Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penguasa Jiwa yang Baru
–
Perpustakaan Akar Dunia bergetar hebat. Akar-akar yang menjulang dari segala penjuru kini menghitam, terpanggang oleh kehadiran makhluk purba itu—Kenangan Kolektif Dunia. Ia melayang di udara, tubuhnya kabur seperti kumpulan kabut, tapi wajahnya menyusun ratusan topeng dari era yang berbeda-beda: seorang anak menangis, seorang ibu tertawa, seorang raja yang menjerit, dan seorang pengemis yang mati dalam diam.
“KAU TIDAK BERHAK MENULIS ULANG DUNIA!” raungnya. Suaranya seperti jutaan orang berbicara bersamaan. “DUNIA DIBANGUN DARI INGATAN KAMI! JIKA KAU HAPUS SATU, KAU HAPUS SEMUA!”
Namun Jiang Hao tidak gentar. Dalam wujud barunya, tubuhnya diselimuti aura hijau dan ungu. Matanya bersinar terang, dan tanda lingkaran kuno muncul di dahinya—lambang penyatuan jiwa.
“Aku tidak menghapus,” katanya tenang. “Aku menyatukan. Aku mengembalikan keseimbangan yang dirusak oleh keserakahan kalian.”
Makhluk itu melesat ke arahnya, seperti hujan badai yang memutar realitas. Tapi sebelum ia sampai…
TING
Satu senar kecapi berbunyi.
Ying’er masih berdiri di belakang, tubuhnya goyah, darah menetes dari sudut bibirnya. Tapi ia tersenyum.
“Maaf … aku tahu kau ingin cepat. Tapi aku terlalu keras kepala untuk membiarkanmu berkorban sendirian.”
Nada kecapi itu menahan gerakan makhluk purba selama tiga detik. Tapi di tengah pertarungan ini, tiga detik cukup untuk mengubah segalanya.
Jiang Hao mengangkat tangannya. Cahaya dari kedua sisi jiwanya menyatu membentuk tombak bercahaya. Tombak itu bukan senjata biasa—ia dibentuk dari Semua Kenangan yang Telah Dilepas. Tombak Kehilangan.
“Maafkan aku, kalian semua. Tapi dunia ini butuh arah baru.”
Ia melemparkan tombak itu.
Tombak itu menembus dada makhluk itu—bukan secara fisik, tapi melalui lapisan-lapisan jiwa. Topeng-topengnya retak. Suaranya memekik, tak lagi kuat seperti sebelumnya. Ia menggeliat, dan tubuhnya mulai berubah menjadi potongan kenangan yang tercerai: mainan tua, buku catatan, lukisan dinding, suara tawa yang tak selesai.
Ying’er terjatuh, tubuhnya gemetar. “Kau … berhasil …”
Jiang Hao berjalan menghampirinya, berlutut. Ia menyentuh pipinya.
“Kau … siapa?” tanyanya lirih.
Ying’er terdiam.
Hatinya hancur.
Ternyata kenangan yang ditambatkan tak cukup kuat.
Ia telah kehilangan dirinya, kehilangan nama, bahkan wajahnya, dalam ingatan Jiang Hao.
Tapi Jiang Hao tetap tersenyum. “Tapi aku tahu, ada seseorang yang pernah menyelamatkanku. Saat hujan. Saat aku lupa siapa diriku. Terima kasih.”
Air mata jatuh dari mata Ying’er, namun ia tersenyum tulus.
“Setidaknya, kau masih hidup.”
Di langit perpustakaan, celah menuju dunia luar mulai terbuka. Alam mulai pulih. Warna kembali. Akar-akar yang semula kelam kini memunculkan daun-daun muda.
Li Fan menghampiri mereka.
“Sudah saatnya kita keluar. Dunia menunggu Pemilik Jiwa yang baru.”
Jiang Hao berdiri, dengan Ying’er di sisinya. Ia tak mengingat siapa dia. Tapi jiwanya mengenal kehadirannya. Dan untuk sekarang… itu cukup.
Langkah kaki mereka meninggalkan Perpustakaan Akar Dunia, menuju dunia baru yang perlahan terbentuk kembali.
Dunia yang bukan lagi ditulis oleh para Leluhur Langit. Tapi oleh mereka yang pernah melupakan, dan memilih untuk mengingat kembali
Langit dunia luar kini tak lagi dihiasi warna kelam dan retakan realitas. Matahari yang baru terbit memancarkan cahaya keemasan, tapi dengan rona lembut seolah menyambut era yang berbeda. Angin membawa bisikan-bisikan aneh—bukan ancaman, melainkan harapan yang terlahir kembali.
Jiang Hao berdiri di puncak tebing, menatap lanskap luas yang dulunya dipenuhi reruntuhan peradaban. Di bawahnya, para murid, tetua, makhluk roh, bahkan sisa-sisa pasukan dari berbagai klan, mulai berdiri berdampingan.
Tidak ada perintah. Tidak ada panji perang.
Hanya keheningan dan awal.
Li Fan berdiri di sampingnya, mengenakan jubah putih baru yang bersih dari bekas luka. Di matanya, ada ketenangan yang langka.
“Kau tahu,” katanya pelan, “aku selalu percaya, dunia ini tak bisa berubah tanpa kehancuran. Tapi kau membuktikan kalau kehancuran bisa menjadi awal… asal ada seseorang yang cukup gila untuk menyatukan semua jiwa yang pecah.”
Jiang Hao tersenyum tipis. “Aku tidak gila. Aku hanya lelah melihat dunia berputar dalam dendam yang tak ada akhirnya.”
Ying’er berdiri sedikit lebih jauh, memetik dawai kecapinya. Melodinya lembut, menenangkan. Tapi belum ada tanda bahwa ingatannya sepenuhnya kembali. Ia memandang Jiang Hao dari kejauhan, dan meski hatinya mengenal sosok itu, pikirannya tetap kabur.
“Dia akan ingat, suatu saat nanti,” kata Jiang Hao pelan.
Li Fan mengangguk. “Atau mungkin… dia tak perlu ingat. Karena apa yang dia berikan padamu, sudah lebih dari cukup.”
Langit memunculkan fenomena baru: satu garis cahaya biru melengkung dari ujung barat ke timur, membentuk semacam gerbang samar di angkasa. Ratusan makhluk arwah—yang dulu tersegel atau tersesat—kini bergerak menuju cahaya itu. Tapi tak ada lagi aura permusuhan. Mereka tersenyum. Mereka damai.
“Gerbang Jiwa,” bisik salah satu tetua. “Gerbang baru yang tidak mengurung, tapi membebaskan.”
Ying’er memainkan nada penutup. Dawainya putus satu per satu, menandakan bahwa tugasnya sebagai Penjaga Batas telah selesai.
Ia menatap Jiang Hao.
“Aku tidak tahu siapa aku,” katanya pelan. “Tapi, jika kau mengizinkan, bolehkah aku tetap di sisimu sampai aku tahu?”
Jiang Hao menatapnya. “Kau bahkan tak perlu bertanya.”
Ia mengulurkan tangan.
Ying’er menggenggamnya.
Dan saat tangan mereka bersatu, di langit, gerbang Jiwa menyala sekali lagi—bukan sebagai pintu keluar, tapi sebagai pena kosmik.
Dunia ini, kini akan ditulis ulang bukan dengan darah dan perang.Tapi dengan pilihan.
Hujan ringan turun di tengah padang suci, membasahi tanah yang sebelumnya hangus oleh pertempuran. Tapi kini, setiap tetes hujan bagaikan berkah, memulihkan luka-luka lama, menyirami benih harapan yang mulai tumbuh dari reruntuhan dunia lama.
Jiang Hao duduk di bawah pohon suci yang baru tumbuh dari retakan tanah bekas medan perang. Pohon itu bercahaya samar, daunnya menyerap cahaya matahari dan memantulkan warna-warna aurora. Di sekelilingnya, anak-anak dari berbagai klan—manusia, roh, hingga separuh iblis—berlari dan tertawa bersama.
Tidak ada yang menanyakan asal mereka. Tidak ada lagi kasta, tidak ada lagi perang suku.
“Aku seperti berada di dunia yang bukan milikku,” gumam Jiang Hao.
Ying’er duduk di sampingnya, kepalanya bersandar di bahu Jiang Hao. “Kau tidak salah tempat. Kau hanya sedang berada di masa depan yang belum pernah dituliskan siapa pun sebelumnya.”
Ia tersenyum, walau di matanya masih tersimpan kesedihan. Ingatannya masih belum pulih sepenuhnya. Tapi ia merasa damai. Merasa seolah berada di sisi yang benar, di tempat yang seharusnya.
Di kejauhan, para tetua dari lima sekte besar berkumpul, berdiskusi tentang sistem dunia baru. Tapi tak ada yang mendominasi. Tak ada yang mencoba mengklaim kemenangan. Semua tahu: jika Jiang Hao tidak menolak takhta kekuasaan, dia bisa menjadi penguasa mutlak.
Tapi dia memilih tidak.
“Satu keputusan bisa merubah riwayat,” kata Li Fan yang tiba-tiba muncul, membawa dua kendi anggur spiritual. “Tapi kau ... kau bukan hanya mengubah riwayat. Kau membatalkan takdir itu sendiri.”
Jiang Hao menerima kendi itu. “Aku hanya melakukan hal yang tidak bisa dihindari.”
Li Fan mengangkat alis. “Kau bisa saja memilih menyerah. Atau duduk di atas takhta. Tapi kau tidak memilih salah satunya. Kau memilih jalan ketiga. Jalan yang tidak ditawarkan. Dan itu, temanku... adalah keberanian sejati.”
Angin bertiup pelan. Di atas langit, gerbang Jiwa perlahan menutup diri. Tapi sebelum menutup sepenuhnya, secercah cahaya menembus dan jatuh ke arah pohon tempat Jiang Hao duduk. Dari cahaya itu, muncul sebuah gulungan kuno.
Jiang Hao mengambilnya. Di permukaan gulungan, tertulis satu kalimat:
“Riwayat ini tidak pernah ditakdirkan. Maka, kau yang menulisnya.”
Saat gulungan dibuka, lembarannya kosong. Tapi tinta emas mulai mengalir dari telapak tangan Jiang Hao, menulis sendiri—tanpa pena, tanpa niat.
Setiap nama yang dia kenal. Setiap pengorbanan. Setiap luka. Dan setiap cinta yang tak terucap.
Gulungan itu menulis semuanya.
Ying’er menatap halaman-halaman itu mengalir, lalu bertanya lirih, “Apa yang akan kau tulis terakhir?”
Jiang Hao menatap langit, lalu menjawab:“Akhir dari segala peperangan, dan awal dari kisah kita.”
__
Note: Hay! Jangan lupa kasih dukungan, biar penulis semangat!
**Untuk sementara penulis tidak update bab dulu, menunggu proses tanda tangan kontrak selai.
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh