Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 : Tiga ratus juta
Aku terdiam. Di luar, suara teriakan Andra semakin keras, disusul bunyi hantaman benda tumpul. Hatiku mencelos. Aku tahu Andra tidak akan menang melawan penjaga klub ini.
"Berhenti," ucapku lirih. Aku menatap mata Erlangga yang merah. "Aku menerima tawaran itu. Tapi tolong, pastikan teman-temanku di luar baik-baik saja."
Erlangga menyeringai puas. Ia merogoh ponselnya, memberi perintah singkat pada anak buahnya untuk melepaskan Andra dan Doni. Setelah itu, ia menarik lenganku kasar, membawaku keluar menuju lift khusus menuju kamar VVIP di lantai paling atas.
Di dalam kamar yang luas dan dingin itu, Erlangga mengunci pintu. Ia melepas jasnya, lalu duduk di tepi ranjang sambil terus menatapku.
"Tiga ratus juta untuk satu malam?" tanyaku dengan suara bergetar.
"Satu malam?" Erlangga tertawa pendek, suaranya parau. "Kau tidak mendengarku tadi, Shilla? Aku membelimu sampai aku bosan. Dan aku bukan tipe orang yang cepat bosan dengan mainan baru."
Ia berdiri, melangkah mendekat hingga aku terpojok ke dinding. Tangannya yang besar memerangkapku. Napasnya yang beraroma alkohol terasa panas di kulit leherku.
"Sekarang, tunjukkan padaku apakah kau memang sebanding dengan angka di cek itu," bisiknya.
Malam itu, di bawah remang lampu kamar mewah, aku kehilangan diriku.
Aku memejamkan mata, membiarkan jemari dingin Erlangga menjelajahi kancing kemejaku satu per satu. Setiap sentuhan terasa seperti sengatan listrik, namun aku berusaha menekan gejolak dalam diriku. Pakaianku jatuh ke lantai, menyisakan kerentanan yang menganga. Erlangga menatapku dengan sorot mata yang tak terbaca, seperti seorang pemburu yang mengamati mangsanya.
"Kau gemetar," bisiknya, suaranya serak namun penuh otoritas. "Takut?"
Aku tak menjawab. Rasa takut, malu, marah, dan putus asa bercampur aduk menjadi satu. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam, berharap bisa menenangkan detak jantungku yang berpacu gila. Ini demi Ayah, demi Ibu. Aku mengulanginya dalam hati, berulang kali, seperti mantra.
Erlangga mendekat, tubuhnya yang tegap menjulang di atasku. Ia mengangkat daguku dengan satu jari, memaksa mataku untuk bertemu pandang dengannya. "Jangan berpikir kau bisa berpura-pura di depanku, Ashilla. Aku tahu setiap ketakutan dalam dirimu."
Ia kemudian membimbingku ke ranjang king size yang diselimuti sutra hitam. Dinginnya kain itu menusuk kulitku, mengingatkanku pada kenyataan pahit yang sedang kuhadapi. Erlangga tidak terburu-buru. Ia bergerak dengan sengaja, setiap sentuhannya dihitung, setiap pandangannya menguliti pertahananku. Ia seperti seorang seniman yang sedang mengukir mahakaryanya, namun dengan tubuhku sebagai kanvas.
Malam itu terasa sangat panjang. Aku kehilangan jejak waktu, tersesat dalam pusaran emosi yang campur aduk. Ada rasa sakit, tentu saja, namun lebih dari itu, ada kehampaan yang menggerogoti. Aku bukan lagi Ashilla yang sama. Bagian dari diriku telah hancur, tercerai-berai di bawah tatapan mata Erlangga yang tak berkedip. Aku hanya bisa memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir diam-diam ke bantal sutra, berharap malam ini akan segera berakhir.
Ketika fajar menyingsing, dan Erlangga akhirnya tertidur pulas di sampingku, aku merasa seperti boneka yang tak bernyawa. Aku bangkit dari ranjang, setiap otot tubuhku terasa nyeri. Aku melihat pantulanku di cermin besar di sudut ruangan. Bukan hanya lebam di lengan, kini ada bekas-bekas lain yang tak terlihat mata telanjang, namun terukir jelas di jiwaku.
Aku bangkit dengan lunglai, memunguti pakaianku yang berserakan. Di atas meja rias, cek senilai tiga ratus juta itu masih tergeletak. Aku mengambilnya dengan tangan gemetar. Uang ini adalah kunci kebebasanku dari Mahendra, namun sekaligus menjadi rantai baru yang mengikatku pada Erlangga.
Saat aku hendak melangkah menuju pintu, suara berat menghentikanku.
"Mau ke mana?"
Aku menoleh. Erlangga sudah duduk bersandar di kepala ranjang, matanya menatapku tajam tanpa sisa-sisa mabuk semalam.
"Aku harus membayar utang ayahku," jawabku pelan.
Erlangga bangkit, berjalan tanpa busana menuju lemari es kecil dan mengambil sebotol air mineral. "Selesaikan urusanmu. Tapi ingat, jam tujuh malam ini, sopirku akan menjemputmu. Jangan mencoba melarikan diri, atau kau akan tahu kenapa mereka memanggilku 'tuan muda' di kota ini."
Aku hanya mengangguk kecil dan segera keluar. Kemudian aku berjalan dengan tertatih, menahan rasa perih di area intim ku. Air mata ku terus jatuh bersama dengan langkah ku.
Di parkiran bawah, aku menemukan Andra dan Doni duduk bersandar di motor dengan wajah lebam. Begitu melihatku, Andra langsung berlari dan memelukku erat.
"Maafkan aku, Shilla... aku gagal melindungimu," bisiknya penuh penyesalan.
Aku melepaskan pelukannya perlahan dan menunjukkan cek di tanganku. "Semua sudah selesai, Ndra. aku aman sekarang."
"Tapi dengan harga apa, Shilla?" tanya Doni dengan tatapan sedih.
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap langit pagi yang cerah, menyadari bahwa mulai hari ini, hidupku bukan lagi milikku sendiri.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,