Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33.Hari yang Dibiarkan Mengalir
Hari itu, Athaya benar-benar mengambil jeda.
Bukan jeda setengah hati sambil tetap membaca laporan. Bukan jeda palsu dengan ponsel terus bergetar di tangan. Ia sengaja memberi tahu semua orang di kantor bahwa ia tidak akan hadir—tidak untuk rapat, tidak untuk keputusan apa pun. Untuk pertama kalinya, Athaya membiarkan sistem berjalan tanpa dirinya.
Pagi di mension terasa berbeda. Lebih ramai, tapi tidak menyesakkan. Suara peralatan makan beradu pelan, tawa kecil terdengar dari ruang makan, dan aroma kopi bercampur dengan teh hangat memenuhi udara.
Athaya duduk di kursinya lebih lama dari biasanya. Tidak terburu-buru. Tidak menegakkan punggung dengan kewaspadaan konstan. Ia memperhatikan—sesuatu yang jarang ia lakukan.
Gio duduk tak jauh darinya. Tubuhnya dibungkus sweater hangat, perutnya yang membulat jelas terlihat saat ia bersandar sedikit ke belakang. Satu tangan memegang gelas susu, tangan lainnya bertumpu di perutnya, seolah refleks.
“Kamu tidur nyenyak?” tanya Athaya.
“Lumayan,” jawab Gio. “Kebangun dua kali. Bayinya aktif banget malam ini.”
Athaya mengangguk. “Kayaknya emang gak suka malam.”
Belum selesai kalimatnya, Gio mendadak mengernyit. Telapak tangannya menekan perutnya.
“Kenapa?” Danu langsung menoleh, refleks.
“Ditendang,” jawab Gio, tertawa kecil tapi napasnya sedikit tertahan. “Kenceng.”
Danu menghela napas lega. “Kirain mual lagi.”
“Dua-duanya bisa kejadian barengan,” sahut Athaya santai. “Jangan remehin.”
Danu meliriknya. “Lo kok udah kayak ahli.”
Athaya mengangkat bahu. “Pengalaman mengamati.”
Candaan ringan itu membuat suasana cair. Tidak ada pembahasan berat. Tidak ada nada interogasi. Hanya obrolan kecil yang mengalir.
Siang menjelang, Athaya pergi bersama Lucas.
Mereka tidak memilih tempat mewah. Hanya restoran kecil yang tenang, cukup jauh dari keramaian. Lucas memperhatikan perubahan Athaya—cara ia bersandar, cara bahunya lebih turun, bahkan cara ia tersenyum tanpa beban.
“Libur bikin lo keliatan manusia,” kata Lucas sambil tersenyum.
Athaya mendengus pelan. “Gw manusia dari dulu.”
“Versi seriusnya,” balas Lucas.
Athaya menatap Lucas lama sebelum berkata, “Gw capek hidup pake jadwal.”
Lucas mengangguk pelan. “Dan hari ini lo gak pake.”
“Karena gw pengen inget rasanya duduk tanpa mikir apa yang bakal terjadi lima langkah ke depan,” lanjut Athaya.
Lucas meraih tangan Athaya di atas meja. Tidak berkata apa-apa. Tidak perlu.
Setelah makan, mereka berjalan pelan. Tidak banyak bicara. Keheningan terasa nyaman, bukan canggung.
Sore hari, mereka kembali ke mension. Gio dan Danu sudah ada di ruang keluarga. Gio duduk di karpet dengan bantal di punggungnya, Danu di sampingnya, memotong buah dengan hati-hati.
“Lo motong apel kayak lagi operasi,” celetuk Athaya.
“Karena kalo salah potong, dia mual,” jawab Danu tanpa menoleh.
“Overprotektif,” ujar Lucas.
“Belum nyoba panik tiap bau makanan,” balas Danu datar.
Gio terkekeh kecil, tapi tawanya terputus ketika ia tiba-tiba menutup mulut. Wajahnya memucat.
“Mual,” gumamnya.
Danu langsung geser mendekat. “Air?”
Athaya sudah berdiri lebih dulu, mengambil air hangat. “Minum pelan.”
Gio mengangguk, mencoba bernapas dalam. Namun sebelum sempat meneguk, tubuhnya sedikit menegang.
“Kenapa lagi?” tanya Lucas.
Gio tertawa lemah. “Ditendang lagi. Kayak protes.”
Athaya mengangkat alis. “Anaknya punya timing.”
Danu mengusap punggung Gio pelan. “Pelan-pelan.”
Beberapa menit kemudian, Gio lebih tenang. Ia bersandar, tangannya kembali mengusap perutnya dengan gerakan lembut dan berulang.
“Maaf ya,” ucap Gio lirih. “Jadi ribet.”
Athaya menatapnya serius. “Berhenti ngomong kayak gitu.”
Gio menoleh.
“Lo bukan tamu. Lo keluarga,” lanjut Athaya, suaranya tenang tapi tegas.
Kalimat itu membuat Gio terdiam. Matanya sedikit berkaca, tapi ia menahan diri.
Malam turun perlahan. Lampu-lampu mension menyala hangat. Mereka duduk bersama—Athaya, Lucas, Gio, dan Danu—tanpa agenda. Tanpa target. Tanpa tekanan.
Gio kembali meringis kecil saat satu tendangan terasa lagi.
“Tenang,” bisiknya sambil tersenyum tipis, mengusap perutnya. “Hari ini santai kok.”
Athaya memperhatikan pemandangan itu lama. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa perlu mengendalikan apa pun.
Hari itu dibiarkan mengalir.
Dan ternyata, dunia tidak runtuh karenanya.
-bersambung-