Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4. PENOLAKAN YANG BERLANJUT
..."Kadang yang hilang bukan rasa lapar di perut, tapi rasa ingin hidup di hati."...
...---•---...
"Nona Naira bilang ia tidak lapar." Ratna meletakkan nampan di konter dengan hati-hati, matanya tetap menghindari tatapan Doni.
"Ia sakit?" tanya Doni pelan.
"Tidak."
"Alergi dengan bahan tertentu?"
"Tidak juga."
"Lalu kenapa tidak makan?" Doni menunjuk mangkuk sup yang dingin itu. Ini bukan pertanyaan teknis, melainkan luapan frustrasi seorang koki yang masakannya ditolak.
Ratna terdiam lama. Jari-jarinya mengetuk konter pelan, bunyi kuku di marmer terdengar seperti detik jarum jam yang berdetak lambat. Akhirnya ia menatap Doni. Untuk pertama kalinya, Doni melihat kelelahan yang tulus di mata wanita itu, lapisan profesionalitasnya menipis.
"Pak Doni..." Suaranya pelan, nyaris seperti mengaku rahasia. "Nona Naira sudah tiga bulan seperti ini. Ia makan sangat sedikit, kadang tidak makan sama sekali. Kami sudah mencoba berbagai koki sebelumnya, berbagai menu, tapi hasilnya tetap sama. Jadi tolong jangan diambil hati. Ini bukan soal masakan Bapak."
Doni terdiam. Napasnya tertahan sebentar di dada. Ini tentang seseorang yang kehilangan kemauan untuk menerima kehangatan.
Ia pernah ada di titik itu.
Setelah Sari meninggal. Tiga bulan pertama, setiap makanan terasa seperti abu di lidah. Setiap suapan seperti pengkhianatan karena Sari tidak bisa lagi menikmati apa pun. Makan menjadi sekadar kewajiban tubuh, bukan keinginan hati.
"Saya mengerti," ucapnya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Tenggorokannya tercekat. "Untuk makan malam, saya akan coba menu yang berbeda."
Ratna mengangguk, tatapannya melembut sedikit. "Terserah Bapak. Makan malam jam enam sore."
Setelah Ratna pergi, Doni menatap mangkuk sup yang mulai dingin. Ia mengambil sendok, mencicipinya. Rasanya sempurna. Kaldu hangat, jahe lembut, ayam empuk, dan sayuran masih segar. Sup seperti ini biasanya membuat pelanggan Dapur Sari datang kembali.
Tapi bukan Naira Adani.
Doni menghela napas panjang. Udara keluar berat dari paru-parunya. Ia menuangkan sup itu ke wadah dan menyimpannya di kulkas. Ia tidak suka membuang makanan.
...---•---...
Sore itu, ia memasak Nasi Goreng Kampung. Sederhana, tapi kaya rasa.
Wajan besar dipanaskan hingga berasap tipis. Minyak dituang, mengkilap di permukaan besi hitam. Bawang merah dan bawang putih masuk pertama, bunyi desis keras langsung memenuhi dapur, seperti teriakan kecil yang memecah keheningan. Aroma harum menyeruak cepat, memenuhi hidung, hangat dan menenangkan.
Lalu terasi, hanya sedikit, cukup untuk memberi depth tanpa mendominasi. Bau pedasnya menyengat, membuat mata Doni sedikit perih, tapi justru itulah yang membuat nasi goreng kampung terasa autentik.
Nasi putih masuk, diaduk cepat dengan spatula. Setiap butir harus terpisah, tidak menggumpal. Kecap manis dituang, warnanya berubah cokelat keemasan, mengilap di bawah lampu dapur. Ayam suwir dan sayuran ditambahkan, warna hijau segar kontras dengan cokelat nasi.
Terakhir, telur ceplok. Minyak panas, telur pecah dengan bunyi desis lembut. Putihnya mengembang sempurna, pinggiran jadi renyah kecokelatan, sementara kuningnya tetap bulat dan setengah matang, siap pecah saat disentuh.
Doni menatap hasil karyanya dengan harapan yang dipaksakan di dada. Aroma bawang, terasi, dan kecap manis yang memabukkan memenuhi dapur. Ia yakin aroma itu pasti sampai ke lantai atas. Aroma yang seharusnya mampu menembus hati yang paling tertutup sekalipun.
Mungkin kali ini berbeda.
Pukul enam tepat, Ratna datang mengambil nampan. Doni menatapnya dengan senyum kecil yang penuh harap, meski dadanya sudah mulai terasa berat.
Namun pukul enam lewat empat puluh lima menit, bunyi langkah kaki Ratna terdengar lagi dari tangga. Doni sudah tahu sebelum melihat. Nasi goreng di piring masih utuh. Telur ceploknya bahkan belum disentuh, kuningnya masih bulat sempurna, seperti ejekan kecil terhadap usahanya.
Doni menatap piring itu. Kali ini dadanya tidak sesak seperti tadi siang. Kali ini ada sesuatu yang lebih berat: mati rasa. Seperti bagian dari dirinya yang mulai menyerah sebelum pertempuran benar-benar dimulai.
Ia tidak berkata apa-apa. Tangannya bergerak mekanis: mengambil piring, membuka kulkas, menyimpan makanan yang tidak akan pernah dimakan. Ratna berdiri di ambang pintu, tapi Doni tidak menatapnya. Tidak ada yang perlu dikatakan.
Berapa lama aku bisa bertahan seperti ini?
...---•---...
Malam menjelang. Doni duduk di tepi tempat tidur kamarnya yang terlalu besar. Lampu meja menyala redup di sudut, melempar bayangan panjang di dinding putih. Udara sejuk, tapi entah kenapa terasa dingin sampai ke tulang. Ia menatap foto Sari di meja samping.
Jari-jarinya menyentuh bingkai foto, merasakan permukaan kaca yang dingin. Tenggorokannya tercekat.
"Hari pertama tidak seperti yang kubayangkan," bisiknya pelan. "Ia bahkan tidak mau mencicipi masakanku. Tidak mau menemuiku."
Doni terdiam lama. Napasnya keluar perlahan, berat. "Aku tidak tahu kenapa aku di sini, Sari. Untuk memasak? Untuk siapa? Untuk apa?"
Foto itu tersenyum seperti biasa, tidak memberikan jawaban. Tapi entah kenapa, Doni merasa Sari akan berkata: "Mungkin bukan untuk memasak. Mungkin untuk sesuatu yang lebih besar."
Tapi apa itu? Doni tidak tahu.
Di luar, kota Bandung berkilau oleh lampu-lampu malam. Kabut turun perlahan, menyelimuti rumah besar itu dalam kesunyian yang terasa tebal dan sangat mahal. Suara jangkrik samar terdengar dari taman, tapi di dalam rumah ini, hanya ada keheningan yang menekan.
Doni berbaring, menatap langit-langit kamar yang gelap. Besok ia akan mencoba lagi. Dan lusa. Dan hari-hari berikutnya. Ia masih punya sembilan ratus sembilan puluh sembilan hari. Cukup waktu untuk menemukan cara menembus hati yang tertutup rapat.
Tapi bisakah aku bertahan tanpa kehilangan diriku sendiri?
Doni tidak akan menyerah. Tidak setelah ia menandatangani kontrak. Tidak setelah meninggalkan Dapur Sari. Dan terutama, tidak setelah ia merasakan keheningan rumah ini yang menyiratkan luka seseorang. Seseorang yang membutuhkan kehangatan, walau dia sendiri tidak menyadarinya.
Mungkin Naira Adani tidak menginginkannya di sini. Tapi entah kenapa, Doni merasa ia ditakdirkan datang. Bukan hanya untuk memasak. Tapi untuk menyembuhkan, atau setidaknya berbagi beban.
Matanya perlahan tertutup. Napasnya melambat. Besok adalah hari baru. Kesempatan baru.
...---•---...
Namun di suatu tempat di lantai dua rumah itu, di balik pintu yang terkunci rapat, Naira Adani duduk di tepi tempat tidur. Kamarnya gelap, hanya cahaya kota dari jendela besar yang menerangi siluetnya. Punggungnya bungkuk, bahu turun, seperti beban tak terlihat menekan dari atas. Tangan terlipat di pangkuan, jari-jarinya tidak bergerak, dingin, seperti benda mati.
Mata menatap gelap malam tapi tidak melihat apa-apa. Gedung-gedung di kejauhan berkilauan, lampu-lampu kecil seperti bintang yang jatuh ke bumi, tapi Naira tidak merasakan keindahannya. Napasnya pelan, hampir tidak terdengar. Seperti tubuh yang melanjutkan hidup karena kebiasaan, bukan karena keinginan.
Tidak menangis. Tidak marah. Tidak merasakan apa pun.
Hanya hampa.
Dan kehampaan itu terasa lebih menusuk daripada rasa lapar, lebih gelap dari malam tanpa bintang. Sebuah keheningan yang ia ciptakan sendiri sebagai benteng pertahanan, atau mungkin sebagai penjara. Ia tidak tahu lagi mana yang benar. Yang ia tahu, di balik benteng itu, ia aman. Aman dari rasa sakit. Aman dari kekecewaan. Aman dari harapan yang selalu berakhir hancur.
Tapi aman juga berarti sendirian.
Dan malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Naira Adani duduk sendirian di dalam kegelapan yang ia pilih sendiri. Menunggu fajar yang tidak membawa harapan apa pun.
...---•---...
...Bersambung...