Lihat, dia kayak hantu!"
"ia dia sangat jelek. Aku yakin sampai besar pun dia akan sejelek ini dan tidak ada yang mau mengadopsinya."
"Pasti ibunya ninggalin dia karena dia kutukan."
"Coba lihat matanya, kayak orang kesurupan!"
"iya ibunya membuangnya Karena pembawa sial." berbagai macam cacian dan olokan dari teman-temannya,yang harusnya mereka saling mengerti betapa sakitnya di buang tetapi entah mengapa mereka malah membenci Ayla.
Mereka menyembunyikan sendalnya, menyiramkan air sabun ke tempat tidurnya, menyobek bukunya, bahkan pernah mengurungnya di kamar mandi hingga tengah malam. Tapi Ayla hanya diam,menahan,menyimpan dan menelan semua dengan pahit yang lama-lama menjadi biasa.
Yang paling menyakitkan adalah bahwa tidak ada satu pun orang dewasa di panti yang benar-benar peduli. Mereka hanya melihat Ayla sebagai anak yang terlalu pasrah. Kalau ia dibully, itu pasti karena ia sendiri yang terlalu lemah.
Di sekolah, semuanya lebih buruk lagi..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widya saputri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Ada Tempat Untuk Ayla.
Bukan hanya di rumah karena ia tak pernah punya rumah tapi juga di panti, di sekolah, di jalan, bahkan di udara yang ia hirup. Dunia memperlakukannya seperti kesalahan yang seharusnya tidak pernah ada. Seperti coretan tinta di buku tulis yang ingin dihapus tapi justru menyebar ke mana-mana, mengotori halaman hidup yang lain.
Di Panti Asuhan Kasih Ibu, Ayla bukan siapa-siapa. Ia hanya si bocah pucat, anak pembawa sial, dan dijuluki si bebek bisu. Julukan itu datang dari sesama anak panti yang seharusnya mengerti luka, tapi malah menjadi bagian dari pisau yang selalu menyayat.
Ayla dibully sejak ia mulai bisa berjalan,banyak yang mengatakan jika Alya akan lambat berjalan dan jalannya pun seperti bebek.
Awalnya karena ia pendiam,lalu karena ia terlalu kurus. Lalu karena wajahnya dianggap aneh. Lalu karena apa pun. Alasan itu tak pernah penting,yang penting adalah mereka punya seseorang untuk dilukai. Dan Ayla, dengan ketenangannya yang menjemukan, dengan sorot mata kosongnya yang tak pernah membalas, adalah sasaran yang sempurna.
"Lihat, dia kayak hantu!"
"ia dia sangat jelek. Aku yakin sampai besar pun dia akan sejelek ini dan tidak ada yang mau mengadopsinya."
"Pasti ibunya ninggalin dia karena dia kutukan."
"Coba lihat matanya, kayak orang kesurupan!"
"iya ibunya membuangnya Karena pembawa sial." berbagai macam cacian dan olokan dari teman-temannya,yang harusnya mereka saling mengerti betapa sakitnya di buang tetapi entah mengapa mereka malah membenci Ayla.
Mereka menyembunyikan sendalnya, menyiramkan air sabun ke tempat tidurnya, menyobek bukunya, bahkan pernah mengurungnya di kamar mandi hingga tengah malam. Tapi Ayla hanya diam,menahan,menyimpan dan menelan semua dengan pahit yang lama-lama menjadi biasa.
Yang paling menyakitkan adalah bahwa tidak ada satu pun orang dewasa di panti yang benar-benar peduli. Mereka hanya melihat Ayla sebagai anak yang terlalu pasrah. Kalau ia dibully, itu pasti karena ia sendiri yang terlalu lemah.
Di sekolah, semuanya lebih buruk lagi.
Anak-anak sekolah tahu Ayla berasal dari panti asuhan. Dan itu saja sudah cukup menjadi alasan untuk menertawakannya. Ada beberapa dari panti asuhan tapi mereka tetap rapi seperti yang lain berbeda dengan Alya yang lusuh.Ia tak pernah membawa bekal. Seragamnya selalu lusuh,rambutnya tipis dan kering,sepatunya bolong,buku tulisnya bekas. Dan yang lebih menyakitkan,gurunya juga tak berbeda. Gurunya tidak pernah membelanya.
“Anak panti” selalu duduk di bangku belakang. Jika ada kegiatan kelas seperti bawa makanan, kumpul iuran, atau piknik, Ayla akan jadi yang tertinggal. Teman-temannya menjauhinya seperti dia membawa penyakit. Ia menjadi bayangan yang tak dilihat, tapi juga selalu dicibir.
"Kamu bau."
"Kamu numpang di sekolah ini ya?"
"Nanti kalau kamu duduk di sebelahku, aku bisa sial."
Dan Ayla lagi-lagi hanya diam. Kadang ia ingin berteriak, “Aku juga manusia!” Tapi suara itu hanya sampai di tenggorokan. Tak pernah keluar.
Namun, di tengah gelap yang seperti tak berujung itu, Tuhan menyisakan satu cahaya kecil.
Namanya Rani.
Rani bukan anak yang populer. Ia juga tinggal di panti. Tapi berbeda dengan yang lain, Rani ramah dan hangat. Kulitnya sawo matang, rambutnya dikepang dua, dan senyumnya sungguh manisa, senyum Rani selalu seperti pagi setelah badai. Pelan, tapi melegakan.
Pertemanan mereka dimulai dengan hal kecil.
Suatu hari, Ayla duduk di belakang panti, menangis diam-diam karena buku ceritanya disobek. Rani datang dan duduk di sebelahnya tanpa banyak tanya. Ia tidak memaksa Ayla bicara. Ia hanya mengeluarkan satu lembar kertas kosong dari sakunya dan menggambar.
“Ini kamu,” katanya sambil menunjuk gambar seorang gadis kecil dengan sayap.
“Kenapa aku punya sayap?” Ayla menoleh pada Rani dan menatapnya
“Karena kamu kayak malaikat. Nggak pernah marah, meskipun selalu disakitin.” Kata Rani dengan lembut
Perbedaan usia mereka tidak terlalu jauh,Rani kini berumur 10 tahun.
Sejak hari itu, mereka hampir selalu bersama. Rani menjadi satu-satunya orang yang membela Ayla ketika ada yang membulinya. Ia rela dikucilkan karena membela Ayla. Pernah suatu hari, seorang anak laki-laki mendorong Ayla ke tanah. Rani memukul anak itu dengan buku, membuatnya berdarah. Rani dihukum seminggu tak boleh keluar kamar. Tapi saat Ayla menjenguknya, Rani cuma berkata
"Kalau bukan aku, siapa lagi yang jagain kamu?"
Ayla tidak menangis saat itu. Tapi malamnya, ia menulis lagi di buku kecilnya, untuk pertama kalinya dalam hidupnya ada yang rela di hukum karena dirinya. Isi buku yang dia tulis tentang bintang yang turun dari langit dan tinggal di bumi untuk menjaga cahaya kecil yang hampir padam.
Itu cerita kesekian kalinya yang ia tulis,cerita dia hampir sama dengan sebuah puisi. Itu juga cinta pertamanya bukan cinta yang romantis, tapi cinta yang menyelamatkan.
Namun, hidup tak pernah memberi hadiah tanpa ujian. Dan persahabatan pun bukan benteng yang kekal.
Suatu hari, seorang keluarga kaya datang ke panti mencari anak perempuan untuk diadopsi. Mereka memilih Rani. Wajah cantiknya dan sifat cerianya memikat mereka sejak pandangan pertama.
Rani menolak.
“Aku nggak mau ninggalin Ayla,” katanya tegas.
Tapi panti tak peduli. Mereka butuh uang. Rani dipaksa pergi, dijemput esok harinya.
Malam sebelum perpisahan itu, Rani dan Ayla duduk berdua di atap panti, memandangi langit,tak ada yang bicara hanya suara jangkrik, dan detak jantung yang tak sinkron.
"Ayla, kamu harus janji satu hal." Akhirnya Rani berkata pelan
"Apa?"
"Kamu harus bertahan. Karena suatu hari, kamu akan jadi orang penting,yang nulis buku,yang cerita tentang kita,tentang kamu dan aku akan baca itu di manapun aku berada. Kamu akan menjadi penulis hebat nantinya."
Ayla menggigit bibirnya. “Aku nggak bisa kalau sendiri.”
“Kamu nggak sendiri,kamu punya langit dan langit nggak pernah ninggalin kamu.” Rani tersenyum
"kamu sering-sering kesini ya." kata Ayla dengan nada senduh
"iya Kamu tenang aja,aku akan selalu mengunjungimu dan disaat kita dewasa kita akan bersama lagi." Rani memeluk tubuh kurus Ayla.
***
Keesokan paginya, Rani pergi dan Ayla kembali sendiri.
Dunia tak berubah. Bullying terus berlanjut,tapi sekarang Ayla punya sesuatu yaitu harapan.
Ayla menulis setiap hari sejak itu. Ia mencoret-coret buku bekas, menulis puisi, cerita pendek, surat untuk Rani yang tak pernah dikirim. Tulisannya masih buruk. Tapi emosinya nyata. Bahkan dia selalu menulis cerita hidupnya.
Setiap kali dunia menyakitinya, Ayla menulis. Dan setiap kali ia menulis, ia merasa Rani sedang membacanya di suatu tempat.
“Kadang Tuhan tidak menciptakan banyak cahaya. Tapi satu saja sudah cukup untuk membuat kita tetap hidup.”
Bersambung....