Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Anna siuman
Hal pertama yang dilihat Anna adalah Dirga memeluk kedua anak mereka, wajah penuh luka tapi tatapan hangat, dan kedua bayi itu bersandar pada dada ayahnya.
Anna mengerjapkan mata, air mata langsung menggenang. Kedua bibirnya bergetar lemah.
“Anak … ku…”
Dirga menahan air mata, dia mendekatkan kedua bayi itu kepada Anna.
“Ya, Anna. Anak-anakmu … sudah aman.”
Alvaro menggeliat dan menyentuh tangan ibunya. Almira langsung meraih jari Anna dengan genggaman mungilnya. Anna menangis tanpa suara. Dirga tak bisa menahan lagi, air matanya tumpah.
“Kapten Dirga…” suara Anna rapuh. Dirga menunduk, dahi hampir menyentuh tangan Anna.
“Aku di sini.”
“Aku tidak akan pergi lagi.”
Ruangan itu hening, kecuali suara napas kecil dua bayi yang akhirnya tertidur dalam pelukan ayah mereka.
Suasana ruang perawatan berubah sunyi ketika Anna benar-benar siuman. Tangannya masih menggenggam jemari kedua bayinya yang tidur tenang di dada Dirga. Meski pucat, tatapannya sudah lebih fokus.
Tepat saat itu, pintu ruangan dibanting terbuka. Dokter Arman melangkah masuk dengan wajah merah padam, masih memakai sarung tangan yang belum sempat dilepas. Dua perawat mengikutinya dengan cemas.
"Kapten Dirga!"
Dirga menoleh pelan, seolah tidak melakukan kesalahan apa pun. Ia tetap duduk di pinggir ranjang Anna sambil memeluk kedua bayi yang berusia satu tahun itu.
“Kapten Dirga.” Dokter Arman mendekat sambil menunjuk dadanya dengan marah. “Saya sudah bilang Anda tidak boleh keluar dari ranjang setidaknya dua hari! Anda baru kehilangan banyak darah, luka robek di bahu belum dijahit ulang, dan tulang rusuk Anda memar!”
Dirga menghela napas pendek, jelas lelah tetapi tetap tenang.
“Dok … mereka menangis. Mereka butuh aku.”
“Butuh?!” Dokter Arman hampir melonjak.
“Yang butuh dirawat itu Anda sendiri! Kalau pembuluh darah bahu Anda terbuka lagi, Anda bisa pingsan di tempat! Dan siapa yang akan menolong keluarga Anda kalau Anda tumbang?!”
Anna memejamkan mata sebentar, suara dokter membuat kepalanya pening. Perawat mendekat untuk memastikan kondisinya. Dirga menunduk pada Anna, lalu kembali menatap dokter.
“Maaf, Dok. Tapi saya tidak bisa diam saja.”
Dokter Arman mengetuk-ngetuk clipboard-nya keras, frustasi.
“Kapten, Anda pasien terburuk yang pernah saya tangani, terburuk!”
Istri Mayor Kevin sampai menahan tawa kecil. Mayor Kevin berdiri di belakang dokter dengan wajah kaku, tetapi terlihat ingin ikut menertawai.
Dokter Arman mendengus keras. Ia mendekat dan memeriksa luka di bahu Dirga yang sudah terbuka kembali.
“Lihat? Ini robek lagi! Ini harus dijahit ulang!”
Dokter berteriak ke perawat, “Siapkan ruang tindakan!”
Dirga menggeleng, memeluk kedua bayinya lebih erat. “Nanti setelah mereka tidur.”
“Bukan nanti, sekarang!” Dokter menatapnya tajam. “Kalau Anda mati kehabisan darah, nanti mau saya tulis apa di laporan? Pasien tewas karena keras kepala dan terlalu ingin memeluk anaknya? Mana ada seperti itu!”
Bayi Almira menggeliat kecil karena suara keras. Anna membuka mata pelan.
“Dok…” suara Anna lirih, “jangan marah … Kapten Dirga hanya … ingin menenangkan anak-anaknya…”
Dokter Arman tertegun sejenak. Ia menatap Anna yang masih lemah tapi berusaha tersenyum kecil. Kemarahan dokter melembek, berubah menjadi helaan napas panjang.
“Ya Tuhan … keluarga ini benar-benar bikin kerja saya tiga kali lipat.”
Ia memijit pelipisnya.
“Kapal selam pun kalau bocor masih lebih mudah saya perbaiki daripada kalian.”
Perawat di belakangnya hampir tertawa tapi menahan diri. Akhirnya dokter mendekat, suaranya menurun.
“Kapten Dirga, tolong. Letakkan dulu bayi-bayi itu sebentar. Saya janji hanya beberapa menit. Setelah itu kamu bisa kembali di sini, duduk, pegang tangan Anna, peluk anak-anakmu … semuanya. Tapi biarkan saya merawatmu dulu.”
Dirga akhirnya menghela napas pasrah. Ia menatap Anna seolah meminta izin. Anna membalas tatapannya penuh lirih, “Pergilah … aku dan anak-anak menunggu.”
Dirga memberikan kedua bayi itu ke istri Mayor Kevin pelan, lalu berdiri, sedikit goyah. Dokter Arman langsung memegang lengannya kesal tapi khawatir.
“Kalau kamu jatuh, saya biarkan saja ya. Biar tahu rasa.”
Dirga hanya tersenyum lemah. “Saya tidak jatuh, Dok.”
“Belum,” gumam Dokter Arman, “nanti juga jatuh kalau terus keras kepala.”
Mereka keluar menuju ruang tindakan, meninggalkan Anna yang menatap punggung Dirga dengan mata berkaca-kaca namun penuh syukur.
Pintu ruang tindakan akhirnya terbuka. Dirga berjalan kembali dengan langkah pelan tetapi stabil. Bahunya kini diperban ulang lebih tebal, lebih ketat. Nafasnya sedikit terengah karena anestesi lokal baru saja hilang.
Begitu Dirga kembali ke ruang perawatan, dua perawat langsung sigap memegang lengannya dan memandu ke kursi di samping ranjang Anna.
Dokter Arman menyusul dari belakang dengan wajah yang masih marah, tetapi di balik itu terlihat jelas ada kekhawatiran yang lebih dalam.
“Letakkan diri kamu di sini,” kata sang dokter sambil menunjuk kursi. Dirga diam, hanya mengangguk, lalu duduk. Perawat mulai membuka sedikit perban untuk memeriksa apakah jahitannya aman.
Dan benar saja, darah merembes lagi. Perawat itu menelan ludah gugup. “Dok … sepertinya jahitannya...”
“Ayahmu!” Dokter Arman langsung memutar badan dan memekik, “Ayahmu! Kau ini sama persis seperti Ayahmu!”
Perawat sampai spontan mundur. Anna yang masih lemah membuka mata, menatap mereka dengan bingung. Dokter Arman menunjuk Dirga dengan alat pemeriksa seperti menunjuk anak kecil yang ketahuan nakal.
“Kapten Dirga, saya bilang jangan gerak banyak! Baru dijahit, baru diberi obat, baru dinaikkan perbannya ... Astaga! Kamu pikir ini luka gigitan semut?!”
Dirga hanya menatap dokter tanpa membantah. Dia tahu dia salah, tapi fokusnya hanya satu, Anna dan bayi-bayinya. Dokter Arman menarik kursi, lalu duduk tepat di depan Dirga, wajahnya berubah lebih serius, lebih berat.
“Dulu,” katanya perlahan, “Mayor Septi ... ayahmu ... juga begini.”
“Dia terlalu sayang pada keluarganya,” lanjut dokter.
“Meskipun tubuhnya sudah habis-habisan, dia tetap memaksakan diri bertempur. Dan … ketika kecelakaan itu terjadi, tidak ada yang tahu kalau dia punya seorang anak berusia lima belas tahun.”
Dokter Arman menatap Dirga tajam.
“Tidak ada yang tahu kalau kamu masih hidup. Tidak ada yang tahu kalau pewarisnya ada.”
Hening menyelimuti ruangan, Perawat menahan napas. Anna menatap Dirga dengan mata membesar, baru menyadari betapa panjang luka masa lalu yang dipikul suaminya itu.
Suara Dokter Arman menurun, menjadi berat.
“Musuh merasa aman karena mereka pikir garis keturunan Mayor Septi sudah putus. Mereka pikir tak ada yang akan membalas dendam. Mereka pikir tak ada lagi otak militer jenius yang akan mengejar mereka.”
Kemudian dokter mencondongkan tubuhnya, suaranya seperti bisikan namun penuh tekanan:
“Lalu kau muncul. Kapten Dirga.” Dirga mengencangkan rahang. Dokter Arman menyipitkan mata.
“Sekarang katakan padaku…”
“Apa yang akan kau lakukan terhadap keluarga Tuan Asmir setelah semua ini?”
Ruangan terasa seperti menahan napas. Dirga mengangkat kepalanya. Sorot matanya berubah. Bukan amarah membabi buta, tapi ketegasan seorang pria yang kehilangan, terluka, dan berjanji membalas dengan cara paling terhormat. Dengan suara rendah dan terkontrol,
“Saya akan melakukan apa yang Ayah saya ajarkan…”
Ia menatap tangan Anna yang tergeletak di ranjang, lalu kembali menatap dokter.
"Menyeret mereka ke meja hukum. Bukan dengan emosi, tapi dengan bukti dan strategi.”
Ia menarik napas dalam.
“Saya akan pastikan Anna dan anak-anak saya aman. Lalu memastikan keluarga itu tidak bisa menyakiti siapa pun lagi.”
Tatapannya mengeras,
“Saya tidak membunuh mereka, Dok. Saya menghabisi kekuasaan mereka. Itu lebih menyakitkan bagi orang seperti mereka.”
Dokter Arman menatap Dirga lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Jawaban itu…” dokter berdiri, “itu jawaban yang membuat ayahmu bangga.”
Ia merapikan jas labnya.
“Sekarang diam. Jangan banyak gerak. Atau saya sumpal kamu dengan obat penenang.”
Dirga hanya tersenyum tipis.
anak" memang matahari, bulan ,sekaligus bintang bagi seorang ibu. Mereka adalah kehidupannya, penerang dalam gelap sekaligus keindahan bagi ibu.
sdh saatnya km bahagia anna sm kapten Dirga .
ayo semangaaatt 💪