"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33: Kunjungan ke Sel Nomor 13
Rutan Salemba, Blok Tahanan Korupsi (High Security).
Pukul 10.00 WIB (Sisa Waktu Countdown: 10 Jam).
Rian melangkah menyusuri lorong penjara yang lembap dan berbau karbol. Di kiri-kanannya, jeruji besi mengurung para mantan pejabat dan pengusaha korup yang dulu berkuasa. Beberapa dari mereka menatap Rian dengan pandangan benci—mereka adalah orang-orang yang jatuh miskin karena pergerakan saham Rian kemarin.
Namun tujuan Rian bukan mereka. Tujuannya adalah sel paling ujung. Sel isolasi.
Pak Teguh dan dua sipir penjara mengawal Rian.
Ini dia, Pak Rian. Cuma dikasih waktu 15 menit ya, kata sipir sambil membuka pintu besi tebal yang berat.
Di dalam sel sempit itu, Bramantyo duduk di atas dipan beton. Sang Naga Tua yang dulu memakai jas Italia seharga ratusan juta, kini hanya mengenakan kaos oblong lusuh dan celana pendek. Rambutnya memutih sepenuhnya dalam semalam. Wajahnya keriput, kehilangan aura dominasinya.
Bramantyo mendongak. Melihat Rian, dia tidak marah. Dia justru tersenyum hambar.
Datang untuk mengejek orang kalah, Nak? suara Bramantyo serak.
Rian berdiri di depan sel, tidak masuk ke dalam. Pak Teguh berjaga di pintu.
Saya nggak punya waktu buat drama, Pak Bram. Saya datang bukan soal bisnis. Saya datang soal nyawa, kata Rian dingin.
Rian mengeluarkan tabletnya, menampilkan pesan dari THE ARCHITECT yang diterima semalam.
Bapak kenal nama ini? The Architect? Atau lambang ini?
Rian menunjukkan logo kecil di sudut pesan itu: Sebuah Helix DNA ganda yang dililit ular.
Mata Bramantyo yang tadinya layu, mendadak membelalak. Ketakutan murni terpancar di sana. Tangannya gemetar memegang tepi dipan.
Dari mana... dari mana kamu dapat lambang itu? bisik Bramantyo.
Dia meretas sistem saya. Dia bilang virus Flu Biru ini eksperimen dia. Dan bapak... bapak adalah penyandang dananya, kan?
Bramantyo tertawa. Tawa yang kering dan putus asa.
Dana? Ya... aku mendanainya. Tapi aku tidak tahu dia gila. Aku pikir... aku pikir dia membuat serum anti-penuaan.
Ceritakan. Sekarang, desak Rian.
Bramantyo menatap dinding kosong, menerawang ke masa lalu.
Namanya Viktor. Dr. Viktor. Dulu dia kepala riset di Rasa Nusantara, sepuluh tahun lalu. Jenius, tapi psikopat. Dia bilang manusia itu lemah. Dia ingin membuang kelemahan manusia lewat rekayasa genetika.
Lalu?
Aku memecatnya karena eksperimennya membunuh tiga relawan. Tapi dia... dia membawa lari semua data riset. Aku pikir dia sudah mati. Ternyata dia membangun kerajaannya sendiri. Lambang itu... itu lambang GENESIS. Organisasi yang percaya bahwa kiamat adalah awal yang baru.
Bramantyo menatap Rian tajam.
Kalau Viktor yang melakukan ini... VITALITA kamu tidak akan cukup, Rian. Viktor tidak membuat penyakit. Dia membuat Evolusi. Dan evolusi... selalu butuh pengorbanan darah.
Tiba-tiba, lampu penjara berkedip. Sirine darurat berbunyi nyaring.
NGIIING! NGIIING!
Suara sipir terdengar panik dari radio komunikasi Pak Teguh.
Kode Merah! Kerusuhan di Blok C! Tahanan mengamuk! Mereka... mereka menggigit petugas! Tolong!
Rian menatap jam tangannya.
Countdown 24 jam belum habis. Masih ada 9 jam lagi. Kenapa mulai sekarang?
Bramantyo mundur ke pojok selnya, meringkuk ketakutan.
Fase Dua... desis Bramantyo. Fase Dua bukan virus baru, Rian. Fase Dua adalah aktivasi.
Aktivasi apa?! bentak Rian.
Mereka yang sudah terinfeksi tapi tidak mati... virusnya menyerang otak. Amigdala. Pusat amarah. Mereka bukan lagi manusia... mereka hewan buas.
DUAR!
Pintu blok utama didobrak dari luar. Suara teriakan manusia—bukan teriakan takut, tapi teriakan kemarahan yang tidak wajar—terdengar mendekat.
Pak Teguh langsung menarik pistol taser-nya. Bos! Kita harus keluar dari sini! Sekarang!
Rian menatap Bramantyo sekilas.
Bapak tetap di sini. Kunci pintunya. Jangan bersuara.
Rian dan Pak Teguh berlari keluar sel isolasi, menuju pintu utama blok. Tapi terlambat.
Di ujung lorong, Rian melihat pemandangan neraka.
Puluhan tahanan dengan seragam oranye berlari ke arah mereka. Mata mereka merah menyala, pembuluh darah di wajah menonjol hitam. Mulut mereka berbusa. Mereka menerjang sipir penjara, mencabik-cabik dengan tangan kosong dan gigi.
Itu bukan zombie seperti di film. Mereka masih hidup, masih sadar, tapi dikuasai amarah murni yang tak terkendali. Hyper-Aggression.
Mundur Bos! Pak Teguh mendorong Rian ke belakang punggungnya.
Tiga tahanan gila melihat mereka. Mereka berteriak melengking, lalu berlari menerjang Pak Teguh.
DOR! DOR!
Pak Teguh menembakkan taser. Satu tahanan jatuh kejang-kejang. Tapi dua lainnya tidak peduli, terus maju.
Pak Teguh menyimpan taser, mengeluarkan tongkat baton.
BUGH! KRAK!
Gerakan Pak Teguh efisien dan mematikan. Dia mematahkan kaki satu tahanan, lalu menendang dada tahanan lainnya hingga terpental ke jeruji.
Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Puluhan lagi datang dari belakang.
Sistem! batin Rian panik. Gue butuh senjata! Atau jalan keluar!
[SITUASI KRITIS: Ancaman Fase 2 (Neural Override) Terdeteksi.]
[Analisis: Virus telah bermutasi menyerang sistem saraf pusat. Penderita kehilangan kontrol diri dan menjadi agresif ekstrem.]
[Opsi Solusi:]
[1. Beli Senjata Api (Pistol Glock 19) - 5.000 Poin Dominasi]
[2. Beli Gadget: FREQUENCY JAMMER (Pengacau Gelombang Otak) - 10.000 Poin Kebahagiaan]
Rian berpikir cepat. Senjata api cuma membunuh satu per satu. Dia butuh area effect.
Beli Frequency Jammer!
[Transaksi Berhasil. Item dimaterialisasikan di saku kanan.]
Rian merogoh sakunya. Sebuah bola logam kecil seukuran bola tenis dengan tombol merah di tengahnya.
Pak Teguh! Tiarap! Dan tutup telinga! teriak Rian.
Pak Teguh, yang percaya penuh pada bosnya, langsung menjatuhkan diri ke lantai dan menutup telinga rapat-rapat.
Rian menekan tombol merah itu, lalu melemparkan bola logam itu ke tengah kerumunan tahanan gila yang berjarak lima meter.
ZINGGGGGGG!!!
Suara dengingan ultra-sonik meledak dari bola itu.
Manusia normal (seperti Rian) hanya merasakan pusing sedikit.
Tapi bagi para tahanan yang terinfeksi Fase Dua, suara itu seperti jarum panas yang ditusukkan ke otak mereka yang sedang radang.
ARGGHHHH!!!
Para tahanan itu menjerit kesakitan, memegangi kepala mereka. Mereka jatuh berguling-guling di lantai, lumpuh seketika karena sistem saraf mereka kacau balau.
Ayo Bos! Lari! teriak Pak Teguh bangkit, menarik tangan Rian.
Mereka berlari melompati tubuh-tubuh yang menggeliat kesakitan itu, menuju pintu keluar darurat.
Di luar penjara, Rian melihat kekacauan yang sama. Jakarta mulai terbakar. Orang-orang di jalanan saling serang. Mobil bertabrakan. Fase Dua telah dimulai lebih awal.
Rian masuk ke mobil Alphard-nya yang sudah penyok. Kenzo (yang menunggu di mobil) pucat pasi melihat kerusuhan di luar.
Jalan, Pak Teguh! Ke Menara Bahagia! Markas kita! perintah Rian.
Di dalam mobil yang melaju kencang menabrak barikade, Rian menatap bola logam di tangannya yang kini sudah mati (habis baterai sekali pakai).
The Architect... Viktor... gumam Rian.
Lo mau main evolusi? Oke. Gue bakal tunjukin siapa yang ada di puncak rantai makanan.
[TING!]
[Misi Sampingan Terbuka: The Cure for Madness]
[Tujuan: Dapatkan sampel darah 'Patient Zero' atau data riset asli Dr. Viktor untuk membuat Neutralizer.]
[Lokasi Terduga: Pulau Pribadi di Kepulauan Seribu (Bekas Aset Rasa Nusantara).]
Rian menatap Kenzo.
Zo, cari semua aset properti Bramantyo di Kepulauan Seribu. Kita mau liburan ke pantai.