bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
rencana tes dna
Helena terus memandangi Amira. Tatapan itu bukan sekadar pandangan kosong—ada air mata yang menggantung di pelupuknya, seolah menahan rasa yang bertahun-tahun terkubur.
“Sebaiknya Ibu ke kamar, Bu,” ucap Aston, suaranya datar.
Namun Helena tetap diam, genggamannya pada tangan Amira justru semakin erat, seakan tak rela dilepaskan. Ada ketakutan, tapi juga kerinduan yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Aston mulai mendorong kursi rodanya, namun tangan Helena tak melepas.
“Biar aku saja yang dorong, Bu,” ucap Amira lembut.
Helena menoleh, menatap Amira dengan mata berbinar. Bibirnya membentuk senyum kecil, lalu mengangguk pelan. Seolah baru kali ini tubuh tuanya merasa aman.
Amira mulai mendorong kursi roda itu perlahan.
“Rio, bawa dia,” perintah Aston dingin sambil menunjuk Renata.
“Ibu... kumohon. Ibu mertuaku ikut denganku,” pinta Amira, suara gemetar namun tegas.
Tatapan Aston tajam, menusuk. Tapi Helena justru menggenggam tangan Amira lebih erat, lalu mengangguk pelan.
Renata menatap Amira penuh haru.
Amira menoleh cepat ke Aston, menjulurkan lidah dengan jenaka.
Untuk pertama kalinya, ruang itu terasa sedikit lebih hangat.
Aston melihat kepergian amira yang mendorong kursi roda helena diikuti renata
“Perketat penjagaan pada Ibu,” ucap Aston tanpa ragu.
Rio menoleh, keningnya mengernyit. “Tuan, mereka hanya orang asing. Apa tidak terlalu berbahaya memberi mereka akses begitu dekat?”
Aston mendesah pelan. Matanya tak lepas dari pintu kamar tempat Helena baru saja dibawa masuk. “Melihat Ibu bisa bicara setelah dua puluh tujuh tahun... rasanya aku harus membiarkan mereka hidup sedikit lebih lama. Aku akan laporkan semuanya pada Ayah.”
Rio menunduk, “Baik, Tuan.”
Aston merogoh sakunya, mengambil ponsel, dan menekan nomor yang sangat ia kenal.
“Ya, Nak? Ada apa?” suara Alesandro terdengar berat tapi penuh kehangatan.
“Ibu sudah bisa bicara, Yah,” kata Aston pelan.
“Yang benar kamu, Aston?” Nada Alesandro berubah, kali ini penuh keterkejutan dan haru.
“Iya, Ayah.”
“Siapa yang menyembuhkan? Dokter? Tabib? Aku harus berterima kasih…”
“Bukan dokter, bukan tabib, bukan juga obat.”
“Lalu?” tanya Alesandro penasaran.
Aston menceritakan pertemuan Helena dengan Amira, bagaimana perempuan muda itu entah bagaimana memicu sesuatu dalam diri ibunya yang bisu puluhan tahun.
“Jadi... Renata tidak mati?” gumam Alesandro.
“Iya. Memangnya kenapa, Yah?”
Alesandro menggeram, “Nenek tua itu terus menuduhku dalang kecelakaan Renata dan menantunya…”
Aston mengangguk kecil. “Kalau begitu... bagaimana kalau kita bunuh saja Renata, untuk membalas kehilangan adik perempuanku?”
“Jangan dulu,” suara Alesandro tenang, tapi dingin. “Aku sedang menunggu dalang sebenarnya muncul.”
“Kalau begitu, soal Amira... bagaimana?”
“Lakukan tes DNA. Kita harus tahu siapa dia sebenarnya,” ujar Alesandro mantap.
“Baik, Yah. Akan aku urus.”
Mari kita mengintip sepotong kehidupan Andika—lelaki muda yang hidup di antara tuntutan warisan dan suara hati yang kian samar.
“Sayang, aku mau beli tas ini,” ujar Bianka dengan mata berbinar, tangannya sudah menggenggam tas bermerk yang harganya cukup untuk makan satu keluarga selama berbulan-bulan.
“Ambil saja, Sayang,” jawab Andika, tersenyum meski dalam hati bertanya, kenapa ya... wanita bisa belanja seperti tak kenal batas? Bukankah baru minggu lalu dia belanja hal yang sama?
Ponselnya berdering. Nama Viona—sosok yang paling ia hormati dan tak bisa ia abaikan—muncul di layar.
“Andika, kapan kamu akan menyelidiki kematian ibumu?” suara Viona terdengar tajam.
“Aku sedang melakukannya, Oma,” jawabnya pelan.
“Jangan buang waktu. Ibumu pantas mendapat keadilan.”
Klik. Sambungan terputus.
“Siapa, Sayang?” tanya Bianka, masih asyik melihat rak-rak butik.
“Oma Viona.”
“Oh, pasti nanyain kapan kita nikah, ya?” Bianka tersenyum percaya diri.
“Bukan. Oma minta aku fokus menyelidiki kematian Ibu.”
Bianka mengangkat bahu. “Ya ampun, udahlah... sudah meninggal, buat apa dibahas terus?”
Andika menatapnya. Dingin. Ada keanehan—mengapa tidak ada sedikit pun empati?
“Sayang, maksudku... kamu juga harus pikirin kebahagiaan kamu. Kamu kan dari kecil dikekang. Sekarang waktunya kamu bebas,” ucap Bianka cepat, mencoba memperbaiki.
Andika menghela napas. Seminggu terakhir, hidupnya hanya berputar di sekitar Bianka—spa, belanja, makan malam mewah, nongkrong dengan teman-teman Bianka. Hingga ia lupa… bahwa ibunya mati tak wajar. Dan ia belum bekerja satu hari pun.
Hari ini ia bertekad ke kantor.
Tapi Bianka kembali menarik tangannya. “Sayang... aku lihat sepatu lucu banget tadi.”
“dika kemana saja kamu kenapa jarang ke kantor?” tanya seseorang
Andika meneloh ke sumber suara, ternyata pamannya bagus
“paman aku masih masa berkabung jadi aku ga bisa kekantor”
“dika kamu itu presiden direktur para staf mencari kamu, banyak keputusan yang terbengkalai gara-gara kamu tidak ada” ingat bagus
Andika menhela nafas panjang\,|”benar sekali kata ibu\, aku tanpa kuasa bukan siapa-siapa sekarang paman bagus berabi neyuruhku” guman andika dalam hati
“Tapi ada Robert yang aku percaya untuk menangani semuanya, Paman,” ujar Andika, berusaha tetap tenang di tengah tekanan yang mulai menyesakkan.
Bagus menggeleng pelan, suaranya berat. “Robert sudah empat hari tidak masuk, Dika. Dan dia tidak bisa dihubungi.”
Segera, Andika mengambil ponselnya dan mencoba menelepon Robert. Hening. Layar menunjukkan nomor tidak aktif. Dada Andika terasa sesak. Ada yang tidak beres, dan ia tahu itu.
“Kamu harus segera ke kantor, Dika,” ucap Bagus tegas, tanpa memberi ruang penolakan.
Andika menoleh ke arah Bianka. Perempuan itu berdiri di sudut ruangan, memandangnya dengan mata yang tak bisa menyembunyikan kekecewaan.
“Sayang… maafkan aku, ya. Aku harus ke kantor sekarang,” ujar Andika lembut.
Bianka tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku mengerti.”
Andika pun berpamitan pada pamannya, yang hanya membalas dengan anggukan, lalu melangkah pergi.
Begitu suara mobil Andika menjauh, Bagus menoleh pada Bianka. Senyumnya samar namun dalam.
“Bianka,” panggilnya.
“Ya, Om?” jawab Bianka cepat, seolah sudah menanti.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Sekarang aku pewaris sah. Kamu boleh beli apa pun yang kamu inginkan,” ucap Bagus sambil menatapnya dalam.
Bianka tersenyum cerah, menggandeng lengan Bagus tanpa ragu. Keakraban mereka terasa... terlalu nyaman untuk sekadar paman dan keponakan.
Sementara itu, jauh di tempat tersembunyi...
“Aku akan melakukan tes DNA pada kamu dan Ibu,” ucap Aston dingin.
Mampus... kalau sampai tes, aku pasti ketahuan. Aku bukan anak Helena,batin Amira panik.
“Sudahlah, tidak perlu tes. Lihat saja wajah kami. Aku dan Ibu sangat mirip. Bukankah itu cukup membuktikan bahwa aku ini adikmu?” Amira mencoba tersenyum, memohon lewat bahasa tubuh.
“Tidak. Kamu tidak jelas asal-usulnya, tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai adik. Hanya DNA yang bisa buktikan,” jawab Aston tajam.
“Kak, coba perhatikan wajah kami lagi… bentuk mata, senyum, semuanya...”
“Kamu tidak punya hak untuk memprotes. Jika hasil DNA cocok, kamu selamat. Kalau tidak… kami akan membunuhmu,” suara Aston datar, tapi mengandung ancaman nyata.
Seorang dokter datang, mengambil darah dari Amira dan Helena.
Amira menunduk. Dadanya terasa berat. Ia harus menemukan cara untuk selamat.
Sementara itu, Aston menatap darah yang diambil. Di balik tatapan dinginnya, ada gelisah. Benarkah dia adikku yang hilang dua puluh tujuh tahun lalu?
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus