar tulus, bukan tawa terpaksa untuk menyenangkan orang lain.

Raka belum pernah melihat sisi itu dari Nayla. Bukan berarti ia hendak membandingkan, namun otaknya secara alami melakukannya. Nayla dulu lebih tertutup, sedikit lebih mudah tersinggung dan cenderung menjaga jarak bahkan ketika mereka sudah menikah. Naira berbeda. Ia manja, lembut, terbuka dan... membuat rumah ini terasa hidup.

“Mas lihat apa?” tanya Naira tiba-tiba, memergoki pandangan Raka yang tidak lepas dari dirinya.

Raka terkesiap kecil. Ia baru sadar sudah menatap terlalu lama. “Tidak. Saya hanya melihat kalian...” jawabnya dengan suara pelan.

Hening sesaat. Namun bukan hening yang membuat canggung. Lebih seperti hening yang nyaman, hening yang muncul dari dua orang yang perlahan belajar memahami satu sama lain.

"Apa papa boleh ikut bermain?" Tanya Raka pada putri kecilnya.

Jingga menganggukkan kepalanya. “Ayah pasti kalah!”

Naira ikut tertawa, menutup mulutnya dengan tangan. Tawa itu... tawa yang entah bagaimana mampu mencairkan hati Raka sedikit demi sedikit.

Selama beberapa menit mereka terserap dalam permainan sederhana itu. Jingga mengatur balok, Raka membantu menyeimbangkan, sementara Naira mengamati sambil sesekali memberi arahan.

Di sela-sela itu, Raka memperhatikan Naira. Cara perempuan itu membungkuk untuk membantu Jingga, cara ia mengusap dahi putri kecil itu, bahkan cara ia memandang dirinya, semua benar- benar terasa berbeda. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan.

Perlahan, Raka mulai menyadari hal yang selama ini ia coba abaikan. Bahwa hatinya, yang dulu ia kira mati bersama kepergian Nayla, ternyata masih bisa hidup kembali. Dan tanpa ia sadari, Naira lah yang perlahan membangunkannya.

Pada akhirnya, Raka tahu satu hal yang pasti. Ia mulai luluh.

.

.

.

Jangan lupa tinggalkan jejak...

1
Tutuk Isnawati
kasihan jingga
Tutuk Isnawati
berarti dua2 emg krg perhatian dan kasih sayang ortu pa jgn2 mreka bkn ank kndung
Tutuk Isnawati
iya bwa pergi aja kyanya tunangan nya nai jg jahat
chochoball: padahal raka juga jahat lohhh
total 1 replies
Tutuk Isnawati
semangat thor.
Tutuk Isnawati
trus hamil ank siapa dong naira
chochoball: Hayoooo anak siapa?
total 1 replies
Tutuk Isnawati
semangat thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!