Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 34 : Pelabuhan Cinta Abadi
Sepuluh tahun telah berlalu sejak Rinai dan Banyu merayakan prestasi mereka di Pantai Marina. Kini, Rinai berusia 35 tahun, seorang penulis dan seniman terkenal yang telah menerbitkan beberapa novel dan mengadakan pameran seni di berbagai kota.
Dia juga telah menikah dengan seorang arsitek bernama Dimas, dan mereka dikaruniai seorang putri kecil berusia tiga tahun bernama Laut, yang mewarisi kecintaan keluarga pada laut dan dermaga.
Banyu, yang kini berusia 25 tahun, telah menjadi desainer kapal yang sukses, bekerja di sebuah perusahaan maritim terkemuka di Jakarta, dan sedang mempersiapkan pernikahannya dengan seorang wanita bernama Nadia, seorang biologis kelautan yang berbagi minatnya pada laut.
Aira dan Raka, kini berusia 57 tahun, telah memasuki masa pensiun dari karier utama mereka, meskipun mereka masih sesekali menulis dan menggambar untuk proyek-proyek kecil.
Rumah mereka di daerah Candi kini menjadi tempat berkumpulnya keluarga besar, dengan tambahan ruang bermain untuk cucu-cucu mereka. Rambut Aira kini hampir sepenuhnya beruban, tapi matanya masih berbinar penuh cinta, sementara Raka, dengan uban yang menghiasi rambut dan janggutnya, masih sering menggenggam tangan Aira dengan penuh kasih seperti dulu.
Pagi itu, Aira dan Raka sedang duduk di beranda depan rumah, menikmati teh hangat sambil memandang halaman yang kini dihiasi ayunan kecil untuk Laut. Aira mengenakan cardigan tipis di atas kaus panjang, rambutnya di kuncir santai, sementara Raka mengenakan kemeja flanel dan celana panjang, kameranya masih setia tergantung di lehernya.
Mereka tersenyum kecil saat mendengar tawa Laut yang sedang bermain dengan Rinai di halaman.
“Raka… aku ngerasa hidup kita kayak pelabuhan cinta yang abadi sekarang,” kata Aira, suaranya lembut sambil memandang Rinai dan Laut.
“Rinai sama Banyu… mereka udah punya kehidupan mereka sendiri, dan sekarang kita punya Laut… cucu kita. Aku… aku bersyukur banget kita bisa sampe di titik ini,” tambahnya, matanya berkaca-kaca karena haru.
Raka tersenyum, tangannya memegang tangan Aira dengan erat.
“Iya, Aira. Rinai sama Banyu… mereka udah jadi kapal yang berlayar sendiri, dan sekarang Laut… dia ombak kecil yang bikin pelabuhan kita makin hidup. Aku… aku seneng banget kita bisa lewatin semua ini bareng kamu,” katanya, nadanya penuh cinta.
Rinai berjalan ke arah mereka, menggendong Laut yang tersenyum lebar dengan mata berbinar mirip Rinai kecil dulu.
“Mama, Papa, Laut bilang dia mau ke dermaga sama Kakek sama Nenek,” kata Rinai, tersenyum sambil mencium pipi Laut.
“Aku… aku juga pengen ke Pantai Marina. Udah lama kita enggak ke sana bareng keluarga besar,” tambahnya, nadanya penuh nostalgia.
Aira tersenyum, mengangguk.
“Ide bagus, Rinai. Mama juga kangen dermaga itu, tempat kita bikin semua cerita kita. Kita tunggu Banyu sama Nadia dateng, ya, biar kita ke sana bareng,” katanya, nadanya penuh kelembutan.
Tak lama setelah itu, Banyu dan Nadia tiba di rumah. Banyu, yang kini tampak dewasa dengan jas kasual dan rambut pendek rapi, memeluk Aira dan Raka dengan hangat.
Nadia, seorang wanita berwajah lembut dengan rambut panjang, tersenyum sambil membawa sekotak kue sebagai oleh-oleh.
“Mama, Papa, kami bawa kue kesukaan Laut,” kata Banyu, tersenyum lebar.
“Aku denger tadi kita mau ke Pantai Marina?” tanyanya, matanya berbinar.
Raka mengangguk, tersenyum.
“Iya, Banyu. Kita mau ke dermaga, bikin kenangan baru bareng keluarga besar kita. Aku… aku seneng banget kita bisa kumpul kayak gini,” katanya, nadanya penuh kebahagiaan.
Setelah makan siang bersama, mereka bersiap untuk pergi ke Pantai Marina. Aira membawa tas berisi bekal, sandwich, air mineral, dan camilan untuk semua, serta selimut kecil untuk duduk di pantai. Rinai menggendong Laut, yang mengenakan topi jerami kecil, sementara Banyu dan Nadia berjalan bergandengan tangan, membawa keranjang kecil berisi mainan pantai untuk Laut.
Raka, seperti biasa, membawa kameranya, siap mengabadikan momen keluarga mereka.
Perjalanan ke Pantai Marina terasa penuh tawa dan cerita. Rinai duduk di kursi depan, bercerita tentang pameran seni terbarunya, sementara Banyu dan Nadia di kursi belakang mengobrol tentang rencana pernikahan mereka.
Laut duduk di pangkuan Aira, bernyanyi kecil tentang “laut biru” dengan suara sumbang yang menggemaskan, membuat semua orang tersenyum.
Sampai di pantai, Laut langsung berlari kecil ke arah pasir, tangannya memegang ember kecil, mulai bermain dengan pasir bersama Rinai.
Banyu dan Nadia berjalan ke arah air, Banyu menunjukkan ombak kecil sambil bercerita tentang desain kapal terbarunya.
Aira dan Raka duduk di selimut kecil yang mereka bawa, mengawasi keluarga mereka sambil menikmati angin laut yang sejuk.
“Raka… aku ngerasa dermaga ini selalu jadi pelabuhan cinta kita,” kata Aira, suaranya lembut sambil memandang dermaga kecil di kejauhan.
“Dari pertama kita ketemu, sampe kita punya Rinai sama Banyu, dan sekarang… kita punya Laut. Aku… aku seneng banget kita bisa balik ke sini bareng mereka,” tambahnya, matanya berkaca-kaca.
Raka tersenyum, memeluk pundak Aira dengan lembut.
“Iya, Aira. Dermaga ini… tempat kita mulai cerita kita, dan sekarang jadi pelabuhan cinta abadi buat keluarga kita. Aku… aku bersyukur banget bisa lewatin semua ini bareng kamu,” katanya, nadanya penuh cinta.
Rinai berjalan ke arah mereka, menggendong Laut yang tangannya memegang cangkang kecil yang dia temukan.
“Mama, Papa, Laut nemu cangkang cantik! Kita simpen, ya, buat kenang-kenangan,” kata Rinai, tersenyum sambil menunjukkan cangkang itu.
Aira tersenyum, mengambil cangkang itu dari tangan Laut.
“Cantik banget, Laut. Kita simpen, ya, biar Laut punya kenangan di dermaga ini, kayak Mama sama Papa dulu,” katanya, nadanya penuh kelembutan.
Banyu dan Nadia berjalan ke arah mereka, tangan mereka bergandengan.
“Mama, Papa, aku sama Nadia mau bilang… kami udah pilih tanggal pernikahan. Bulan depan, di tepi laut, kami pengen nikah di tempat yang penuh makna buat keluarga kita,” kata Banyu, tersenyum lebar.
Raka tersenyum, memeluk Banyu dan Nadia dengan hangat.
“Aku seneng banget denger kabar ini, Banyu. Tepi laut… itu tempat yang sempurna buat kalian. Aku… aku bangga banget sama kamu,” katanya, nadanya penuh kebanggaan.
Sore itu, mereka kembali ke rumah dengan hati penuh kebahagiaan. Setelah makan malam bersama, mereka duduk di ruang tamu, Aira dan Raka mengeluarkan kotak kayu kecil yang berisi surat-surat untuk Rinai dan Banyu, serta surat baru yang mereka tulis untuk Laut.
Mereka membaca surat-surat itu bersama, air mata haru mengalir saat mengingat perjalanan mereka sebagai keluarga.
“Raka… aku ngerasa hidup kita kayak laut yang luas, penuh dengan pelabuhan cinta yang abadi,” kata Aira, suaranya lembut sambil bersandar di dada Raka.
Raka tersenyum, memeluk Aira erat.
“Iya, Aira. Rinai, Banyu, Laut… mereka semua bagian dari pelabuhan cinta kita. Aku… aku pengen kita terus ciptain kenangan indah bareng mereka, bareng keluarga besar kita. Aku sayang kamu, selamanya,” katanya, nadanya penuh cinta.
Aira tersenyum, memandang gelang di pergelangannya, gelang yang menjadi simbol perjalanan cinta mereka.
“Raka… semua dimulai dari hujan, dari dermaga, dan sekarang kita punya keluarga besar yang penuh cinta. Aku… aku bersyukur banget bisa bareng kamu,” katanya, suaranya penuh rasa syukur.
Di bawah langit Semarang yang gelap, dengan tawa Laut yang masih terdengar samar dari kamarnya, Aira dan Raka saling berpelukan, merasa bahwa pelabuhan cinta abadi yang mereka ciptakan bersama keluarga mereka adalah cerita terindah yang pernah mereka tulis, cerita yang akan terus hidup, dengan cinta sebagai angin yang membawa mereka berlayar selamanya.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉