Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ratu Torsi
Kabut tipis menyelimuti jalanan kecil berbatu yang mengarah ke utara Lembang. Udara pegunungan menusuk, segar namun penuh ketegangan yang belum sirna. Di antara pinus-pinus tinggi dan ilalang lembap, sebuah jalan rahasia terbuka di balik batu besar, seperti celah dunia lain yang tak tercatat di peta.
Melly menyetir jip tua berkarat yang sudah dimodifikasi habis-habisan, knalpotnya menggeram seperti hewan mekanik. Ajie duduk di kursi penumpang, masih pucat dan penuh keringat dingin.
“Gila… ini bukan mobil, ini truk monster gotik,” gumam Ajie sambil menahan getar tangannya. “Lu yakin gak bisa pake Grab aja?”
Melly cuma nyengir, tangannya mantap memutar setir. “Grab gak bisa masuk hutan milik Torque Queen.”
Ajie melirik. “Itu julukan lo sekarang? Torque Queen? Serius lo.”
“Lebih baik daripada ‘Melly the Montir Sialan’, kan?”
Ajie tertawa pendek, meski batinnya tetap tegang. Luka di lengan kirinya mulai sembuh, bekas pertempuran sebelumnya sudah tak lagi basah. Tapi kekuatan catnya masih tidak stabil—tadi pagi saja, ia tak sengaja menyemburkan warna oranye dari telapak tangan saat menguap.
“Ada efek samping ngiler cat nggak ya?” Ajie bergumam, tapi tak sempat menyelesaikan kalimat saat jip itu berhenti di depan gerbang besi besar yang tersembunyi di balik tebing berlumut.
Melly menyalakan sistem pemindai retina—yang dipasang sembarangan di pohon pinus. Gerbang terbuka pelan dengan desis udara.
Di baliknya: sebuah markas bawah tanah, setengah dibangun dari reruntuhan gudang tua, setengah lagi dari potongan-potongan kapal, kontainer, dan logam hasil daur ulang. Di dindingnya tertempel plat baja bekas, neon hijau menyala pelan, dan mural bergaya grafiti bertuliskan: “If it can’t be fixed, destroy it better.”
Ajie menatap sekeliling, kagum dan sedikit takut.
“Ini tempat persembunyian lo?”
Melly membuka pintu jip, melompat turun. “Gue gak nyebut ini persembunyian. Ini... rumah. Atau bengkel. Atau pabrik. Tergantung lo siapa dan lo mau ngapain.”
Ajie menyusul, kakinya masih goyah. “Gue mau... hidup normal kembali?”
Melly menatapnya sebentar, lalu masuk ke dalam. “Yeah... yang itu susah.”
Mereka berjalan menuruni lorong baja yang berkarat, melewati tumpukan onderdil, layar komputer, bahkan sepasang drone bersayap dari suku cadang blender. Ruangan utama terbuka seperti hanggar—di tengahnya ada meja bundar yang penuh kabel, monitor, dan... helm logam aneh dengan lensa ganda seperti mata robot tawon.
Ajie menunjuknya. “Itu... topi sulap siapa?”
Melly menoleh, ekspresinya berubah serius.
“Itu bagian dari gue.”
Ajie mengangkat alis. “Oke... makin serem aja nih vibe-nya.”
Melly duduk di kursi kerja, membuka sarung tangan hitamnya. Tangan kirinya penuh luka bakar lama, dan bekas sambungan logam.
“Ajie... gue tahu kita baru ketemu lagi. Tapi lo harus tahu sesuatu.”
Ajie berdiri diam, tiba-tiba sadar bahwa suasana berubah. Ini bukan Melly yang suka lomba rakit knalpot tercepat di kampus. Bukan yang suka nyeletuk saat dosen ngomong. Ada sesuatu di balik tatapan matanya sekarang—campuran luka dan keputusan besar.
“Apa?”
Melly menarik napas.
“Gue gak pernah berhenti ngerakit. Bahkan setelah kakak gue mati di lintasan. Tapi yang gue rakit bukan motor lagi.”
Ia membuka lemari logam—di dalamnya tergantung sebuah kerangka eksoskeleton setinggi manusia. Warnanya gelap, dipenuhi piston, kabel, dan pelat-pelat baja seperti tulang mekanik.
Ajie menatap, terdiam.
“Lo bikin... armor?”
Melly mengangguk. “GearSpine. Buatan sendiri. Gak ada AI. Gak ada sistem korporat. Semua dari tangan gue. Dari jalanan. Dari besi bekas.”
Ajie mundur setengah langkah. “Lo... buronan itu?”
Melly tersenyum pahit. “Torque Queen. Ratu bengkel. Teroris mekanik. Pemasok senjata buat kelompok-kelompok jalanan. Semua sebutan itu... iya, itu gue.”
Keheningan memenuhi ruangan.
Ajie mencoba bicara. “Kenapa lo gak bilang dari tadi?”
Melly berdiri, mendekat perlahan.
“Karena lo butuh teman dulu. Bukan pengakuan. Dan karena lo belum siap tahu... kalau dunia ini udah berubah total.”
Ia menyalakan layar besar. Tampil peta dunia—titik merah bermunculan di Asia Tenggara.
“Proyek WN-13 bukan insiden kecil. Itu eksperimen biologis multinasional. Dan lo... adalah subjek satu-satunya yang hidup dan aktif. Itu artinya... semua pihak pengendali teknologi mau lo. Entah buat diselamatin... atau dibedah.”
Ajie jatuh terduduk.
“Gue cuma tukang cat, Mel... Kenapa gue?”
Melly mendekat, meletakkan tangan di bahunya.
“Karena lo orang biasa. Dan itu bikin lo berbahaya.”
Ajie menunduk. Suaranya pelan.
“Apa lo pernah... nyesel jadi lo yang sekarang?”
Melly tak langsung jawab. Ia menatap armornya, lalu menjawab lirih.
“Setiap malam. Tapi tiap pagi, gue sadar... kalau gue gak jadi diri gue sekarang, gak ada yang bakal ngelawan mereka.”
Ajie mengangguk pelan. Perlahan, semacam rasa saling percaya mulai tumbuh lagi. Tapi juga ketakutan. Bukan hanya karena musuh, tapi karena mereka berdua tak tahu akan jadi seperti apa esok hari.
Sebuah alarm kecil menyala.
Melly melirik layar. “Ada drone kecil di perimeter. Bisa aja cuma elang digital... atau sinyal awal.”
Ajie berdiri. “Mau kabur lagi?”
Melly tersenyum. “Nggak. Sekarang, kita latih lo beneran.”
Ajie mengangkat alis. “Latih? Lo bilang gue senjata warna-warni, bukan Power Ranger.”
Melly mengambil helm las, mengenakannya. “Salah. Lo bukan Power Ranger... lo lebih kayak printer rusak yang bisa meledak kalau ditekan tombol salah.”
Ajie ngakak. “Thanks, itu sangat membangun kepercayaan diri.”
Melly melempar sebotol cat kosong. “Warna merah bereaksi sama adrenalin. Coba lo marah... pikirin direktur Altheron.”
Ajie mengepal tangan. Tiba-tiba semburan merah menyala dari jari-jarinya. Udara panas berdesis.
“Oke... wow.”
Melly bertepuk tangan pelan. “Nice. Sekarang kita latih semua spektrum. Dan kalo kita beruntung... kita bisa bikin lo jadi senjata seni paling mematikan di Asia Tenggara.”
Ajie nyengir. “Lo ngerti gak betapa absurd-nya kedengeran kalimat itu?”
Melly balas nyengir. “Lo ngerti gak betapa absurd-nya kenyataan kita sekarang?”
Di luar, kabut makin tebal.
Tapi di dalam markas itu... dua jiwa yang pernah patah mulai menempa diri lagi.
Bukan demi balas dendam. Tapi demi mengambil alih nasib mereka sendiri.