NovelToon NovelToon
Chaotic Destiny

Chaotic Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Perperangan / Light Novel
Popularitas:7.8k
Nilai: 5
Nama Author: Kyukasho

Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.

Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.

Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.

Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 33 Remake: Reuni

Matahari pagi memandikan kota Vixen dengan sinarnya yang hangat. Udara segar membawa aroma bunga dari taman dekat alun-alun, tempat orang-orang mulai berkumpul untuk memulai aktivitas mereka.

Di salah satu bangku taman, duduk dua wanita muda yang kontras dalam penampilan maupun sikap.

Aria Pixis—rambut biru malam pendeknya masih setia seperti dulu, meski kini wajahnya lebih tegas, memancarkan kedewasaan setelah tiga tahun berlalu. Ia terlihat cantik namun tetap menyiratkan kegagahan, duduk santai dengan kaki terlipat, menatap sekitar dengan tatapan tenang seolah dunia tak mampu mengguncangnya.

Sesekali ia menghela napas panjang sambil bergumam, “Lama sekali... Kenapa dia belum datang juga?”

Di sampingnya, seorang wanita berambut biru muda yang berkilau layaknya lautan duduk gelisah. Heliora Vixen—atau kini lebih sering dipanggil dengan nama samarannya, Liora. Tangannya tak henti meremas ujung pakaiannya, bahunya bergetar kecil. Wajahnya menunduk, sesekali melirik sekeliling dengan was-was.

“A-Aria... Tempat ini terlalu mencolok. Bagaimana kalau ada yang mengenaliku? Kalau ayah tahu aku—” suaranya bergetar, hampir setengah berbisik, namun penuh kegelisahan.

Aria hanya melirik singkat, lalu kembali menegakkan tubuhnya.

“Kau sudah bersembunyi tiga tahun, Liora. Kalau terus gemetar begitu, kau akan benar-benar menarik perhatian. Santai saja, aku ada di sini.”

Ucapan itu seharusnya menenangkan, tapi justru membuat jantung Liora semakin berdebar. Ia tahu benar, jika identitasnya sebagai putri kerajaan terungkap, apalagi setelah ‘hilang’ begitu lama, maka hukuman berat dari ayahnya bukanlah sekadar kemungkinan.

Namun di sisi lain, tatapan santai Aria, ketenangan yang nyaris angkuh, membuat Liora sedikit iri. Seakan-akan Aria benar-benar yakin pada apa pun yang ia tunggu di pagi itu.

Matahari semakin tinggi, dan suara kehidupan kota makin ramai. Tapi bagi keduanya, waktu terasa berjalan lebih lambat—menunggu kedatangan seseorang yang akan mengubah pagi itu menjadi awal dari sebuah perjalanan baru.

---

Suara langkah kaki terdengar mendekat. Dari arah jalan yang dipenuhi keramaian pagi, seorang pemuda dengan rambut cokelat pendek dan mata ruby yang berkilau di bawah sinar matahari berjalan menuju taman. Tatapan itu terlalu familiar bagi Aria. Ia berdiri begitu saja tanpa sadar, dadanya terasa sesak—dan tanpa memberi kesempatan siapa pun untuk berkata-kata, ia langsung menerjang.

“Sho!” seru Aria, suaranya setengah tercekat.

Ia memeluk Sho begitu erat, seolah takut jika pemuda itu akan menghilang lagi. Sejenak dunia menjadi sunyi, hanya ada detak jantung mereka berdua.

Sho terdiam sepersekian detik, sebelum akhirnya perlahan mengangkat tangannya dan membalas pelukan itu. Sebuah kehangatan yang sama-sama dirindukan mengalir di antara mereka.

“Hahaha... Kau benar-benar terlihat seperti istri yang merindukan suaminya,” komentar Apollo di dalam benak Aria dengan nada menggoda.

Namun Aria tak menggubrisnya, ia hanya semakin mengeratkan pelukan. Pipinya menempel pada dada Sho, seakan-akan ingin memastikan bahwa kehadiran itu nyata, bukan ilusi.

Sho tersenyum kecil, meski wajahnya sedikit memerah. Saat itulah, suara lembut namun tegas terdengar dari dalam dirinya.

“Cium dia.” Suara Persephone bergema, membuat Sho membelalakkan mata.

“Apa?!” Sho terkejut, nyaris kehilangan keseimbangan. Ia bisa merasakan wajahnya semakin panas.

“Kau mendengar dengan jelas. Gadis itu sudah menunggu lama. Jangan sia-siakan momen ini, Sho.” Nada Persephone terdengar penuh desakan.

Sho menoleh sedikit, melihat sekitar. Pandangan Liora menegang, seakan tak tahu harus bersikap apa. Kiyara hanya terdiam sambil menutup mulutnya menahan senyum, sementara Kieran menatap dengan alis terangkat, tampak bingung sekaligus geli dengan situasi ini.

Sho menahan napas. Ia bisa saja menuruti suara Persephone, namun... Ini tempat umum, di tengah taman, di hadapan tiga orang lain.

“Tidak mungkin aku lakukan sekarang...” Gumamnya dalam hati, berusaha menahan godaan itu.

Namun meski tidak mencium, genggamannya di punggung Aria semakin erat, seakan membalas kerinduan gadis itu dengan ketulusan yang sama.

Pelukan hangat itu perlahan terlepas, menyisakan hawa canggung di antara mereka. Aria cepat-cepat mundur beberapa langkah, wajahnya masih merah padam.

“Uhuk... uhuk,” Liora berdeham, menutup mulut dengan tangan seolah menyembunyikan senyum geli. “Sungguh pemandangan langka, Seorang High Human yang gagah dan menjadi lulusan terbaik dari Evergreen bisa berubah seperti gadis kecil yang baru bertemu pujaannya...”

“Liora!” Aria menoleh cepat, mata keemasan itu melotot seperti hendak membakar. “Jangan asal bicara!”

Namun ejekan itu justru membuat Sho menggaruk belakang kepalanya kikuk, sementara Kiyara dan Kieran yang baru sampai di sisi Sho hanya bisa saling pandang dengan ekspresi campur aduk.

Kieran mengangkat alis, matanya menilai Aria dari ujung kepala sampai kaki. “Jadi ini dia? Wanita yang kau ceritakan dulu, Sho?”

Kiyara ikut menambahkan dengan nada lebih lembut, “Sepertinya... Lebih dari sekadar cerita, ya?”

Aria buru-buru merapikan rambut pendeknya yang berantakan karena pelukan, lalu menegakkan punggungnya. “Namaku Aria Pixis. High Human, inkarnasi dari Apollo.” Suaranya tegas, meski rona merah di pipinya belum sepenuhnya pudar.

Sho kemudian melangkah setengah maju. “Aku Sho Noerant. High Human, inkarnasi dari Persephone.”

Kiyara tersenyum manis sambil menunduk sedikit, sikapnya sopan tapi penuh percaya diri. “Kiyara Noelle. High Human, inkarnasi dari Fujin.”

Disusul Kieran yang menyeringai sambil menepuk dadanya sendiri. “Dan aku Kieran Noelle, kembarannya. Inkarnasi Raijin. Kalau ada badai dan petir, biasanya itu ulahku.”

Suasana mulai mencair, seolah lingkaran kecil ini terbentuk secara alami. Namun, ketika semua mata beralih pada Liora, ia justru terlihat ragu. Jemarinya saling meremas di pangkuan.

“Aku...” ia menarik napas panjang, lalu menatap mereka dengan tatapan biru cerah yang sedikit bergetar. “Aku hanya manusia biasa... Bukan High Human. Tapi...”

Ia menggigit bibir, lalu melanjutkan dengan suara lebih lirih namun jelas, “Namaku Heliora Vixen. Putri Kerajaan Vixen yang kabur... Tiga tahun lalu.”

Sejenak, dunia terasa berhenti. Sho, Kiyara, dan Kieran serempak membeku, ekspresi mereka campuran antara kaget dan sulit percaya.

“Putri... Kerajaan?” bisik Kiyara, matanya melebar.

Kieran melipat tangan di dada, menatap Liora dari kepala hingga kaki seakan menilai apakah itu sebuah lelucon. “Hei kau bercanda, kan?”

Namun, Liora menatap mereka lurus tanpa mundur sedikit pun, meski tubuhnya gemetar.

Sho hanya bisa terdiam, suaranya tercekat di tenggorokan.

Dan di sisi lain, Aria tersenyum kecil, mencondongkan tubuhnya pada Sho sambil berbisik, “Kau mengerti sekarang? Aku sudah tahu sejak awal.”

---

Suasana yang tadinya menghangat karena perkenalan mendadak mencair menjadi gelombang kecil kecanggungan. Semua berjalan normal—hingga satu suara nyaring dari arah jauh menghentikan segala alur yang baru saja terbentuk.

Salah satu ksatria Vixen, yang kebetulan melirik ke arah mereka, mendadak mengernyit. Matanya menyipit, bibirnya bergetar, seperti sedang mencoba mencocokkan wajah Liora dengan sosok yang tersimpan dalam ingatan. Semakin lama menatap, semakin jelas. Dan akhirnya, ia langsung berteriak dengan suara memecah udara:

“PUTRI HELIORA!!!” Teriaknya sampai air liur berhamburan, membuat bocah kecil yang lewat langsung menangis ketakutan.

Seolah terompet perang berbunyi dari dalam tenggorokannya sendiri, ia langsung mengangkat terompet darurat dan meniupnya sekeras tenaga. Suara nyaring itu melengking ke langit, membuat burung-burung yang beristirahat di pepohonan terkejut beterbangan.

“Putri Heliora telah ditemukan!!” teriaknya penuh semangat, seakan baru saja menemukan harta karun.

Liora yang tadinya masih tegak tenang langsung pucat pasi. Wajahnya membeku, tubuhnya menegang seperti patung, lalu pelan-pelan tangannya terangkat menutupi wajah. “Oh tidak... Oh tidak, oh tidak... Ini tidak mungkin sedang terjadi.”

Di kepalanya, sebuah bayangan romantis sekaligus heroik melintas begitu cepat. Ia membayangkan Sho berdiri gagah, mengangkat senjatanya untuk menahan pasukan ksatria. Kieran pun ikut, berteriak lantang: “Tak seorang pun boleh menyentuhnya selagi aku di sini!” Lalu Aria dan Kiyara, penuh keberanian, akan menarik tangannya dan berlari kabur di bawah cahaya matahari. Itu gambaran yang ia yakini—seperti adegan klasik di novel atau dongeng yang sering ia baca.

Dalam kepalanya, ia membayangkan adegan dramatis seperti di novel-novel. Namun kenyataan jauh lebih buruk.

Sho menoleh sekali, menatap Liora dengan tatapan yang lebih menyerupai “aku tak ingin ikut campur” ketimbang pahlawan penyelamat. Dengan sangat pelan, ia mengangkat kedua tangannya ke udara tanda menyerah, lalu mundur beberapa langkah menjauh dari posisi Liora. Wajahnya jelas-jelas berkata: “Aku tidak ada urusan dengan masalah kerajaan.”

“Eh?” Liora melongo.

Belum sempat ia bereaksi, Aria justru bergerak. Tapi bukannya menarik tangan Liora, gadis itu malah mendekat lalu berbisik lembut di telinganya, “Sudah saatnya bagi seorang putri yang nakal untuk pulang.” Senyumnya tenang, hampir seperti sedang memberi selamat tinggal. Setelah itu, ia berjalan begitu saja, seolah tidak ada drama apapun yang baru saja meletus.

“Ap—apa?!” Liora hampir tersedak napasnya sendiri.

Kieran, yang biasanya sok santai, kali ini malah ikut mundur dengan gerakan natural, seperti sedang berbaur ke dalam bayangan. “Aku tak mendengar apa apa, tak ada sesuatu yang terjadi disini...” Ujarnya sambil pura-pura menyibukkan diri dengan debu di palunya.

Kiyara menambahkan, dengan ekspresi setenang embun pagi, “Ya... Melawan ratusan ksatria Vixen sama saja bunuh diri. Maaf ya, Putri.” Ia bahkan menepuk pundak Liora sebentar sebelum melangkah menyusul yang lain.

Seketika, imajinasi indah Liora pecah berkeping-keping seperti kaca dilempar batu. Harapannya benar-benar hancur—dan ia berdiri sendirian, ditinggalkan oleh empat orang yang tadi baru saja ia sebut sebagai teman.

“Ka-kalian... Sungguh tega! Mana solidaritas kita? Mana adegan penyelamatan dramatis? Mana—” suaranya tercekat.

Tetapi yang terdengar hanya derap langkah ksatria Vixen yang semakin mendekat, sementara Sho, Aria, Kieran, dan Kiyara berjalan santai menjauh, berbaur dengan kerumunan, seolah sama sekali tidak mengenal gadis yang kini panik di tengah perhatian puluhan mata.

Liora hanya bisa menunduk lemas, berbisik dengan getir, “Sialan... Kenapa aku berharap mereka akan bertingkah seperti tokoh-tokoh dongeng? Lagipula... Orang bodoh macam apa yang menantang kekaisaran Vixen demi menyelamatkan seorang putri yang menyebabkan kekacauan karena kabur tiga tahun lalu?”

Langkah ksatria-kstaria itu kian mendekat. Suara terompet masih bergema di udara, dan dalam hati Liora, yang tersisa hanyalah rasa malu, panik, dan sedikit keinginan untuk menggali tanah lalu menghilang ke dalamnya.

Kini tersisa Liora berdiri sendirian, ditatap puluhan mata ksatria kerajaan, sementara “teman-temannya” lenyap bagai asap yang dihembus angin.

“Lihat saja nanti! Aku akan balas dendam kepada k—” Liora berteriak, namun teriakan nya terhenti ketika para ksatria menggendongnya dan kini membawanya menuju istana.

Liora terdiam. Didalam kepalanya pemikiran ini bergema: “Beginikah rasanya dikhianati oleh plot dongeng? Oh ya... Aku lupa kalau ini dunia nyata.”

1
Cyno
wah sho parah sih
That One Reader
baiklahh udah mulai terbayang wujud dan sifat karakternya
That One Reader
hmmm... "matanya masih merah, bukan karena kekuatannya", "Kekuatan" yang dimaksud gimana yh? tapi awal ketemuan sama Aria lumayan berkesan sii
That One Reader
welp.. prolognya okee
Sandra
simingit kikik:v
Cyno
Semangat author
Cyno
Ceritanya seru
Cyno
kalau sho bisa mengubah bident sesuka hati apa nanti aria bisa mengubah bow dia juga? menarik
J. Elymorz
Huhuu shoo/Cry/
Sandra
anjay pahlawan datang tapi bapaknya Aria... :(
Sandra
aku ga tau mau komen apa tapi mau lanjut!!
Sandra
kereennn!! semangat kak!!!
J. Elymorz
sho.. hikss /Cry//Cry/
J. Elymorz
omaigatt di remake, apakah alur ceritanya lebih ke arah romance? hmmzmz/Applaud//Applaud/
J. Elymorz
lucuuuu
J. Elymorz
lucuuuu, sifat mereka berbanding terbalik
J. Elymorz
yahh hiatus/Cry/

semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/
J. Elymorz
gila... hollow bener' gila
Soul Requiem
Ini Saya, Kyukasho, untuk sementara Chaotic Destiny Akan Hiatus dikaenakan HP saya rusak/Frown/
J. Elymorz: /Cry//Cry//Cry/
total 1 replies
J. Elymorz
ouh oke.. kelakuan bodoh dari krepes ternyata berguna, bagus krepes
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!