Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Malam hari di rumah orang tua Mahesa. Suasana telah berubah menjadi hening, meski jam belum menunjukkan tengah malam. Semua penduduk sekitar sepertinya sudah terlelap karena kelelahan bekerja di ladang. Maklum, kebanyakan penduduk berprofesi sebagai seorang petani.
Jadi, mereka akan tidur lebih cepat, dan bangun sebelum matahari terbit. Rutinitas seperti itu sudah menjadi hal biasa bagi kebanyakan penduduk.
Berbeda dengan Mahesa, pria itu lebih banyak menghabiskan masa remajanya di kota besar. Membuatnya sering begadang untuk mengurus beberapa pekerjaan yang terbengkalai akibat keputusannya untuk menetap sementara di kampung.
Seperti saat ini, Mahesa tengah fokus menatap ke arah layar laptop miliknya yang diletakkan di meja rotan berbentuk bundar, tepat di teras rumahnya.
Bola mata sehitam jelaga itu, menatap serius ke arah layar bersinar terang dihadapannya, memunculkan deretan tabel hingga tulisan yang sulit untuk dimengerti oleh orang lain.
Tak lupa juga satu cangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap beraroma semerbak, menjadi teman bagi Mahesa malam ini.
Saat tengah fokus mengetikkan sesuatu pada keyboard laptopnya, Mahesa dikejutkan dengan kedatangan sang Ayah, pak Handoko, yang baru muncul dari arah dalam. Kini pria paruh baya yang memiliki uban di seluruh rambutnya itu, ikut duduk tepat di hadapan putranya.
“Mau sampai kapan kamu terus main-main seperti ini, Mahesa?” pak Handoko langsung melontarkan pikirannya tanpa banyak basa-basi.
Mahesa hanya melirik sejenak dari balik bingkai kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. “Main-main bagaimana sih, Ayah? Aku tetap bekerja, hanya ingin istirahat saja sejenak.”
“Maksud Ayah, kenapa kamu tidak segera kembali ke kota? Sudah hampir satu bulan kamu tinggal disini.”
“Ayah tidak suka aku merasa betah tinggal di rumah ini?”
“Bukan begitu!” ujar pak Handoko tegas. “Tapi, kamu harus sadar, jika kamu memiliki tanggung jawab yang besar. Untuk masa depanmu, dan masa depan keluarga kita.”
“Dengan menikahi, Mirna?” tanya Mahesa sedikit tidak suka. Ia menghentikan kegiatannya, membuka kacamata lalu meletakkannya di atas meja. “Terus terang saja, aku tidak mau menikah dengannya.”
“Apa yang kamu—” emosi pak Handoko memuncak. Tidak bisa berkata apapun lagi dengan penolakan putranya. “Kamu harus mikir, apa kurangnya Mirna di matamu? Dia wanita baik, pendidikannya bagus, dan terpenting dia sangat menyukaimu.”
“Bagiku, dia hanya seorang wanita dari keluarga kaya raya,” ungkap Mahesa pelan. Matanya menatap datar ke arah sang Ayah.
Keduanya sama-sama keras, tidak ada yang mau mengalah sedikitpun saat ini. Awalnya Mahesa hanya sering diam mendengarkan perintah Ayahnya. Tapi kini…ia tidak mau mengambil keputusan yang salah.
“Dengar!” ucap pak Handoko lebih tegas. “Pertemuan keluarga akan diadakan sebentar lagi. Jadi, mau tidak mau, kalian harus bertemu sebelum tanggal pernikahan ditetapkan.” Pak Handoko langsung bangkit dari duduk, kemudian berlalu begitu saja.
Mahesa memejamkan mata, sebelah tangan kanannya memegang pelipis, merasakan frustasi yang teramat berat. Nafasnya terasa sesak, dengan hati yang tidak bisa menerima sepenuhnya, tentang keputusan yang diambil oleh orang tuanya.
***
Pagi harinya, udara dingin begitu terasa berhembus pelan. Tubuh yang tidak terbiasa dengan kondisi cuaca seperti ini, pasti akan langsung menggigil merasa kedinginan.
Luna tampak sibuk mempersiapkan putrinya untuk berangkat ke sekolah. Si bungsu, Siena, telah bersiap saat Luna membantu memakaikan baju hangat serta syal untuk melindungi leher putri kecilnya dari udara dingin.
Sedangkan Sarah….bocah perempuan berusia 9 tahun itu, tampak menolak saat Luna mencoba untuk memakaikannya topi rajut agar kepala dan telinganya merasa hangat.
“Sarah, kamu harus pakai ini,” bujuk Luna dengan lembut. “Hari ini cuaca terasa lebih dingin dari biasanya.”
Sarah tidak menjawab. Ia justru hanya melewati Ibunya begitu saja dan turun ke lantai bawah.
Luna termenung di tempatnya. Kenapa putri sulungnya itu, masih saja tidak bisa membuka hati untuknya. Apakah rasa benci itu terlalu besar, hingga membuat putri kandungnya sendiri tidak mau berbicara padanya.
Tanpa sadar air mata menetes di pipi Luna yang memerah karena cuaca dingin. Di tengah kesedihan itu, sebuah tangan mungil memegangnya dengan erat. Luna menoleh, rupanya itu adalah Siena.
“Ibu jangan sedih, ya? Kak Sarah tidak bermaksud membuat Ibu menangis,” Siena tampak berusaha keras menghibur Ibunya.
Meski merasa sedih, Luna tetap berusaha terlihat baik-baik saja dihadapan Siena. Ia mulai merendahkan tubuh agar tingginya sejajar dengan putrinya. “Iya, Ibu mengerti. Terima kasih, sayang.”
Siena merasa lega saat melihat Ibunya yang sudah bisa tersenyum. Bocah perempuan itu juga tersenyum, hingga memperlihatkan dua buah giginya yang masih ompong.
Luna sangat bersyukur, karena diberikan malaikat sebaik Siena. Tapi, hal itu juga bukan menjadi alasan baginya untuk membenci Sarah. Karena walau bagaimanapun juga, Sarah tetap putri kesayangannya juga. Luna bertekad akan memperjuangkan kasih sayang Sarah dan Siena untuknya.
Sedangkan di lantai bawah, tepatnya di ruang tamu rumah Bu Galuh. Tampak seorang wanita muda yang telah rapi memakai seragam seorang pendidik, tengah berdiri dan berbincang bersama sang pemilik rumah, Bu Galuh.
“Bu Kumala, kenapa harus repot-repot menjemput cucu saya di rumah? Saya jadi merasa tidak enak,” wanita paruh baya yang selalu menatap Luna dengan wajah masam itu, kini tersenyum dengan sangat lembut dan ramah, saat bersama Kumala.
“Tidak apa-apa, Bu Galuh. Saya memang sengaja menjemput Sarah dan Siena, karena Sarah akan terpilih sebagai perwakilan lomba menyanyi tahun ini.”
“Benarkah, Bu?” tanya Bu Galuh antusias. “Sarah memang sangat berbakat, sama persis dengan Ayahnya dulu waktu sekolah.”
“Jadi, saya ditugaskan untuk menjaga Sarah mulai dari makanan yang dikonsumsi, karena bisa berpengaruh buruk saat perlombaan nanti,” Kumala kembali menerangkan.
Mendengar penjelasan itu, Bu Galuh langsung meraih tas sekolah milik Sarah, lalu membuka bekal makanan yang dibawa oleh cucunya itu. Saat dibuka, isinya adalah nasi goreng dengan toping sosis dan bakso.
“Maaf, tapi sebisa mungkin sarah dilarang makan sesuatu yang berminyak sementara waktu,” Kumala langsung berkomentar saat baru saja melihat bekal yang dibawa oleh Sarah.
Bu Galuh menutup bekal makanan tersebut, lalu menghembuskan nafas sangat kesal. “Luna memang tidak bisa menjaga kesehatan putrinya sendiri. Ibu macam apa itu?”
“Ada apa ya, Bu?” suara Luna terdengar dari arah belakang.
Bu Galuh menoleh, dan memberikan tatapan sinisnya pada sang menantu. “Apa kamu tahu, jika Sarah akan terpilih mewakili sekolahnya untuk ikut lomba menyanyi?”
Luna bingung. Terus terang saja ia memang belum tahu. Karena Sarah sendiri tidak pernah mau bercerita padanya. “Maaf, Bu. Saya belum tahu,” jawab Luna sedikit lesu.
“Memang luar biasa pekerjaan menantuku ini. Prestasi anak sendiri saja sampai tidak tahu,” cibir Bu Galuh sangat pedas.
Luna hanya diam, tidak mau melayani perkataan Ibu mertuanya. Ia justru mengalihkan tatapannya ke arah Kumala. “Bisakah saya meminta nomor ponsel Anda?” Luna berucap dengan sangat sopan.
Kumala terdiam beberapa saat, hingga wanita cantik itu mulai tersenyum. “Tentu saja, Bu Luna,”
Kini waktunya Kumala untuk membawa Sarah dan Siena yang telah bersiap. Namun, ada perasaan kecewa dalam hatinya. Niat awal ingin bertemu David, ia justru hanya bertemu dengan istrinya saja.
“Sarah, Siena, ayo pamit sama nenek dan Ibu kalian,” Kumala memberikan nasehat baik sebelum mereka berangkat.
Setelah berpamitan, Kumala mengajak dua murid didiknya itu untuk segera berangkat ke sekolah. Luna sengaja mengantarkan sampai di halaman depan rumah.
Bahkan sampai saat mereka berangkat dengan mengendarai sepeda motor, mata Kumala masih sibuk mencari keberadaan David. Siapa tahu pria itu tengah mengamati dari suatu tempat.
Namun, sikap mencurigakan Kumala sama sekali belum membuat Luna curiga. Ia tetap melambaikan tangan, ke arah dua putrinya yang telah menjauh, menuju ke sekolah.
Sementara itu, di lantai dua rumah tersebut, tepatnya di balik jendela kamar yang ditempati oleh Luna. Sepasang mata tengah mengawasi ke arah sepeda motor yang dikendarai oleh Kumala.
Mata itu begitu fokus, hingga menerbitkan ulasan senyum penuh rasa kagum yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Tapi, apakah benar perasaan itu hanya sekedar rasa kagum semata? Atau bahkan lebih…David sendiri belum mengetahuinya.
BERSAMBUNG