"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."
Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.
Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.
Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.
Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Bel istirahat berbunyi nyaring, disusul suara riuh anak-anak yang serempak berdiri dari kursi. Guru tersenyum sambil menepuk tangannya, “Baiklah anak-anak, istirahat dulu ya. Kalian boleh makan bekal dan bermain di luar.”
Begitu kata istirahat keluar dari mulut sang guru, Asterion langsung seperti pegas yang dilepaskan. Dia meraih tasnya dengan gesit, membuka resletingnya, dan mengeluarkan benda yang sejak tadi dia tunggu—yogurt stroberi kesayangannya.
Tatapan Asterion melembut, seperti seorang ksatria yang akhirnya bertemu kembali dengan pedang pusaka.
“Ah… akhirnya,” gumamnya pelan, lalu ia membuka tutupnya.
Saat seteguk pertama menyentuh lidahnya, matanya refleks terpejam.
Sekelilingnya hilang, tergantikan lautan stroberi merah muda yang bergelombang lembut. Ia melayang di atasnya, terdorong angin manis yang membuat seluruh tubuhnya ringan. Burung-burung terbuat dari krim kocok berterbangan di atasnya.
"Ini… surga…" pikirnya dengan penuh khidmat.
Begitu ia membuka mata kembali, senyumnya seperti anak yang baru saja memenangkan perang melawan naga raksasa.
“Yogurt makanan terbaik di semesta,” katanya sambil memeluk gelas plastik kecil itu.
Belum sempat ia menyesap lagi, Mira datang sambil melambai.
“Asterion! Ayo ke area bermain! Semua anak ada di sana!”
Di belakangnya, Nolan dan Kei sudah berdiri, menunggu dengan wajah penuh semangat.
“Cepetan, sebelum semua ayunan diambil orang!” kata Nolan.
Asterion berdiri, membawa sisa yogurt di tangannya. Mereka berjalan bersama menuju area bermain yang penuh warna dan suara tawa. Di sana ada perosotan spiral, jungkat-jungkit, ayunan yang berderit pelan, dan lapangan kecil penuh anak-anak yang berlarian.
Kei menunjuk ayunan kosong di dekat pagar.
“Ayo main ayunan!” seru Kei.
Namun Asterion langsung menghentikan langkahnya, menatap kedua temannya dengan tatapan setengah trauma.
“Maaf… aku tidak mau terbang untuk kedua kalinya.”
Sejenak, Nolan dan Kei saling pandang, lalu wajah mereka memanas.
“Eh… itu kan waktu kamu masih bayi… kita nggak sengaja!” kata Kei dengan suara gugup.
Asterion hanya menatap datar. “Kalian melemparku seperti bola karet.”
Keheningan singkat. Nolan menggaruk kepala.
“Eh… yaudah, kita ke sana duluan.” Mereka berdua lari menjauh, mencoba menutupi rasa canggung.
Mira tertawa kecil lalu menepuk bahu Asterion. “Sudahlah, biar mereka. Ayo kita main balok.”
Mereka berdua duduk di sudut area bermain, di mana kotak besar berisi balok warna-warni diletakkan. Anak-anak lain sibuk membangun rumah, jembatan, atau sekadar menumpuk balok tanpa tujuan.
Saat Asterion mulai menyusun balok, matanya menangkap sosok yang tak asing—gadis berambut perak pendek itu. Ia duduk sendirian, membangun menara balok tinggi dengan presisi luar biasa. Gerakannya cepat tapi hati-hati, seperti setiap balok adalah bagian dari misi rahasia.
Mira melirik ke arah gadis itu lalu berbisik, “Oh… itu Han Soojin. Dia cucunya General Moon Seok Hyun, petinggi di Markas Militer Pusat. Dia memang agak pendiam dan cuek. Makanya… ya, nggak banyak yang mau main sama dia.”
Asterion mengangguk pelan. “Oh begitu…” Tapi entah kenapa matanya terus terpaku pada gadis itu. Ada aura aneh yang membuatnya penasaran.
Seketika, tanpa aba-aba, gadis itu mengangkat kepalanya. Tatapannya bertemu dengan mata Asterion.
“Apa liat-liat?” katanya dengan suara datar tapi nadanya jelas menusuk.
Asterion, yang tidak siap diserang, refleks menjawab, “Ya… karena aku punya mata.”
Seketika suasana seperti membeku. Beberapa anak di sekitar mereka melirik, menunggu kelanjutan ‘pertarungan’ ini.
Gadis itu menyipitkan mata, menatap tajam seperti mencoba membaca isi kepalanya. Lalu, dengan satu dengusan singkat, ia mengalihkan pandangan dan kembali ke menaranya.
“Hump!”
Asterion menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Dingin sekali… pantes saja dia selalu sendirian.”
Mira hanya mengangkat bahu. “Ya, dia memang begitu. Tapi katanya, waktu kecil dia pernah… ah, nanti saja ceritanya.”
Asterion yang masih duduk di dekat balok-balok itu tiba-tiba menatap langit-langit, lalu menoleh ke Mira.
“Mira… di sini tidak ada buku?”
Mira memiringkan kepalanya. “Buku? Maksudmu…?”
“Tempat yang banyak buku itu,” jelas Asterion, seolah ini pertanyaan paling logis di dunia.
Mira mengedip beberapa kali. “Oh! Yang kau maksud perpustakaan?”
Asterion mengangguk mantap.
“Ya ada, tapi… biasanya anak-anak jarang ke sana. Kenapa?” tanya Mira sambil menata baloknya.
“Aku bosan bermain. Aku mau baca cerita.”
Mira memandangnya dengan ekspresi seperti sedang melihat makhluk asing yang baru mendarat. “Bosan… main?”
Asterion mengangkat bahu. “Main balok itu menyenangkan… tapi main dengan huruf dan cerita itu lebih seru.”
Mira masih terlihat bingung, tapi akhirnya berdiri. “Ya sudah, ayo. Kita minta Bu Guru antar.”
Mereka berdua berjalan mendekati meja guru. Perempuan itu—Bu Han Jiyeon, guru berambut cokelat yang selalu tersenyum—sedang merapikan lembar tugas anak-anak.
“Bu Jiyeon,” kata Mira, “bolehkah kami ke perpustakaan?”
Bu Jiyeon menoleh, sedikit terkejut. “Ke perpustakaan? Wah, jarang-jarang anak TK minta itu.”
Mira menunjuk ke Asterion. “Sebenarnya yang mau ke sana itu Asterion, Bu. Katanya dia bosan bermain dan mau baca cerita.”
Tatapan Bu Jiyeon langsung berubah menjadi bangga. “Astaga… luar biasa sekali! Masih kecil tapi sudah suka membaca. Ibu senang sekali dengarnya.” Ia lalu bangkit, “Ayo, Ibu antar.”
Perpustakaan TK Nasional Korea ternyata tidak main-main. Bagian depannya penuh rak rendah berisi buku cerita anak—cover warna-warni dengan gambar kelinci, pangeran, dan kue tart raksasa.
Bu Jiyeon mengarahkan mereka. “Nah, di rak plastik ini banyak buku cerita untuk kalian. Pilih saja yang kalian suka, Ibu ada urusan sebentar ya.”
Mira langsung berjongkok, tangannya menyapu sampul-sampul buku. “Ah! Ada kelanjutan Petualangan Pinguin Milo!” katanya semangat.
Sementara itu Asterion berdiri diam, menatap semua rak itu dengan mata setengah setengah.
‘Hmm… ini semua cuma dongeng sederhana… tidak ada yang baru untukku,’ pikirnya sambil berjalan pelan.
Kakinya membawanya lebih jauh, sampai ke area yang agak tersembunyi di ujung ruangan. Rak-rak di sini bukan plastik, melainkan kayu tua yang tinggi—dan jelas bukan untuk anak kecil. Di puncak rak itu, label kecil bertuliskan: Buku Referensi Guru.
Asterion berkeliling, matanya menyapu deretan punggung buku: “Sejarah Peradaban Asia Timur”, “Biologi Dasar”, “Fisika untuk Pendidikan Anak”… lalu, matanya membeku pada satu judul di rak tingkat tiga: Energi Kosmik dan Star Soul.
Seketika pupilnya membesar. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergetar halus.
‘Aku… seperti nya butuh buku itu,’ gumamnya dalam hati.
Ia menjijit, mencoba meraih, tapi tangan mungilnya hanya menyentuh udara. “Ah, sial… tubuh ini sungguh banyak kekurangan.”
Saat ia berpikir keras mencari cara, suara familiar terdengar di belakangnya.
“Hei, Asterion! Apa yang kau lakukan di sektor buku guru?”
Ia menoleh. Nolan dan Kei berdiri di sana dengan alis terangkat.
Senyum misterius muncul di wajah Asterion. “Kalian datang di saat yang tepat… aku butuh bantuan.”
Beberapa menit kemudian…
“Sedikit kiri… iya… sekarang ke kanan… jangan kebanyakan,” perintah Asterion dengan wajah serius, sementara tubuhnya sedang diangkat tinggi-tinggi oleh Kei, yang menopang kakinya, dan Nolan, yang ikut menahan dari samping.
“Jangan banyak gerak! Aku nggak kuat!” keluh Kei dengan wajah memerah.
“Bagaimana caranya aku tidak bergerak?!” balas Asterion sambil menjulurkan tangan. “Sedikit lagi… ah… hampir—”
Jari-jarinya akhirnya menyentuh punggung buku itu. Dengan gerakan cepat ia menariknya keluar dari rak. “Dapat!”
Sayangnya, kemenangan itu hanya bertahan satu detik.
“Aku nggak kuat lagiiii!” teriak Kei.
“Jangan jatuhin aku—”
BRUK!
Tiga bocah itu jatuh bersamaan ke lantai berkarpet tebal. Buku, kaki, dan tangan berantakan jadi satu.
“Aduh… tulang punggungku,” keluh Nolan.
Kei memegang kepalanya. “Kenapa aku merasa mengangkatmu seperti mengangkat karung pasir?”
Asterion duduk sambil memeluk buku itu erat, sama sekali tidak peduli pada keluhan mereka. “Berhentilah mengeluh. Lihat ini… ini yang kucari.”
Mata Nolan membelalak. “Itu… bukannya buku guru?!”
Asterion hanya tersenyum tipis, seperti ilmuwan yang baru saja menemukan artefak kuno. “Tidak semua pengetahuan cocok menunggu sampai kau dewasa.”
Kei dan Nolan saling pandang, lalu keduanya menghela napas panjang. “Kadang… aku lupa kalau umurmu itu sebenarnya cuma tiga tahun,” gumam Kei.