NovelToon NovelToon
1000 Hari Bersamamu

1000 Hari Bersamamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romantis / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Romansa
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Mardonii

Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.

Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.

Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3. HARI PERTAMA DIRUMAH NAIRA

..."Kadang yang paling sunyi bukan rumah kosong, tapi rumah yang ditinggali seseorang yang berhenti hidup di dalamnya."...

...---•---...

Mobil hitam mengilap melaju tenang menembus jalan berkelok di Dago Pakar. Doni duduk di kursi belakang, tas ransel lusuh tergeletak di pangkuannya. Di dalamnya hanya ada pakaian sederhana, pisau koki kesayangan yang sudah menemaninya sepuluh tahun, dan foto Sari dalam bingkai kecil. Hanya itu yang ia bawa dari hidup lamanya.

Sopir yang membawanya, Pak Hendra, pendiam tapi sopan. Sejak menjemput Doni dari Dapur Sari setengah jam lalu, ia hanya bicara seperlunya. Keheningan di dalam mobil terasa formal, berbeda dengan riuhnya angkot yang biasa Doni tumpangi.

Doni sibuk menenangkan detak jantungnya yang mulai tidak beraturan. Rumah-rumah mewah berdiri megah di kanan kiri jalan, tersembunyi di balik pagar tinggi dan deretan pohon rindang. Setiap rumah seperti istana kecil dengan halaman luas dan gerbang otomatis. Udara di sini pun berbeda: sejuk, bersih, tanpa campuran asap knalpot atau bau sampah dari pasar.

Ini bukan duniaku.

"Kita sudah sampai, Pak." Pak Hendra memecah keheningan.

Mobil berhenti di depan gerbang besi tinggi. Kamera keamanan memindai mobil. Pak Hendra melambaikan kartu akses ke sensor. Gerbang terbuka otomatis tanpa suara.

Doni menelan ludah. Tenggorokannya kering. Keringat mulai terbentuk di telapak tangannya meski udara sejuk.

Di balik gerbang, jalan setapak menuju rumah yang lebih tepat disebut puri. Bangunan dua lantai dengan arsitektur modern minimalis, dominan warna putih dan kaca lebar. Taman depan tertata rapi: rumput hijau seperti permadani, pohon hias berdiri seimbang, dan air mancur kecil berkilau. Pemandangan itu begitu sempurna hingga terasa tidak nyata.

"Silakan turun, Pak Doni. Ibu Ratna sudah menunggu."

Doni keluar dari mobil. Kakinya terasa berat, seperti menginjakkan kaki ke wilayah asing yang tidak menyambutnya. Udara di sini terlalu sejuk untuk bulan November.

Pintu depan terbuka. Seorang wanita berusia sekitar empat puluhan keluar mengenakan blazer abu-abu dan rok pensil hitam. Rambutnya diikat rapi, kacamata bertengger di hidungnya. Setiap gerakannya terukur, efisien, tanpa satu detik terbuang.

"Selamat pagi, Pak Doni. Saya Ratna, manajer sekaligus asisten pribadi Nona Naira." Genggamannya kuat dan tegas. "Selamat datang. Silakan masuk."

Doni mengikutinya masuk. Langkah pertamanya di lantai marmer putih mengilap terasa seperti melangkah ke dunia lain. Ruang tamu luas terbentang dengan sofa putih besar berbentuk L, meja kopi kaca yang mengilat, dan lukisan abstrak raksasa di dinding. Jendela kaca dari lantai ke langit-langit menampilkan pemandangan kota Bandung. Kabut pagi masih menyelimuti sebagian gedung di kejauhan, siluet Gedung Sate samar terlihat di antara kabut tipis.

Semuanya bersih. Rapi. Tanpa noda. Seperti rumah pameran, bukan rumah yang dihuni.

Doni berdiri canggung. Tangannya yang kasar dan penuh bekas luka bakar terasa asing di tengah kemewahan ini, seperti noda yang tidak sengaja masuk ke lukisan sempurna.

"Silakan duduk sebentar. Saya ambil dokumen kontrak." Ratna menghilang ke ruangan lain, sepatu haknya mengetuk lantai marmer dengan ritme teratur.

Doni duduk di ujung sofa, hampir tidak berani bersandar. Tasnya ia letakkan di lantai. Matanya menjelajah, mencari sesuatu yang familiar, sesuatu yang terasa manusiawi.

Tidak ada foto. Tidak ada bingkai yang menampilkan wajah tersenyum atau momen bahagia. Tidak ada sentuhan personal yang membuat rumah terasa bernyawa. Hanya furnitur mahal, dekorasi dingin, dan keheningan yang memekakkan telinga.

Seperti rumah yang ditinggali hantu. Atau lebih buruk, rumah yang ditinggali seseorang yang berhenti hidup di dalamnya.

Ratna kembali dengan map tebal berlogo PT Kulina Rasa Sejahtera. Ia duduk di sofa seberang, membuka map dengan gerakan efisien.

"Baik, Pak Doni. Kita mulai pembacaan kontrak. Lima puluh pasal, lalu Bapak tanda tangan di setiap halaman."

Doni mengangguk. Tenggorokannya masih kering. "Baik."

"Pasal satu, durasi kontrak: Koki pribadi akan melayani klien selama seribu hari kalender berturut-turut..."

Suara Ratna mengalun datar, monoton. Doni berusaha fokus, tapi pikirannya melayang. Di mana Naira? Bukankah seharusnya klien bertemu kokinya sendiri di hari pertama?

"...Pasal dua belas, batasan profesional. Koki pribadi dilarang keras untuk terlibat dalam hubungan personal di luar konteks profesional dengan klien..."

Suara Ratna berhenti. Ia melepaskan kacamatanya dan menatap Doni tajam, mata coklatnya menusuk.

"Pasal ini sangat penting, Pak Doni. Saya perlu pastikan Bapak benar-benar memahaminya."

"Saya paham. Tidak ada kontak yang tidak perlu. Hubungan murni profesional."

"Bukan hanya itu." Ratna bersandar, jari-jarinya mengetuk map pelan, bunyi kuku di kertas tebal terdengar seperti hitungan mundur. "Nona Naira sedang dalam masa pemulihan. Ia tidak membutuhkan tambahan masalah apa pun. Ia membutuhkan stabilitas, rutinitas, dan yang terpenting, batasan yang tidak boleh dilanggar. Bapak di sini bukan teman, bukan terapis, apalagi... hal lain. Bapak di sini hanya untuk memasak. Titik."

Cara Ratna mengucapkan "hal lain" membuat Doni merasakan tekanan yang menusuk, seperti pisau yang digoreskan pelan di kulit tanpa melukai tapi cukup untuk memberi peringatan.

Pemulihan dari apa? Perceraian? Atau ada sesuatu yang lebih gelap yang media tidak tahu?

Naira Adani. Aktris cantik, terkenal, dan saat ini rapuh. Kombinasi yang berbahaya bagi seorang koki yang akan menghabiskan seribu hari bersamanya.

"Saya mengerti. Saya di sini karena membutuhkan uang untuk menyelamatkan restoran saya. Bukan untuk hal lain."

Ratna menatapnya sejenak, lalu mengangguk puas. "Bagus. Kita lanjut."

Pembacaan berlanjut. Pasal demi pasal. Larangan demi larangan. Hingga akhirnya Ratna menutup map dan menyodorkan pulpen mahal berbahan logam dingin.

"Silakan tanda tangan di setiap halaman yang sudah saya tandai. Total ada lima belas halaman."

Tangan Doni bergerak mekanis meski jari-jarinya terasa kaku. Tanda tangan. Halaman baru. Tanda tangan. Pulpen terasa berat di tangannya, lebih berat dari pisau koki yang biasa ia pegang berjam-jam. Setiap goresan terasa seperti mengikat dirinya dengan rantai tak kasat mata, menjual kebebasannya selama seribu hari. Keringat mulai terbentuk di telapak tangannya, membuat pegangan pulpen licin.

"Selamat, Pak Doni. Kontrak resmi berlaku mulai hari ini. Sekarang saya antar Bapak ke kamar dan dapur."

Mereka berjalan melewati lorong panjang dengan lantai kayu parket yang berkilau. Lukisan abstrak tergantung di dinding, tapi tidak ada foto pribadi. Rumah ini lebih mirip hotel bintang lima daripada tempat tinggal.

"Ini kamar Bapak." Ratna membuka pintu di ujung lorong.

Doni melangkah masuk dan nyaris terdiam. Kamar itu lebih besar dari ruang tamu Dapur Sari. Ada tempat tidur besar dengan seprai putih bersih, lemari tanam, meja kerja, dan jendela lebar menghadap taman belakang. Cahaya matahari masuk lembut melalui gorden tipis berwarna krem.

"Semua keperluan pribadi sudah disediakan. Kalau ada yang kurang, beri tahu saya atau Mbak Tuti, asisten rumah tangga." Ratna berdiri di ambang pintu. "Istirahat sebentar, lalu saya tunjukkan dapur. Makan siang harus siap pukul dua belas lewat tiga puluh menit."

"Nona Naira ada permintaan khusus untuk menu hari ini?"

Ratna sempat terdiam. Sorot matanya sedikit berubah, ada sesuatu yang melintas di sana, kehati-hatian, atau mungkin kekhawatiran. "Nona Naira... tidak punya preferensi akhir-akhir ini. Buat saja apa yang Bapak rasa baik. Tapi hindari makanan terlalu berat atau berminyak. Ia sedang menjaga pola makan."

Atau mungkin sedang tidak makan sama sekali.

"Baik, saya akan siapkan sesuatu yang ringan tapi bergizi."

Ratna mengangguk lalu pergi. Bunyi klik pintu terdengar final.

Doni menaruh tasnya di tempat tidur, mengeluarkan foto Sari, dan meletakkannya di meja samping. Wajah Sari yang tersenyum lebar memberi kehangatan kecil pada ruangan yang terasa steril ini.

Jari-jarinya menyentuh bingkai foto, menyapu debu tipis yang masih menempel dari perjalanan. Dadanya sesak.

"Aku sudah sampai, Sari," bisiknya pelan, suaranya serak. Tenggorokannya tercekat. "Doakan aku bisa lewati hari pertama dengan baik. Doakan aku tidak kehilangan diriku di sini."

Setelah menyimpan pakaian, Doni keluar mencari dapur. Tidak sulit menemukannya. Begitu melangkah masuk, ia terpana.

Dapur itu surga bagi setiap koki. Meja dapur marmer besar dengan kompor gas enam tungku profesional. Oven listrik ganda. Kulkas besar baja nirkarat. Rak bumbu lengkap dengan rempah dari seluruh dunia. Pisau-pisau profesional tersusun rapi di dudukan magnetik. Panci dan wajan premium tergantung rapi di atas meja dapur.

Jendela besar menghadap taman belakang. Cahaya alami masuk sempurna, membuat dapur terasa luas dan nyaman.

Doni membuka kulkas. Di dalamnya, bahan makanan segar tertata rapi: sayuran organik, daging premium, ikan segar, berbagai keju, dan produk susu. Semua berkualitas tinggi, pilihan terbaik yang bisa dibeli uang.

Senyum tipis muncul di wajahnya. Setidaknya untuk memasak, ia punya semua yang dibutuhkan.

Tapi kemudian ia sadar. Dapur sehebat ini untuk siapa? Untuk perempuan yang bahkan tidak mau turun bertemu kokinya sendiri?

Ironi itu menusuk pelan, seperti jarum yang masuk ke kulit tanpa terasa sampai terlambat.

Doni mengambil dada ayam organik, sayuran segar, dan bumbu-bumbu. Keputusannya bulat: Sup Ayam Jahe dengan Sayuran. Hidangan sederhana, hangat, dan menenangkan. Makanan yang mengingatkan pada rumah, pada kehangatan yang hilang.

Tangannya mulai bergerak otomatis. Potong ayam. Bersihkan sayur. Iris jahe tipis-tipis hingga aromanya yang tajam dan segar menyeruak, memenuhi hidung. Panaskan kaldu. Setiap gerakan menjadi meditasi, cara Doni berdoa tanpa kata-kata.

Aroma jahe mulai memenuhi dapur, disusul bawang putih yang ditumis dengan minyak wijen, lalu kaldu ayam mendidih perlahan. Uap panas naik ke udara, membawa kehangatan yang ia rindukan. Doni memasak dengan hati penuh, seperti yang selalu diajarkan Sari.

"Makanan yang dimasak dengan cinta akan terasa berbeda, Don. Orang yang memakannya akan merasakan kehangatan itu, walau mereka tidak tahu kenapa."

Pukul dua belas lewat dua puluh lima menit, sup sudah siap. Doni menuangkannya ke mangkuk porselen putih, menata sayuran di atasnya dengan hati-hati, lalu menaburkan daun bawang cincang dan bawang goreng sebagai hiasan. Warna-warna di mangkuk itu hidup: hijau segar, oranye cerah, putih bersih, dan kuning keemasan.

Ia menyiapkan nampan kayu, meletakkan mangkuk sup, sendok perak, serbet putih terlipat rapi, dan segelas air lemon hangat.

"Pak Doni, sudah siap?" Ratna muncul di pintu dapur tepat waktu. "Saya antar ke atas."

"Biar saya saja." Ini adalah upaya terakhir Doni untuk bertemu kliennya.

Ratna menggeleng tegas. "Tidak. Nona Naira tidak ingin bertemu siapa pun saat makan. Makanan diantar ke kamarnya, diletakkan di meja dekat pintu. Itu aturan mutlak."

Kekecewaan mencengkeram dada Doni, seperti tangan dingin yang meremas dari dalam. Ia sudah menuangkan kehangatan di dalam sup itu. Tapi ia bahkan tidak bisa melihat wajah orang yang akan memakannya.

"Tanggapan akan saya sampaikan nanti." Ratna mengambil nampan dengan hati-hati. "Ini untuk kebaikan semua pihak, Pak Doni. Nona Naira membutuhkan privasi."

Doni menatap punggung Ratna yang membawa nampan naik ke lantai dua. Langkah kakinya terdengar pelan di tangga, lalu menghilang. Suara pintu terbuka dan tertutup terdengar samar dari atas, lalu hening lagi.

Ia berdiri sendirian di dapur megah itu. "Ini akan jadi seribu hari yang sunyi," bisiknya, suaranya hilang di antara desisan kulkas dan dengung AC.

Doni membersihkan meja dapur, mencuci panci dan pisau, lalu mengeringkannya. Tangannya bergerak mekanis, tapi pikirannya melayang ke atas, ke lantai dua, ke kamar Naira yang tidak pernah ia lihat.

Tiga puluh menit kemudian, bunyi langkah kaki terdengar dari tangga. Ratna kembali membawa nampan. Dari jauh, Doni sudah bisa melihat: mangkuk sup masih penuh, hampir tidak tersentuh. Hanya air lemon yang berkurang sedikit.

Doni menatap mangkuk sup yang sudah dingin itu. Dadanya sesak, seperti ada yang meremas dari dalam, menarik napasnya keluar. Tangannya mengepal di sisi tubuh, kuku menancap ke telapak tangan. Tenggorokannya tercekat, napasnya tertahan di dada.

Kuah yang tadi jernih dan mengepul kini mulai berubah warna, lapisan minyak tipis mengapung di permukaan seperti film berminyak. Sayuran yang tadi segar kini terlihat layu, kehilangan warnanya, berubah kusam. Bawang goreng yang tadi renyah kini lembek, tenggelam di dasar mangkuk.

Perasaan hampa memenuhi dadanya, lebih berat dari kelelahan setelah berjam-jam di dapur.

"Ia tidak makan?"

Ratna meletakkan nampan di meja dapur dengan pelan, menghindari tatapan Doni. Ada rasa bersalah di wajahnya, tipis tapi terlihat. "Nona Naira... bilang terima kasih. Tapi ia tidak lapar."

Tidak lapar. Kata-kata yang paling menyakitkan bagi seorang koki.

Doni menatap mangkuk sup itu lebih lama. Ia sudah menuangkan kehangatan, harapan, dan usahanya di sana. Tapi semua itu ditolak tanpa dicoba.

"Besok coba lagi, Pak Doni." Ratna menyentuh bahunya sebentar, gerakannya lembut, tidak seperti profesionalitasnya yang kaku tadi. "Ini bukan tentang masakan Bapak. Ini tentang dia."

Tapi bagi Doni, masakannya adalah dirinya. Dan hari ini, dirinya ditolak.

...---•---...

...Bersambung...

1
PrettyDuck
ini real. sama kayak aku yang bangun tidur langsung nanya dlm hati. pagi makan apa ya? siang? 🫠
PrettyDuck
ini naira lagi flirting bukan sih? wkwkwk
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅
jadi ngiler... 🤤🤤 pake perasaan jeruk nipis.. kerupuk udang. nasi.. aahhh enakkk.🤤
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅
dah boros gas aja masak 4 jam...
jiwa matematika aku meronta .🤣🤣🤣
𒈒⃟ʟʙc🏘⃝Aⁿᵘᴍɪss_dew 𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅
kan.. dia sendiri lohh yang nyamperin. bukan Doni..
LyaAnila
foto dulu berarti. biar kalau mau lagi minta Doni buat bikinin yang sama persis😄😄
LyaAnila
pelan-pelan nggak papa. semuanya juga butuh proses kok. nggak langsung bisa sembuh
LyaAnila
betul dan aku sudah mendapatkan nya. meskipun hanya sebatas kakak adik😄
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
lanjutno dewe lah pak, aku cpek weh/Left Bah!/
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
lah ktanya tugas dia hnya masak, trus skrg di sruh memagami secra emosional, gmn sih pak/Right Bah!/
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
24 jam lah dipikir dia cctv hidup apa? weh dia manusia woy,
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
busyet busyet kek krja sama presiden aja beh
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
busyet knp nggk di genapi 100 pak biar afdol/Chuckle/
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
nmun blm tntu di terima naira🥲
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
Karena kontrak yang di tulis dg perasaan akan membekas di hati dr od kontrak yg di tulis dg tinta
Cahaya Tulip
ah so sweet akhirnya hati yang terkunci sudh terbuka.. bu Ratna bosnya sdh makan tolong dimaklumi🤭
@dadan_kusuma89
Hati-hati, Don! Yang kau genggam adalah benda tajam, jangan sampai kau lepas kontrol melakukan tindak kriminal 😁.
@dadan_kusuma89
Kenyamanan sudah mulai timbul diantara kalian berdua. Aku harap, ini akan menjadi awal yang baik untuk kelangsungan hidup kalian ke depan.
@dadan_kusuma89
Kau tidak salah apapun terhadap Sari, Don! Bagaimanapun juga, hidup harus terus berjalan. Jangan sampai hidupmu terhambat karena kau selalu merasa bersalah terhadap seseorang di masa lalumu. Mantapkan hatimu, Don! Lihatlah ke depan!
Rezqhi Amalia
ka.n memang tugasnya. malahan dia dikontrak seribu hari
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!